Sum /9/

Dengan langkah tegap, Johan yang turun dari mobil ke arahku. Sekalipun sudah paruh baya, ia yang masih tampak gagah itu membuatku semakin tertarik. Terlebih ketika ia menyapaku dengan nada ramah, "Sudah lama, Sum?"

"Kira-kira duapuluh menit lalu, Om."

"Aku tadi ke warungnya Rinten. Mau ambil dompet. Eh.... Ternyata, dompetku yang terjatuh di warung kamu bawa ke rumahku. Makasih, ya."

"Sama-sama, Om." Aku menyerahkan dompet pada Johan dengan tangan gemetar. "I...ni dompetnya, Om."

Tanpa memeriksa isinya, Johan yang tampak percaya padaku memasukkan dompet itu ke dalam saku jeans hitamnya. "Ayo! Masuk dulu. Aku ingin ngobrol sejenak dengan kamu, Sum."

"Maaf, Om. Aku harus kembali ke warung. Kasihan Bulik Rinten sendirian melayani pelanggan."

Johan tertawa kecil. "Rinten sudah menutup warungnya, Sum. Jualannya sudah kelarisan. Sebelum pulang ke rumah, aku tadi sempat membantunya beres-beres."

"Om ini baik sekali."

"Sudahlah, Sum! Gak perlu memujiku." Johan tersenyum manis. "Ayo mampirlah sejenak!"

"Ehm...."

"Hanya sebentar, Sum."

"Baiklah, Om."

Johan membuka gembok pintu pagar besi rumahnya dengan kunci yang diambil dari saku jeans hitamnya. Dengan nada ramah, ia mempersilakanku masuk.

Aku langkahkan kakiku di samping Johan. Menuju pintu jati berukir gaya Jepara yang menyempurnakan kemewahan rumahnya.

Sewaktu memasuki ruang tamu yang didesain dengan sangat indah, aku merasa berada di dalam surga. Kursi dan meja berukir tertata rapi di atas lantai marmar warna zamrud. Di atas meja bertaplak kain sutra putih, terdapat patung perunggu yang memvisualkan perpaduan kasih Komajaya dan Komaratih. Di sudut ruang tamu, tampak gentong berlukiskan gadis China. Di dinding bercat krem, lukisan Ratu Kidul karya Basuki Abdullah terpajang.

Sekian lama, aku tercengang dengan pemandangan ruang tamu yang belum pernah aku saksikan. Aku yang serasa terlempar ke planit lain sontak tersadarkan ketika Johan mempersilakanku duduk. Dengan tubuh bergetar, aku yang semula merasa tak pantas tinggal di ruang tamu itu dibimbing Johan untuk duduk di salah satu kursi.

"Tunggu sebentar ya, Sum!"

"Jangan repot-repot, Om."

Tanpa mempedulikan kata-katku, Johan meninggalkan ruang tamu. Selagi aku mengamati patung perunggu di atas meja itu, ia sudah kembali ke ruang tamu. Membawa dua botol plastik minuman mineral dingin. Satu diletakkan di meja depan kursinya. Satunya lagi diberikan padaku.

"Diminum, Sum!"

"Makasih, Om." Sedikit malu-malu, aku membuka tutup botol minuman itu. Aku tenggak sedikit minuman itu. Dinginnya merasuk ke kerongkonganku yang serasa kering. Usai meletakkan botol minuman itu di atas meja, aku memberanikan diri untuk bertanya pada Johan. "Maaf, Om. Apa yang ingin Om bicarakan denganku?"

"Aku dengar dari Rinten kalau kamu sudah tak punya ayah dan ibu. Bernarkah demikian?"

"Benar, Om."

"Karena sudah hidup sebatang kara, kamu ikut Rinten bulikmu?"

"Ya, Om."

"Apakah selamanya kamu hanya ingin berkerja sebagai tukang cuci piring di warung bulikmu? Bagaimana dengan masa depanmu nanti, Sum?

Tanpa mampu aku kendalikan, air mataku mengembun di sudut kedua mata. "Aku tak tahu, Om."

"Maafkan aku, Sum! Maaf! Kalau pertanyaanku tadi membuatmu bersedih. Lupakan apa yang aku katakan tadi!"

"Tak ada yang dimaafkan, Om. Karena, Om tidak bersalah."

"Baiklah, Sum." Johan sejenak terdiam. Dalam diamnya, aku merasakan ia tengah memikirkan sesuatu. "Boleh aku tahu? Apakah kamu sudah punya pacar?"

Sontak aku teringat Sarno pacarku. Entah syetan mana yang mengajariku berbohong. Karena mulai tertarik dengan Johan, aku terpaksa menjawab, "Belum."

"Sungguh?"

Aku mengangguk.

"Baik. Aku percaya padamu." Johan menghela napas panjang dan menghembuskannya. "Oh ya, Sum. Seandainya.... Tetapi ini hanya seandainya. Bila aku menjadi pacarmu, apakah kamu mau?" (Bersambung)