Sum /8/

Sebagaimana Johan, aku keluar dari mobil yang diparkir di depan warung makan Bulik Rinten. Sesudah meletakkan barang belanjaan di meja kecil, aku bergegas menuju tempat cucian piring. Dengan perasaan tak karuan saat mengingat perjalanan pulang bersama Johan dari pasar ke warung Bulik Rinten; aku mencuci piring, gelas, sendok, dan garpu yang menggunung.

Selepas adzan dluhur, warung makan Bulik Rinten mendadak kebanjiran pelanggan. Di antara orang-orang yang tengah makan siang, aku tak melihat Johan. Mobil yang diparkir di depan warung juga sudah raib dari pandangan. "Kemana Om Jo?" bantinku.

Sewaktu melamunkan Johan, Bulik Rinten meminta bantuan padaku untuk turut melayani pelanggan. Bukan hanya menyajikan menu yang mereka pesan, namun pula membersihkan meja-meja makan dengan serbet sesudah digunakan pelanggan.

Di tengah kesibukan, aku mendengar Bulik Rinten bercakap-cakap dengan seorang laki-laki melalui androidnya. Dari suaranya, aku bisa menduga kalau laki-laki itu adalah Johan. Ketika sekilas mendengar kalau Johan kehilangan dompet, aku sontak menghampiri Bulik Rinten yang barusan menutup aplikasi WhatsApp-nya. "Mungkin dompet Om Jo tercopet di pasar tadi, Bulik."

"Masak, Sum?" Bulik Rinten sejenak terdiam. "Tadi Mas Johan bilang kalau dompetnya bisa jadi tertinggal di warung ini."

"Sewaktu Om Jo masih di warung, aku sedang mencuci piring di belakang. Kalau Bulik tahu. Tadi, Om Jo duduk di mana?"

Sebelum Bulik Rinten memberikan jawaban, seorang pelanggan perempuan sebayaku yang duduk di bangku pojok belakang warung makan menunjukkan dompet ke arahku. "Maaf, Mbak. Ini dompet siapa ya? Tadi aku menginjaknya."

Tanpa berpikir panjang, aku melangkah cepat menuju tempat duduk perempuan itu. Sesudah aku terima, dompet itu aku serahkan pada Bulik Rinten. "Apakah dompet ini  milik Om Jo?"

"Ya, betul. Aku tak pangling." Bulik Rinten bergegas menghubungi Johan melalui androidnya. "Hapenya tidak aktif. Aku calling, tak berdering. Aku WA, centhang satu."

"Lantas...." Sejenak aku berpikir. "Bagaimana kalau dompet ini aku antarkan ke rumah Om Jo. Tapi...?"

"Tapi...."

"Aku tak tahu alamat Om Jo."

"Aku kasih alamatnya. Sekalian, denahnya."

Berbekal denah dan alamat Johan yang tertulis pada selembar kertas, aku meninggalkan warung makan. Dengan naik Angkot, aku menuju rumah Johan di pinggiran kota.

Turun dari Angkot, aku berjalan kaki menuju depan rumah berlantai dua yang berpagar besi. Halaman rumah itu bertegel dan kiri-kanannya tampak taman. Dalam hati, aku berpikir bila Johan adalah orang berada. Bisa jadi, ia seorang penguasaha sukses. Bisa jadi ia seorang pejabat tinggi di kota ini. 

Di depan pintu pagar besi tergembok, tak tahu apa yang harus aku lakukan. Membuka pintu tak mungkin. Mau mengucapkan kata permisi dengan suara lantang, tak mungkin. Karena, Johan pasti tak berada di dalam rumah. Mau ngebel, tak ada saklar bel di kiri atau kanan pintu pagar besi itu.

Lantaran Johan tidak di rumah, aku putuskan untuk kembali ke warung.  Sebelum meninggalkan tempat itu, aku melihat mobil Johan yang bergerak dari kejauhan ke arahku. Aku lega. Bukan lantaran akan bertemu pada lelaki yang diam-diam mulai bersemayam di hatiku. Namun, aku akan segera mengembalikan dompet miliknya. (Bersambung)