Sebelum datangnya era digital, budaya modern sudah mengalami perkembangan di tanah Jawa. Budaya tersebut bukan hanya diperkenalkan oleh informasi global, namun pula oleh para turis asing yang sedang wisata di Jawa. Perempuan-perempuan manca yang mengenakan pakaian minim saat jalan-jalan di pantai, sepanjang trotoar di kota, atau perkampungan sudah dianggap lazim. Pergaulan tanpa sekat antara turis wanita dan laki-laki bukan sesuatu yang tabu.
Ketika dunia digital makin maju, perkembangkan budaya modern semakin pesat. Sehingga generasi muda yang tidak diperkenalkan oleh orang tua terhadap budaya leluhurnya dapat menerima budaya modern tanpa mempertimbangkan dampak negatifnya terhadap etika Jawa. Naifnya, generasi muda yang menggunakan produk budaya modern merasa terbebas dari kekunoan (kekolotan) yang disandang oleh generasi bahola.
Realitas yang lebih buruk, generasi muda merasa lebih pintar dan lebih unggul ketimbang orang tua. Karena kecongkakannya tersebut, penghormatan dari generasi muda kepada orang tua mulai memudar. Ketika berdialog dengan orang-orang yang layak dihormati tidak lagi menerapkan unggah-ungguh. Etika Jawa sudah dianggapnya ketinggalan zaman.
Bukan hanya kepada orang tua, banyak anak muda yang semakin asing dengan etika Jawa tidak menerapkan unggah-ungguh kepada guru, kawan sejenis dan lain jenis, serta masyarakat. Akibatnya muncul klaim bahwa mereka telah menjadi wong Jawa ilang Jawa-ne. Orang Jawa yang telah kehilangan ke-Jawa-annya.
Kepada sang guru, etika anak muda mulai luntur. Asumsi tersebut berdasarkan realitas bahwa banyak siswa (mahasiswa) yang memperlakukan guru (dosen) mereka serupa teman. Mereka tidak lagi mencium tangan ketika bertemu seorang figur yang semustinya dihormati. Bahkan mereka yang telah diberi hati justru ingin menginjak harga diri guru. Dalam istilah Jawa, dinehi ati ngrogoh rempela.
Sikap anak muda kepada kawan sejenisnya cenderung semakin tidak saling menghargai. Mereka yang tidak lagi peduli dengan ajaran etika Jawa sering tidak memanggil kawannya dengan nama asli, melainkan dengan sebutan "Ndhes" atau "Nyuk." Bahkan. kata "Su" yang tidak sepantasnya mereka ucapkan sering digunakan untuk memanggil nama temannya.
Fakta yang lebih memprihatinkan ketika anak-anak muda semakin tidak menghargai kawan lain jenisnya. Kepada teman-teman perempuannya, mereka sering melakukan pelecehan seksual. Berpacaran, berpelukan, berciuman, dan melakukan tindakan semi asusila di ruang publik. Sungguh! Pergaulan bebas mereka mencerminkan bahwa etika Jawa hanya berada di alam ide.
Di lingkup masyarakat Jawa, sudah banyak anak muda yang sering membuat resah hingga suasana tidak nyaman. Tidak peduli siang atau malam, mereka mabuk-mabukan sambil tertawa cekakakan. Membunyikan musik dangdut dengan volume tinggi saat malam hari. Menggeber-geber motornya hingga memekakkan telinga.
Kebebasan anak-anak muda yang tidak memerdekaan orang lain sudah mencapai ambang batas. Wajar bila banyak orang mengklaim bahwa pengaruh negatif budaya modern telah merasuki jiwa mereka. Pengaruhnya bukan hanya ketika mereka tidak menggunakan produk budaya modern semisal internet melalui personal computer, laptop, notebook, tablet, atau android; namun pula ketika tidak bijak selama menggunakannya.
Banyak sudah dampak negatif yang ditimbulkan oleh praktik penyalahgunaan internet dari para user, terutama generasi muda. Berikut adalah beberapa dampak negatif yang paling menonjol hingga banyak orang merasa resah karena praktik penyalahgunaan internet:
Jauh Menjadi Dekat, Dekat Menjadi Jauh
Ketika user terlalu asyik berinternetan baik dengan whatsapp maupun messenger sering tidak memedulikan orang-orang di sekitarnya. Tanpa mempertimbangkan faktor etika, ia tidak menyimak pembicaraan orang lan. Ia lebih memperhatikan pada seorang yang sedang diajaknya berkomunikasi. Meski keberadaan orang itu nun jauh di mata.
Fakta di muka menunjukkan bahwa user lebih dekat dengan orang jauh ketimbang orang di dekatnya. Akibatnya, ia tidak memedulikan orang-orang di sekitarnya yang seharusnya lebih diperhatikan. Bukankah seorang semustinya lebih memperhatikan orang-orang yang menemani di sampingnya, keluarganya, atau tetangga kiri-kanannya? Mengingat kalau kita sedang dalam kerepotan, merekalah yang akan memberikan pertolongan pertama kali.
Sewaktu keasyikan menggunakan internet, user sering melupakan waktu untuk menyelesaikan tugas dari orang tua. Bila orang tua mengingatkan, ia selalu menjawab, "Nanti,.., nanti!" Bahkan ia terkadang menjawab dengan kasar ketika orang tua mendesaknya untuk segera menyelesaikan tugasnya. Akibat buruk yang timbul adalah percecokan antara ia dengan orang tuanya.
User yang teramat asyik menggunakan android saat mengendarai motor atau mobil di jalan raya sangat mengganggu kelancaran lalu lintas. Perilaku tidak etis tersebut bukan hanya menyebabkan percecokan dengan pengendara lain, namun pula bisa menimbulkan kecelakaan kedua belah pihak.
Dari Chatting hingga Video Call
Penggunaan internet yang tidak bijak seperti merusak hubungan suami istri juga sering dilakukan oleh user. Tidak hanya user laki-laki, user perempuan juga sering melakukannya. Awal mula, ia melakukan chatting atau mengirim pesan whatsapp pada suami atau istri orang.
Dari saling kirim pesan biasa-bisasa saja hingga komunikasi berlanjut melalui telefon dan puncaknya video call. Dari video call inilah, mereka mulai menjalin hubungan terlarang hingga melakukan perselingkuhan. Akibat dari praktik yang tidak etis tersebut dapat berujung pada keretakan hubungan suami istri, atau bahkan perceraian.
Melakukan video call kepada suami atau istri orang yang benar-benar melanggar etika bukan hanya berujung pada perselingkuhan, namun pula pada praktik kejahatan. Di mana foto atau rekaman video call tidak senonoh dari korban akan disebarluaskan oleh user jahat. Jikalau korban tidak bersedia untuk memenuhi tuntutan user untuk menstransfer sejumlah uang yang nilainya tidak sedikit.
Karena telah menanggalkan etika Jawa sebagai pedoman hidup; seorang rela mengorbankan harga diri, keharmonisan hubungan suami-istri, dan mudah tertipu oleh pihak lain. Karenanya menjadikan etika Jawa sebagai perisai selama menggunakan produk digital sangat penting untuk menjaga harga diri, keluarga, dan jauh dari praktik kejahatan orang lain.
Copas, Cloning, Cracking
Berawal dari menanggalkan etika Jawa, user dapat melakukan kejahatan di dalam dunia internet. Kejahatan yang dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran Undang-Udang IT karena merugikan pihak lain, di antaranya: copas (copy paste), cloning, dan cracking.
Copas suatu artikel atau foto yang telah memiliki hak cipta bukan hanya melanggar etika, namun pula dianggap kejahatan bila untuk tujuan komersil. Men-download video atau audio untuk diperjualbelikan juga dianggap sebagai praktik kejahatan. Namun bila sekadar untuk didokumentasi, copas dan download tidak mendapatkan sanksi hukum,
Perihal praktik kejahatan dalam dunia IT yang tidak dapat terlepas dari sanksi hukum adalah cloning dan cracking. Mengingat cloning pada akun Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp cenderung bertujuan untuk melakukan kejahatan dengan mengatasnamakan orang lain.
Sementara, meng-cracking password pada email yang dikoneksikan dengan akun Facebook, Twitter, Instagram, atau Whatsapp bertujuan untuk mencuri data atau melakukan kejahatan dengan mengatasnamakan orang lain.
Pada dasarnya praktik cloning dan cracking sering dilakukan oleh orang-orang yang tidak peduli dengan etika di mana seorang menghargai privasi orang lain. Sebaliknya, praktik tersebut untuk mendapatkan keuntungan pribadi dengan menjadikan orang lain sebagai korban kejahatannya.
Bully dan Black Campaign
Pelanggaran etika yang sering dilakukan oleh user adalah bully dan black campaign. Bully salah satu tindakan yang melanggar etika karena bertujuan untuk mempermalukan dan menghujat orang yang dianggap salah di depan publik. Bully dianggap kejam karena sebagai tindak pembunuhan karakter seseorang.
Dalam dunia politik, black campaign yang bertujuan untuk memfitnah lawan politik tersebut juga termasuk pelanggaran etika. Tindakan tersebut dianggap sangat kejam karena untuk menjatuhkan seorang yang berseberangan demi kemenangan politiknya. Sekalipun melanggar hukum agama dan negara, tindakan yang mengkhalalkan cara keji tersebut sering dilakukan oleh para politikus menjelang Pilpres (Pemilihan Presiden).
Catatan Penting
Dari sederet kasus di muka menunjukkan bahwa pelanggaran etika Jawa pada era modern bukan hanya dilakukan di dunia nyata, namun pula di jagad maya. Pelakunya bukan hanya generasi muda, namun pula anak-anak remaja dan orang tua. Bukan hanya laki-laki, namun pula kaum wanita.
Hal yang lebih memprihatinkan bahwa pelanggaran etika di jagad maya lebih berani karena pelakunya tidak berhadapan langsung dengan seorang yang menjadi targetnya. Sekalipun sudah banyak user yang tertangkap dan dipenjarakan, namun masih muncul lainnya yang melakukan dengan sengaja.
Diakui bahwa untuk mencegah pelanggaran etika pada era modern tidak semudah membalik telapak tangan. Sungguhpun demikian, upaya pencegahan harus dilakukan. Bukan hanya oleh orang tua dan para pendidik, akan tetapi oleh generasi muda yang tidak turut dalam praktik tidak terpuji itu.
Peran pemerintah di dalam mewujudkan upaya ;pencegahan pelanggaran etika di kalangan generasi muda khususnya dan masyarakat pada umumnya sangat diharapkan. Bukan sekadar memberlakukan Undang-Undang IT, namun pula memberikan bimbingan mengenai penggunaan internet yang cerdas, bijak, dan bermanfaat di dalam memajukan bangsa dan negara. (Sri Wintala Achmad, Penulis Buku Etika Jawa).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H