Sum /6/

"Nama klasik yang keren di era digital ini." Lelaki paruh baya itu tersenyum tipis. "Namaku, Johan. Panggil saja aku Jo."

"Ya, Om."

Johan mengalihkan pandang matanya dari wajahku ke wajah Bulik Rinten. "Dik.... Ada sesuatu yang perlu aku sampaikan padamu."

"Soal apa, Mas."

"Bisa kita bicara sebentar di depan mushola?"

"Boleh, Mas." Bulik Rinten beranjak dari kursi. "Aku tinggal sebentar ya, Sum. Pesan minuman dan makanan yang kamu suka!"

Sekian langkah sesudah berjalan di samping Johan, bayangan Bu Lik Rinten lenyap di balik tembok mushola. Selepas mereka, aku bertanya dalam hati. "Apakah Bulik Rinten dan Johan pacaran? Apa yang akan dibicarakan oleh Johan pada Bu Lik Rinten? Entahlah! Tak elok aku mengetahui urusan mereka berdua."

Karena merasa haus dan lapar, aku beranjak dari kursi. Memesan segelas lemon tea dan magelangan pada seorang ibu pemilik lapak nasgor dan bakmi Jawa. Sebelum pesanan tersaji di meja, Bulik Rinten dan Johan menampakkan hidungnya. Mereka kembali duduk di kursinya semula.

Ketika magelangan tersaji di meja, Bulik Rinten dan Johan memesan bakmi Jawa pada ibu pemilik lapak yang sama. Selagi menunggu pesanan, mereka ngobrol berdua tanpa memperhatikanku yang tengah meredam keroncongan di dalam perut.

Tak ada limabelasan menit, magelangan yang dipesan Bulik Rinten dan Johan pesan sudah tersaji di meja. Sungguh aku seperti menyaksikan sepasang anak ABG ketika melihat mereka menikmati magelangan. Bulik Rinten menyuapi Johan. Demikian pula, Johan menyuapi Bulik Rinten.

Menyaksikan adegan mesra itu, timbul kembali pertanyaan di dalam hati. "Benarkah keduanya menjalin hubungan asmara? Apakah ketika mereka ngobrol di dalam mushola memiliki hubungan erat dengan pertanyaanku itu?" (Bersambung)