Ketauladanan dari seorang guru bukan hanya tercermin pada perilakunya baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Perilaku seorang guru pula merefleksikan apakah ia sesungguhnya sebagai pendidik etika Jawa yang baik atau tidak. Kehidupan rumah tangga dari guru tersebut pula menjadi salah satu tolok ukur apakah ia merupakan pendidik etika Jawa yang ideal atau tidak.
Selain dari berbagai produk budaya, etika Jawa dapat bersumberkan dari petuah guru. Petuah guru mereka bisa berasal dari buah pemikirannya sendiri, pengalaman empirik, cerita rakyat, tembang, lagu, atau pengetahuan lain. Bahkan petuah tersebut dapat bersumber dari seluruh, sebagian, atau salah satu produk budaya.
Seorang guru semustinya menjadi figur yang harus dapat digugu (dipercaya petuahnya) dan ditiru (ditauladani perilakunya). Apabila ia tidak dapat digugu dan ditiru, maka predikatnya adalah sebagai guru palsu. Guru yang hanya pintar berteori, namun tidak pecus melaksanakan petuahnya sendiri. Akibatnya, guru yang diklaim sebagai gajah diblangkoni (bisa kojah ora nglakoni/berpetuah namun ogah melaksanakan) tidak akan dihargai oleh anak didiknya.
Sebagai guru semustinya menjadi tauladan bagi semua siswa. Sehingga perannya bukan hanya memberikan ilmu pengetahuan, namun pula memberikan petuah kepada seluruh anak didik. Terutama, bimbingan yang berkaitan dengan unggah-unggah. Sebab apa artinya pintar kalau anak didik tidak memiliki tata krama, kesopanan, atau kesusilaan? Tidak memiliki kepribadiaan emas?
Berpijak pada uraian di muka bisa dikatakan bahwa guru merupakan sumber etika Jawa. Sehingga bisa diibaratkan bila guru sebagai hulu sungai, maka siswa sebagai hilirnya. Jernih tidaknya air di hilir sungai sangat tergantung pada jernih dan tidaknya air di hulu.
Sungguhpun diakui bahwa jernih dan tidaknya air di hilir sungai tidak sepenuhnya tergantung pada air di hulunya. Mengingat banyak orang yang tidak memiliki kesadaran tentang lingkungan sehat sering membuang sampah di sungai. Dari statement tersebut, maka orang-orang yang tinggal di lingkup kehidupan siswa harus mendukung upaya guru di dalam memberikan pelajaran perihal etika Jawa.
Berkaitan dengan pendidikan etika Jawa; guru yang memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas, pengalaman dalam bidang pendidikan, serta memiliki kebijakan senantiasa mengajarkan perilaku-perilaku mulia kepada seluruh peserta didik, sebagai berikut:
Bersikap hormat
Setiap anak didik diwajibkan untuk menghormati kepada guru. Ia layak dihormati berkat jasa-jasanya. Penghormatan tersebut dapat diekspresikan oleh peserta didik dengan mencium tangan, membungkukkan badan, berkata ramah dan sopan, atau mengikuti perintahnya yang baik tanpa membantah.
Ketika seorang guru sedang mengajar, peserta didik harus menyimak pelajarannya dengan seksama. Karenanya peserta didik yang bicara dengan teman lainnya, bermain android, atau acuh tak acuh saat guru menerangkan pelajaran dianggp tidak etis. Bahkan, ia dianggap tidak memiliki adab.
Peserta didik yang mengkritik guru dengan kasar atau mem-bully-nya dianggap tidak sopan. Mengingat ia yang selayaknya memiliki unggah-ungguh harus melakukan kritik dengan baik. Pengertian lain, kritik bisa disampaikan melalui dialog (diskusi) empat mata. Hal ini dimaksudkan agar kritik tidak mempermalukan guru di hadapan peserta didik yang lain.
Sikap penghormatan juga layak diberikan oleh peserta didik kepada para seniornya. Mengingat usia dan ilmu pengetahuan mereka lebih tinggi. Dengan menghormati mereka, peserta didik bukan hanya dianggap etis, namun berpeluang mendapatkan pertolongan saat menghadapi kesulitan dalam belajar.
Menghargai Teman Seangkatan
Setiap anak didik harus menghargai kepada seluruh teman seangkatan dengan menerima apa adanya. Tanpa memandang suku, agama, dan ras mereka. Menghargai bukan sekadar kepada teman seangkatan yang lebih pandai, berprestasi, dan kaya; namun kepada yang tidak pandai dan tidak berkecukupan.
Bila peserta didik telah mampu menghargai teman seangkatan, suasana di dalam ruang kelas akan menjadi nyaman. Sehingga ruang kelas menjadi kondusif untuk berlajar dan mencerap ilmu pengetahuan dari guru. Bahkan kelas akan menjadi tempat yang dirindukan dikarenakan seluruh peserta didik hidup rukun dalam spirit persaudaraan.
Wujud menghargai kepada teman seangkatan dapat diekspresikan oleh peserta didik dengan mendengar pendapatnya, tidak tersinggung bila dikritik, dan tetap menjaga toleransi. Di samping memberikan selamat kepada teman seangkatan yang memperoleh prestasi dalam studi, olah raga, atau kesenian.
Menjadikan Lingkungan Sekolah sebagai Taman Surga
Di dalam menerapkan etika Jawa, seorang peserta didik bukan saja menghormati guru dan teman senior serta menghargai teman seangkatan, namun pula menjadikan lingkungan sekolah sebagai taman surga. Mengingat sangat tidak etis bila peserta didik merusak lingkungan sekolah, seperti: ruang belajar, perpustakaan, tembok sekolah, taman, mushola, dan sebagainya.
Dengan menjaga lingkungan sekolah, seorang peserta didik turut menjaga suasana belajar yang nyaman. Dengan suasana nyaman, ia dan seluruh peserta didik lainnya tidak mengalami gangguan dalam melakukan proses belajar. Sehingga semua peserta didik berpeluang besar untuk dapat meningkatkan prestasinya dalam belajar.
Menjadikan lingkungan sekolah sebagai taman surga merupakan salah satu cara untuk merealisasikan budaya positif. Suatu budaya yang dapat meningkatkan citra sekolah yang prospeknya memberikan kebanggaan bagi seluruh peserta didik. Begitu pula bagi seluruh warga sekolah yang lain.
Selain petuah-petuah yang disampaikan secara lisan di muka, seorang guru dapat memberikan ketauladanan. Sungguhpun tidak perlu disampaikan melalui kata-kata yang berbusa-busa, ketauladanan seorang guru akan menjadi petuah sejati. Petuah yang memiliki kekuatan luar biasa di dalam mengajarkan etika Jawa kepada seluruh peserta didik. Dikarenakan, seluruh peserta didik lebih nggugu dan niru perilaku yang dicontohkan gurunya.
Ketauladanan dari seorang guru bukan hanya tercermin pada perilakunya baik di dalam maupun di luar lingkungan sekolah. Perilaku seorang guru pula merefleksikan apakah ia sesungguhnya sebagai pendidik etika Jawa yang baik atau tidak. Kehidupan rumah tangga dari guru tersebut pula menjadi salah satu tolok ukur apakah ia merupakan pendidik etika Jawa yang ideal atau tidak.
Dari apa yang disampaikan di muka menunjukkan bahwa tugas seorang guru amatlah berat. Ia bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan sebagaimana sudah ditentukan dalam kurikulum, namun pula mendidik pada semua peserta didik untuk menjadi manusia beretika dan beradab. Karena perannya yang amat berat itu, guru layak mendapatkan sebutan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. [Sri Wintala Achmad, penulis buku: Etika Jawa Prinsip Kebajikan dan Pedoman Hidup Orang Jawa, Araska Publisher Yogyakarta, 2024]