Sum /3/

Bu Lik Rinten terdiam. Betapa lama ia terdiam. Ia yang tampak memandang jauh serasa tengah berpikir keras. Ia menatap wajahku sangat dalam. Ya, sangat dalam. Perlahan-lahan, ia meghembuskan napasnya untuk melonggarkan dadanya yang serasa tersumbat batu. "Sum...."

"Ya, Bulik."

"Sesungguhnya aku tak ingin memberikan pekerjaan yang sangat berat padamu. Mengingat pekerjaan itu sangat hina. Membuat orang yang melakukannya akan merasa malu. Harga dirinya akan dirasa jatuh bebas. Seperti penerjun tanpa parasut."

Mendengar perkataan Bulik Rinten, aku menduga-duga. Apakah Bulik akan memberikan pekerjaan padaku sebagai....? Tak mungkin. Karena, ia orang baik-baik. Taat beribadah. Melakukan sholat lima waktu. Ia juga rajin puasa Senin-Kamis."Maaf, Bulik. Sebaiknya Bulik terus terang saja! Pekerjaan apa yang akan diberikan padaku. Sungguhpun pekerjaan berat namun khalal, aku siap melaksanakan."

"Apa yang kamu katakan itu benar-benar dari lubuk hatimu?"

Aku hanya mengangguk.

"Baiklah, Sum." Bu Lik Rinten terdiam lagi. Mengatur keluar-masuknya napas melalui lubang hidung dan mulutnya. "Katahuilah, Sum! Sesudah aku dicerai oleh Harja, usaha wartegku justru semakin berkembang. Pagi mulai jualan, sebelum sore sudah habis. Karena pelanggannya makin banyak, aku makin kerepotan bila melayani mereka sambil mencuci piring dan gelas...."

"Maaf. Aku potong kata-kata, Bulik. Apakah pekerjaan yang akan diberikan Bulik padaku sebagai tukang cuci piring dan gelas?"

"Ya, Sum."

Mendengar jawaban singkat Bulik Rinten, aku tertawa kecil. Karena, pekerjaan cuci piring dan gelas tidak hina. Pekerjaan itu khalal dan tak akan membuat malu bagi orang-orang yang mau bekerja untuk mendapat uang khalal. "Aku terima pekerjaan dari Bulik."

"Sungguh?"

"Sungguh."

"Kamu tidak malu?"

Aku menggeleng.

"Tapi.... Upahnya sedikit, Sum"

"Tak masalah, Bulik. Bahkan tidak Bulik kasih upah, aku tak masalah."

"Baik, Sum. Mulai besok, kamu bekerja."

"Siap, Bulik."

"Sekarang, istirahatlah dulu! Kalau mau makan, ambil sendiri di ruang makan! Aku mau ke pasar. Belanja segala kebutuhan untuk dimasak besok pagi."

"Hati-hati di jalan, Bulik!"

Bulik Rinten beranjak dari kursi. Dengan tas besar, ia melangkah menuju halaman rumah. Menstarter motornya yang masih baru. Menuju pasar.

Selepas Bu Lik Rintan, aku yang semula mengantarkan Bulik Rinten sampai teras rumah memasuki kamar mandi. Sesudah membasuh seluruh tubuh dan mengenakan pakaian satu-satunya, aku menuju ruang makan. Mengisi perutku yang keroncongan. Di tengah makan, aku merasakan kehadiran Tuhan di hatiku. Aku terselamatkan dari hidup sebagai gelandangan.

Habis mengisi perut, aku merasa sangat kantuk luar biasa. Karena merasa sungkan untuk tidur sebelum Bulik Rinten pulang, aku terus menjaga agar kedua mataku tidak terkatup. Di samping, Bulik Rinten sendiri belum menunjukkan kamar mana yang akan aku tempati.

Selagi masih duduk-duduk di ruang makan, aku mendengar pintu depan diketuk dari luar. Tanpa berpikir jauh, aku menuju sumber suara itu. Membuka pintu perlahan-lahan hingga menyaksikan laki-laki muda berjaket Gojek.

"Benarkah ini rumah Bu Rinten?"

"Benar, Mas."

"Saya disuruh Bu Rinten untuk mengantarkan barang ini pada Mbak. Barang yang dibeli Bu Rinten diberikan pada Mbak. Benarkah Mbak bernama Sum?"

"Tak salah, Mas."

"Kalau begitu, terimalah barang ini!"

"Tapi.... Maaf, Mas. Aku gak punya uang untuk ongkir."

"Ongkir sudah dibayar, Mbak."

"Oh, Gitu. Ya, sudah. Makasih ya Mas."

Selepas tukang Gojek itu, aku berpikir bahwa kebaikan Bulik Rinten padaku tak pernah berubah. Ia membelikan barang untukku tanpa aku minta. Namun, ada sesuatu pertanyaan yang muncul dalam benakku. Barang apa di balik kardus besar berlakban yang masih mengeram di dalam tas kresek besar itu? (Bersambung)