Mohon tunggu...
Sri Wintala Achmad
Sri Wintala Achmad Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Editor Video, Graphic Designer

SRI WINTALA ACHMAD, pernah belajar di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta. Karya-karya sastranya dipublikasikan di Kompas, Republika, Suara Karya, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Lampung Pos, Trans Sumatera, Bangka Pos, Solo Pos, Surabaya Pos, Banjarmasin Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, Masa Kini, Yogya Pos, Merapi, Fajar Sumatera, Amanah (Malaysia), Aksara International Journal of Indonesian Literature (Australia), Suara Muhammadiyah, Adiluhung, Trapsila, Bakti, Praba, Gong, Artista, Mata Jendela, Jaya Baya, Djaka Lodang, Penyebar Semangat, Mekarsari, Pagagan, Sempulur, Swaratama, Karas, dll. Antologi sastra dan esai kolektifnya: Pelangi (Karta Pustaka/Rasialima, 1988); Nirmana (Wirofens Group, 1990); Alif-Lam-Mim (Teater Eska/SAS, 1990); Zamrud Katulistiwa (Balai Bahasa Yogyakarta/Taman Budaya Yogyakarta, 1997); Sastra Kepulauan (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan, 1999); Pasar Kembang (Komunitas Sastra Indonesia, 2000); Embun Tajali (FKY 2000); Lirik Lereng Merapi (Dewan Kesenian Sleman, 2000); Bilah Belati di Depan Cermin (Dewan Kesenian Sleman, 2002); Di Batas Jogja (FKY, 2002); Code (FKY, 2005); Musik Puisi Nasional (LKiS, 2006); Malioboro (Balai Bahasa Yogyakarta, 2008); Perempuan Bermulut Api (Balai Bahasa Yogyakarta, 2010); Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Mingguan Minggu Pagi Yogyakarta, 2010); Pasewakan (2011), Kembali Jogja Membaca Sastra (Rumah Budaya Tembi, 2011); Suluk Mataram (Great Publisher, 2011); Jejak Sajak (Jambi, 2012); Dari Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Sragen, 2012); Sauk Seloko – Pertemuan Penyair Nusantara VI (Dewan Kesenian Jambi, 2012); Indonesia di Titik 13 (Dewan Kesenian Pekalongan, 2013); Spring Fiesta [Pesta Musim Semi] (Indonesian & English Poetry Grup & Araska Publisher, 2013); Tifa Nusantara I (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2013); Sesotya Prabangkara ing Langit Ngayogya (Yogyakarta, 2014); Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil Jakarta, 2014); Rantau Cinta, Rantau Sejarah (Jurnal Sajak, 2014); Tifa Nusantara II (Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2015); Pesta Rakyat Sleman (Digna Pustaka dan Lingkar Budaya Sleman, 2015); Jalan Remang Kesaksian (LPSK/Rumah Budaya Tembi, 2015); Jejak Tak Berpasar (Komunitas Sastra Indonesia/Yayasan Laksita, 2015); Memandang Bekasi (Dewan Kesenian Bekasi/Dinas Parbudpora Kabupaten Bekasi, 2015); Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Ije Lela Tifa Nusantara 3 (Marabahan, 2016); Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta (Klungkung Bali, 2016); Matahari Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016); Seratus Puisi Qurani (2016); Kopi Penyair Dunia (2016); Pesan Damai untuk Seluruh Manusia (PCIUN Maroko, 2017); Kota Terbayang (Taman Budaya Yogyakarta, 2017); Puisi Tentang Bogor (2017); Puisi Tentang Masjid (2017); Dari Partai Demokrat untuk Indonesia (2017); Senja Jati Gede (2017); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Dari Cempuring ke Sunan Panggung (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018); Kembang Glepang (2018); Sesapa Mesra Selinting Cinta – Temu Penyair Nusantara XI (Kudus, 2019); Terus Berkarya di Usia Senja, Brengkesan 72 Tahun Ahmad Tohari (2020); Nalika Rembulan Bunder (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2020); Nunggak Semi Dunia Iman Budhi Santosa (2021), naskah lakon terjemahan Dahuru ing Negeri Semut (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2021); Sejuta Puisi untuk Jakarta (2022), dan Kembang Glepang 3 (2023). Novel, fiksi sejarah, cerita rakyat, cerita wayang: Centhini: Malam Ketika Hujan (Diva Press Yogyakarta, 2011); Dharma Cinta (Laksana, 2011); Jaman Gemblung (Diva Press Yogyakarta, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda Asinjang Rikma (Araska, 2012); Kiamat: Petaka di Negeri Madyantara (In AzNa Books, 2012); Centhini: Kupu-Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung (Araska, 2012); Serial Crita Rakyat Dahuru ing Praja Wilwatikta (Majalah Djaka Lodang, 2022); Serial Crita Rakyat Pletheke Surya Wilwatikta (Majalah Jayabaya, 2022-2023); dan Serial Crita Rakyat Sigare Bumi Wilwatikta (Majalah Penyebar Semangat, 2023); dan Serial Crita Wayang Kresna Duta (Majalah Jayabaya, 2024). Buku-buku lainnya yang sudah terbit: Membuka Gerbang Dunia Anak (Annora Media, 2009); Suyudana Lengser Keprabon (In AzNa Books, 2011); Kisah Jagad Pakeliran Jawa (Araska, 2011); Wisdom Van Java (In AzNa Books, 2012); Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi (Araska, 2013); Sejarah Kejayaan Singhasari & Kitab Para Datu (Araska, 2013); Babad Tanah Jawa (Araska, 2014); Sejarah Raja-Raja Jawa (Araska, 2014); Satriya Piningit (Araska, 2014); Geger Bumi Mataram (Araska, 2014); Geger Bumi Majapahit (Araska, 2014); Ensklopedia Kearifan Jawa (Araska, 2014); Sejarah Perang di Bumi Jawa (Araska, 2014); Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Raja-Raja Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Karakter Tokoh-Tokoh Wayang (Araska, 2014); Wanita dalam Khasanah Pewayangan (Araska, 2015); Aja Dumeh: Buku Pintar Kearifan Orang Jawa (Araska, 2015); Panduan Praktis Menjadi Penulis Andal: Karya Ilmiah, Artikel, Resensi, Apresiasi & Kritik Seni, Naskah Lakon, Puisi, Cerpen, dan Novel (Araska, 2015); Buku Induk Bahasa dan Sastra Indonesia (Araska, 2015); Mahir Peribahasa Indonesia (Araska, 2015); Buku Induk EYD (Araska, 2015); Politik dalam Sejarah Kerajaan Jawa (Araska, 2016); Babad Tanah Jawa: dari Watugunung yang Menikahi Ibunya hingga Geger PeChinan (Araska, 2016); Petuah-Petuah Leluhur Jawa (Araska, 2016); Babad Giyanti: Palihan Nagari dan Perjanjian Salatiga (Araska, 2016); 13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa (Araska, 2016); Sejarah Kerajaan-Kerajaan Besar di Nusantara (Araska, 2016); Menulis Kreatif itu Gampang (Araska, 2016); Sejarah Pemberontakan Kerajaan di Jawa (Araska, 2017); Filsafat Jawa (Araska, 2017); Sejarah dan Asal-Usul Orang Jawa (Araska, 2017); Sejarah Raja-Raja Jawa dari Kalingga hingga Mataram Islam (Araska, 2017); Sejarah Istri-Istri Raja Jawa (Araska, 2017); Sejarah Islam di Tanah Jawa (Araska, 2017); Kisah Horror Ketemu Genderuwo (Araska, 2017); Sang Jenderal: Riwayat Hidup, Perjuangan, dan Cinta Jenderal Soedirman (Araska, 2017); Sejarah Perang Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2017); Etika Jawa (Araska, 2018); Filsafat Kepemimpinan Jawa (Araska, 2018); Kronik Perang Saudara dalam Sejarah Kerajaan di Jawa 1292-1767 (Araska, 2018); Sejarah Runtuhnya Sriwijaya dan Majapahit (Araska, 2018); Hitam Putih Mahapatih Gajah Mada (Araska, 2018); Sultan Agung: Menelusuri Jejak-Jejak Kekuasaan Mataram (Araska, 2019); Sejarah Kejayaan Singhasari Antara Mitos, Fakta, Pesona, dan Sisi Kelamnya (Araska, 2019); Untung Surapati: Pemberontakan Seorang Budak (Araska, 2019); Ratu Kalinyamat (Araska, 2019); Hitam Putih Majapahit (Araska, 2019); Gajah Mada Kisah Cinta dan Kisah Penakluk-Penaklukannya (Araska, 2019); Perang Bubat (Araska, 2020); Babad Diponegoro: Kisah Sejarah, Silsilah & Pemikiran Sufistik Pangeran Diponegoro (Araska, 2023), Etika Jawa: Prinsip Hidup dan Pedoman Hidup Orang Jawa (Araska, 2023), Falsafah Kepemimpinan Jawa: Menyelami Kearifan dan Filosofi Kepemimpinan dalam Budaya Jawa (Araska, 2024), Perang Suksesi Jawa: Melacak Konflik dan Intrik para Pangeran Darah Biru dalam Pergeseran Kekuasaan Di Keraton Jawa (Araska, 2024), dan Horror Tanah Jawa Tumbal Genderuwo (Araska, 2024). Bersama Indra Tranggono dan R. Toto Sugiharto, menulis buku Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #15 (Taman Budaya Yogyakarta, 2016), Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #16 (Taman Budaya Yogyakarta, 2017). Prestasi yang diraih dalam dunia kepenulisan: Nominasi Lomba Cipta Puisi Esai tingkat nasional (2014), Juara II Lomba Cipta Cerpen Sanggar Sastra Bukit Bintang Yogyakarta (2018), Nominasi Lomba Cipta Puisi Nasinal “Sejuta Puisi untuk Jakarta” (2022), dan Juara III Lomba Cipta Puisi Multimedia “Keris,” Dinas Kebudayaan Yogyakarta (2023). Nama kepenyairannya dicatat dalam: Buku Pintar Sastra Indonesia (Pamusuk Eneste, Penerbit Kompas, 2001), dan Apa dan Siapa Penyair Indonesia (Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Hasan Aspahani, Rida K Liamsi, dan Sutardji Calzoum Bachri, Yayasan Hari Puisi, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017), Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018), dan Profil Seniman dan Budayawan Yogyakarta #18 (Taman Budaya Yogyakarta, 2021). Selain menulis buku, sering menjadi juri lomba baca dan cipta karya sastra di lingkungan sekolah, juri lomba teater dan pantomim, serta dipercaya sebagai nara sumber dalam pelatihan cipta karya sastra untuk siswa dan guru. Sekarang mengelola Paguyuban Sholawat Jawa Langen Ambiya dan Sanggar Lierasi Laras Aksara (Selaksa) Yogyakarta. Yogyakarta. Tinggal di Gejawan Kulon 02/034, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta. WA: 0856-0007-1262.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Prayatana ri Wilwatikta (Menguak Hitam Putih Sejarah Wilwatikta)

9 Mei 2022   14:02 Diperbarui: 9 Mei 2022   14:07 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.bizlawnews.id/2017/06/meluruskan-sejarah-majapahit.html

Wilwatikta merupakan nama lain dari Kerajaan Majapahit. Diketahui bahwa Wilwatikta  merupakan salah satu kerajaan tersohor di nusantrara yang didirikan oleh Dyah Wijaya di wilayah Hutan Tarik pada tahun 1293. Kerajaan yang beribukota di Majakerta itu memiliki usia cukup panjang yakni selama 185 tahun yakni dari 1293 hingga 1478.

Sekalipun sejarah Wilwatikta dengan ibukota Majakerta berakhir sesudah Girindrawardhana Dyah Ranawijaya berhasil mengudeta kekuasaan Bhre Kertabhumi, namun napas kerajaan yang pusat pemerintahannya dipindahkan di Daha tersebut masih berlangsung. Kebesaran Wilwatikta tinggal nama sesudah Sultan Trenggana (Raja Kesultanan Demak ke-3) mampu menaklukkan Dyah Ranawijaya pada tahun 1527.

Membaca sejarah Wilwatikta sungguh menarik. Karena selain kebesarannya, Wilwatikta menyimpan beberapa sejarah kelam yang layak diketahui. Berikut tentang catatan hitam-putih Majapahit yang berdasarkan fakta sejarah dan pendapat dari para sejarawan.

Matahari Terbit di Langit Wilwatikta

Paska tergulingnya kekuasaan Kertanagara 1292, Jayakatwang (bupati Gelanggelang) berkuasa sebagai raja dengan pusat pemerintahan di Daha. Berkat usulan Aria Wiraraja, Dyah Wijaya yang semula membela Kertanagara diampuni oleh Jayakatwang. Selain itu, Jayakatwang memberikan hutan Tarik sebagai tempat pedukuhan Dyah Wijaya.

Manakala sedang membuka hutan Tarik untuk dijadikan pedukuhan, datanglah pasukan Tartar dari Mongolia ke Jawa. Tujuan pasukan Tartar tersebut untuk menyerang Kertanegara yang telah melukai utusan Raja Kubilai Khan.

Kedatangan pasukan Tartar di Jawa itu dimanfaatkan oleh Dyah Wijaya untuk menyerang Jayakatwang. Karena akan mendapat hadiah besar dari Dyah Wijaya, pasukan Tartar menyerang Jayakatwang. Sesudah Jajakatwang berhasil ditangkap dan dbunuh, Dyah Wijaya beserta pasukannya -- Aria Wiraraja, Ranggalawe, Nambi, Lembu Sora, dan Mahisa Nabrang -- menyerang dan mengusir pasukan Tartar dari Jawa.

Sesudah pasukan Tartar meninggalkan Jawa, Dyah Wijaya menobatkan diri sebagai raja di Wilwatikta dengan menggunakan gelar abhiseka Kertarajasa Jayawardhana atau Nararya Sanggramawijaya Sri Maharaja Kertajasa Jayawardhana pada tahun 1293.

Banjir Darah di Sungai Tambak Beras

Semasa pemerinthan Dyah Wijaya muncul tokoh Mahapati (Pararaton) atau Halayuda (Nagara Krtagama). Tokoh ini menghasut Dyah Wijaya hingga menyerang Ranggalawe yang diklaim sebagai pemberontak Wilwatikta. Akibat perang di Sungai Tambak Beras, Ranggalawe tewas di tangah Mahesa Anabrang. Karena membunuh kemenakannya, Mahesa Nabrang dibunuh oleh Lembu Sora.

Terbunuhnya Ranggalawe, Aria Wiraraja ayahnya mengungkit mengenai perjanjian pembagian wilayah Wilwatikta pada Dyah Wijaya. Sebagai raja yang tidak ingkar janji, Dyah Wijaya membagi wilayah Wilwatikta menjadi dua. Wilwatikta Barat dikuasai Dyah Wijaya. Sedang Wilwatikta Timur dikuasai oleh Aria Wiraraja.

Kondisi Wilwatikta semakin runyam ketika hasutan Mahapati pada Dyah Wijaya kembali berhasil. Mahapati melaporkan kalau pembunuh Mahesa Nabrang adalah Lembusora. Karennya, Dyah Wijaya berkehendak memberikan hukuman buang pada Lembu Sora.

Mendengar kabar Dyah Wijaya akan membuang dirinya ke Tulembang, Lembu Sora yang mendapat dukungan dari Gajah Biru dan Juru Demung membuat kekacauan di Wilwatikta. Akibat dari tindakannya itu, Lembu Sore diserang oleh pasukan pengawal raja di halaman istana hingga mengalami kematian.

Mendung di Langit Wilwatikta

Jayanagara (Anantawikramottunggadew Sri Maharaja Wiralandagopala Sri Sundarapandya Dewa Adiswara) yang merupakan raja Wilwatikta paska Dyah Wijaya tersebut memerintah dari tahun 1328 hingga 1350. Semasa pemerintahannya, Wilwatikta dihadapkan pemberontakan Mpu Nambi, Pamandana dan Pawagal, Ra Semi, dan Ra Kuti. Pemberontakan Ra Kuti sendiri didukung oleh Winehsuka, Ra Yuyu, dan Ra Tanca.

Akibat pemberontakan Ra Kuti dengan kekuatan pasukan yang sangat besar itu, Jayanagara meninggalkan berserta keluarga istana di bawah pengawalan Jaka Mada (Gajah Mada), seorang komando pasukan Bhayangkari. Rombongan Jayanagara tersebut mengungsi di Desa Bedander.

Semasa di Desa Bedander, Jaka Mada menyusun kekuatan untuk menumpas pemberontakan Ra Kuti. Dengan kekuatan pasukan dan strategi yang diterapkan Jaka Mada, pemberontakan Ra Kuti berhasil ditumpas. Mahapati yang mendukung secara diam-diam atas pemberontakan Rat Kuti tersebut berhasil ditangkap dan dihukum mati oleh Jaka Mada. Sesudah kondisi keamanan di dalam negeri Wilwatikta, Jayanagara beserta rombongan pulang ke istana.

Ketika kembali menduduki tahta Wilwatikta, Jayanagara berhsrat menyunting kedua adik tirinya yakni Dyah Wiyat dan Dyah Gitarja. Tujuan Jayanagara untuk menikahi kedua adik tirinya itu agar tahta Wilwatikta kelak tidak jauh di luar keluarga istana.

Pada suatu saat, Jayanagara sakit bisul. Maka Jayanagara mengundang tabib istana yakni Ra Tanca yang pernah mendukung pemberontakan Ra Kuti tersebut untuk mengobatinya. Tetapi Ra Tanca tidak mengobatinya,melainkan membunuhnya dengan taji yang mengandung racun. Melihat peristiwa itu, Jaka Mada segera membunuh Ra Tanca.

Peristiwa mengenai pembunuhan atas Jayanagara, muncul dua versi yang berbeda dari kaum sejarawan. Versi pertama menyebutkan bahwa pembunuhan Jayanagara merupakan inisiatif murni dari Ra Tanca. Karena Ra Tanca tidak rela atas perbuatan Jayangara yang pernah menggoda istrinya. Di samping, Ra Tanca sendiri adalah mantan pendukung pemberontakan Ra Kuti.

Versi kedua menyebutkan bahwa pembunuhan Jayangara merupakan insiatif dari Jaka Mada. Karena komando pasukan Bhayangkari tersebut tidak sepakat bila Jayanagara menikahi kedua adik tirinya yakni Dyah Wiyat dan Dyah Gitarja. Maka Gaja Mada menyuruh Ra Tanca untuk membunuh Jayanagara. Untuk menghilangkan jejak bahwa dalang pembunuhan Jayanagara adalah Jaka Mada, maka Ra Tanca dibunuhnya.

Sumpah Palapa

Sesudah kemangkatan Jayanagara, Dyah Gitarja yang menikah dengan Cakradhara atau Kertawardhana Bhre Tumapel (putra mendiang Mahesa Nabrang) tersebut menjadi raja Wilwatikta ketiga. Dengan demikian, Kertawardhana bisa disebutkan sebagai raja Wilwatikta yang mendampingi tugas pemerintahan Dyah Gitarja atau Tribhuwana Wijayatunggadewi Maharajasa Jayawisnuwardhani pada tahun 1328-1350.

Di masa pemerintahan Tribhuwana, timbul pemberontakan Sadeng dan Keta di bawah kepemimpinan Wiragati dan Wirota. Akibat pemberontakan itu, terjadi perselisihan antara Ra Kembar dan Jaka Mada yang bertujuan untuk mendapatkan tugas sebagai panglima perang dari Tribhuwana. Dikarenakan perselisihan itu, Tribhuwana yang didampingi oleh Kertawardhana dan Adityawarman menumpas pemberontakan Sadeng dan Keta.

Sesudah pemberontakan Sadeng dan Keta, Tribhuwana mengangkat Jaka Mada sebagai Patih Amangkubhumi Wilwatikta bergelar Gajah Mada yang menggantikan patih lama yakni Arya Tadah. Pada awal menjabat sebagai patih, Gajah Mada mengikrarkan Sumpah Palapa. Sumpah tersebut bertujuan untuk menyatukan kembali negara-negara di seberang lautan yang terlepas semasa pemerintahan Dyah Wijaya dan Jayanagara.

Selain menyatukan kembali negara-negara di seberang lautan, Sumpah Palapa Gajah Mada untuk menguasai daerah-daerah bekas jajahan Sriwijaya. Maka Tribhuwana mengutus Adityawarman untuk melaksanakan misi tersebut. Maka sesudah berhasil menguasai Palembang, Adityawarman menyerang Kerajaan Pagaruyung yang kemduian dikuasainya.

Matahari Emas di Langit Wilwatikta

Bersama meletusnya Gunung Kelud dan gempa bumi di Panbanyu, lahirlah Hayam Wuruk. Seorang anak laki-laki yang merupakan keturunan dari pasangan Kertawardhana dan Tribhuwana Wijayatunggadewi.

Sesudah berusia dewasa, Hayam Wuruk dinobatkan oleh Gayatri (nenek Hayam Wuruk atau ibu Tribhuwana) sebagai raja Wilwatikta. Ketika Hayan Wuruk menjadi raja, Tribhuwana berubah status sebagai anggota Saptaprabhu (Dewan Penasihat Raja yang berjumlah tujuh orang dari lingkup istana Wilwatikta) pada tahun 1350. Ketika menjadi raja di Wilwatikta, Hayam Wuruk menggunakan gelar Maharaja Sri Rajasanagara. Sementara yang menjabat sebagai Patih Amangkubhumi tetap Gajah Mada.

Semasa pemerintahan Hayam Wuruk yang mendapat dukungan program politik Gajah Mada, Wilwatikta mengalami puncak kejayaan. Di mana waktu itu, Wilwatikta berhasil memerluas wilayah kekuasaannya di nusantara. Sehingga Wilwatikta dikenal dengan Kerajaan Nusantara II paska Sri Wijaya yang dikenal dengan Kerajaan Nusantara I.

Selain itu wilayah yang luas, bidang kesusastraan dan seni-budaya di Wilwatikta mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Sehingga pada masa itu, karya-karya sastra semisal: Kakawin Nagarakrtagama (Mpu Prapanca) dan Kakawin Sotasoma (Mpu Tantular) yang sangat legendaris itu dilahirkan.

Banjir Darah di Lapangan Bubat

Sekalipun Sumpah Palapa dapat direalisasikan dengan hasil optimal, namun Gajah Mada belum merasakannya sempurna. Mengingat Kerajaan Galuh Sunda dan Galuh Pakuan belum berhasil ditaklukkannya. Karenanya sewaktu Hayam Wuruk akan menikahi Dyah Pitaloka Citraresmi (putri Maharaja Prabu Linggabuana) dari Kerajaan Sunda, Gajah Mada menyarankan pada Raja Hayam Wuruk agar putri Sunda tersebut dianggap sebagai tanda takluk Sunda pada Wilwatikta. Namun saran Gajah Mada tersebut ditentang oleh Tribhuwana Wijayatunggadewi yang tergabung dalam Saptaprabhu. Mengingat Sunda masih saudara dengan Wilwatikta yang tidak boleh saling menaklukkan antara satu dengan lainnya.

Demi ambisinya untuk menaklukkan seluruh wilayah di nusantara, Gajah Mada tidak memedulikan tentangan dari Tribhuwana Wijayatunggadewi. Karenanya sesudah rombongan pengantin dari Sunda itu sampai di lapangan Bubat, Gajah Mada yang belum mendapatkan persetujuan dari Hayam Wuruk tetap memaksa Linggabuana untuk menyerahkan Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, melainkan sebagai tanda takluk Sunda pada Wilwatikta. Akibatnya perselisihan antara Lingga Buana dan Gajah Mada yang berakhir dengan peperangan antara rombongan pengantin Sunda dan pasukan Wilwatikta. Akibat dari perang, Linggabuana beserta rombongannya tewas dibantai oleh pasukan Wilwatikta. Dyah Pitaloka sendiri bunuh diri sesudah mengetahui ayahnya tewas sebagai tumbal perang.

Akibat dari Perang Bubat adalah merenggangnya hubungan antara Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Karena tindakannya yang sangat ceroboh itu, Gajah Mada menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak bangsawan dan pejabat Wilwatikta. Gajah Mada dianggap telah lancang dan melukai perasaan Hayam Wuruk.

Peristiwa Bubat pula menandai mulai surutnya karir Gajah Mada. Kesurutan karir Gajah Mada itu berawal ketika ia mendapat anugerah berupa tanah perdikan di Madakaripura (sekarang: Probolinggo) dari Hayam Wuruk. Sekalipun terkesan mendapatkan anugerah, kebijakan Hayam Wuruk itu dapat diinterpretasikan sebagai anjuran halus agar Gajah Mada menyingkir jauh dari Istana Wilwatikta. Sekalipun masih berstatus sebagai Patih Hamangkubhumi sampai akhir hayatnya (1364), namun Gajah Mada telah jauh dari urusan pemerintahan dan politik kenegaraan di istana Wilwatikta. 

Perang Paregreg

Semasa pemerintahan Hayam Wuruk dan Wijayarajasa, hubungan antara Wilwatikta Barat dan Wilwatikta Timur masih diwarnai rasa segan. Hal ini dikarenakan Wijayarajasa yang menguasai Wilwatikta Barat masih merupakan mertua dari Hayam Wuruk yang berkuasa di Wilwatikta Timur.

Sepeninggal Wijayarajasa (1398), tahta kekuasaan Wilwatikta Timur diduduki oleh Bhre Wirabhumi. Sementara sepeninggal Hayam Wuruk (1389), tahta kekuasaan Wilwatikta Barat diduduki oleh Wikramawardhana.

Ketika Indudewi meninggal dunia, Bhre Wirabhumi mengangkat Nagarawardhani sebagai Bhre Lasem yang bergelar Bhre Lasem Sang Halemu. Sementara, Wikramawardhan mengangkat Kusumawardhani sebagai Bhre Lasem bergelar Bhre Lasem Sang Ahayu. Dari sinilah kemudian timbul Perang Paregreg antara Wikramawardhana dan Bhre Wirabhumi. 

Pada tahun 1406, pasukan Wilwatikta Barat yang dipimpin Bhre Tumapel (putra Wikramawardhana) menyerbu kubu Bhre Wirabhumi. Dari penyerbuan Bhre Tumapel mengakibatkan pihak Bhre Wirabhumi menderita kekalahan. Bhre Wirabhumi melarikan diri dengan menggunakan perahu pada malam hari. Sesudah tertangkap, Bhre Wirabhumi dipenggal kepalanya oleh Raden Gajah (Bhra Narapati) yang menjabat sebagai Ratu Angabhaya. Oleh Raden Gajah, kepala Bhre Wirabhumi diserahkan pada Wikarmawardhana.

Paska Perang Paregreg, Wikramawardhana memboyong Bhre Daha yang merupakan putri Bhre Wirabhumi untuk dijadikan istri (menggantikan Kusumawardhani yang meninggal pada tahun 1440). Dari perkawinan antara Wikramawardhana dan Bhre Daha itu lahirlah Sri Suhita.

Dalam Serat Kandha, Perang Paregreg difiksikan dengan perang antara kubu Ratu Kencanawungu dari Wilwatikta dan kubu Urubisma (Menak Jingga) dari Blambangan. Karena tak mampu menaklukkan Urubisma yang sakti mandraguna, Ratu Kencana Wungu mengutus Raden Damarwulan untuk menumpas pemberontakan adipati Blambangan itu. Sesudah dapat memenggal kepala Menak Jingga dengan sebilah pedang, Raden Damarwulan diangkat sebagai suami Ratu Kencana Wungu dan sebagai raja Wilwatikta. Kelak dari perkawinan mereka akan melahirkan Prabu Brawijaya I.

Menghukum Pancung Bhra Narapati

Sesudah Wikramawardhana dan Bhre Tumapel meninggal saat terjadi bencana kelaparan, Sri Suhita naik tahta sebagai raja Wilwatikta VI dengan gelar abhiseka Bhatara Parameswara. Selama memerintah, Sri Suhita diampingi suaminya yakni Bhra Hyang Parameswara Ratnapangkaja (1429-1447).

Pada tahun 1433, Sri Suhita membalas kematian Bhre Wirabhumi kakeknya dengan menghukum mati Raden Gajah (Bhra Narapati) dengan cara memenggal kepalanya. Selain itu, Sri Suhita mengangkat Arya sebagai pemimpin masyarkat China di Tuban.

Petaka di Bumi Wilwatikta

Semasa pemerintahan Dyah Kertawijaya atau Sri Maharaja Wijaya Parakramawardhana atau Brawijaya I (1447-1451), Wilwatikta dilanda gempa bumi dan gunung meletus. Selain itu, timbul peristiwa pembunuhan terhadap penduduk Tidung Gelating yang dilakukan oleh Bhre Paguhan yang merupakan kemenakan Dyah Kertawijaya.

Akhir pemerintahan Dyah Kertawijaya sangat tragis. Karena pemberontakan yang dilakuykan oleh Rajasawardhana Sang Sinagara, Dyah Kertawijaya tewas. Sepeninggal Dyah Kertawijaya, Rajasawardhana yang dikenal dalam naskah Babad sebagai Brawijaya II tersebut naik tahta dan berkuasa di Wilwatikta dari tahun 1451 hingga 1453. Paska pemerintahan Rajasawardhana, Wilwatikta mengalami kekosongan pemerintahan selama tiga tahun yakni dari tahun 1453-1456.

Senja di Langit Wilwatikta

Pada tahun 1456, Bhre Wengker naik tahta sebagai raja Wilwatikta ke-9 dengan gelar Girishawardhana Dyah Suryawikrama (Brawijaya III). Semasa pemerintahan Bhre Wengker (1456-1466), Wilwatikta kembali dilanda bencana yang berupa gempa bumi dan gunung meletus pada tahun 1462. Sepeninggal Bhre Wengker, pemerintahan Wilwatikta dikendalikan oleh Bhre Pandansalas (versi Pararaton), Dyah Suprabhawa (versi Prasasti Waringin Pitu), atau Brawijaya IV (versi naskah Babad).

Semasa pemerintahan Bhre Pandansalas atau Dyah Suprabhawa (Sri Adi Suprabhawa Singhawikramawardhana Giripati Pasutabhupati Ketubhuta) pada tahun 1466-1474, Wilwatikta kembali dilanda kemelut politik. Bhre Pandansalas terpaksa meninggalkan tahta kekuasaannya untuk melarikan diri ke tlatah Dayo atau Dhaha (Prasasti Jiyu), sesudah tidak berdaya menghadapi kudeta yang dilakukan oleh Bhre Kertabhumi (Brawijaya V). Sesudah Bhre Pandansalas meninggalkan istana, Bhre Kertabhumi naik tahta sebagai raja Wilwatikta terakhir yang berpusat di Ibukota Majakerta. Ia berhasil mengendalikan pemerintahan Wilwatikta sejak dari 1474 hingga 1478.

Di masa pemerintahan Bhre Kertabhumi, timbul pemberontakan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya, Sri Wilwatikta Jenggala Kediri, Pabutala, atau Brawijaya VI. Akibat pemberontakan dari Dyah Ranawijaya, kekuasaan Bhre Kertabhumi berakhir. Selain itu, ibukota Wilwatikta yang semula berada di Majakerta dipindahkan oleh Dyah Ranawijaya di Daha.

Eksistensi Wilwatikta sebagai kerajaan yang pernah berjaya sebagai negeri gemilang di Nusantara pun berakhir. Manakala kekuasaan Girindrawardhana Dyah Ranawijaya (1486-1527).dapat dihancurkan oleh pasukan Kesultanan Demak semasa pemerintahan Sultan Trenggana pada tahun 1527. Pada saat itulah, sejarah Wilwatikta yang pernah mengalami kejayaan semasa pemerintahan Hayam Wuruk itu pun berakhir. (Sri Wintala Achmad)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun