Pengantar
Serat Centhini yang digubah Raden Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Ngabehi Yasadipura, Raden Ngabehi Sastradipura, Pangeran Jungut Manduraja, dan Kiai Mohammad tersebut merupakan karya masterpiece dan sekaligus sebagai ensklopedi Jawa Karena selain mengungkapkan kisah tentang pengembaraan beberapa tokoh, semisal: Syekh Amongraga, Jayengsari, Niken Rancangkapti, Cebolang, Jayengresmi (Jayengwesthi), Jayengraga, Niken Tambangraras, Centhini, dll; Serat Centhini pula mengungkap berbagai tradisi, budaya, dan kearifan masyarakat Jawa.
Berangkat dari nilai-nilai kultural, edukatif, dan filosofis baik tersurat maupun tersirat di dalam Serat Centhini; maka serat yang ditulis dengan bentuk rangkaian pupuh tembang macapat berbahasa Jawa tersebut layak ditelaah, direinterpretasikan, dan digubah ke dalam bentuk karya fiksi (novel) dengan menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini agar nilai-nilai yang terkandung di dalam serat tersebut dapat dipahami oleh masyarakat luas.
Serat Centhini yang menjadi sumber inspirasi dalam Novel Modern: CENTHINI GUGAT [Kupu Putih Desa Jurang Jangkung] merupakan karya yang menjawab bahwa wanita Jawa bukan sekadar kanca wingking dan patner seks. Namun, wanita lebih diposisikan sebagai insan pemberani, pejuang, dan pembaharu. Hal ini dapat ditilik melalui tokoh-tokoh: Ratu Pandansari, Niken Rancangkapti, Niken Tambangraras, Centhini, Dewi Kilisuci, Ganda Arum, dan Kinanthi. Putra semata wayang Centhini yang merupakan tokoh utama dalam novel ini.
Karenanya dengan membaca novel ini, Anda tidak hanya dapat mengikuti kisah dalam Serat Centhini, namun pula dapat mengambil nilai-nilai kearifan di dalamnya. Termasuk nilai-nilai kearifan masyarakat Jawa terhadap peran seorang wanita yang bukan sebagai obyek, namun sebagai subyek yang turut mewarnai kanvas zaman agar lebih beradab.
Bagian I
SEBENDEL LONTAR DI DALAM ALMARI KAYU
MATAHARI menyembul dari balik bukit timur. Kabut yang menggenangi desa Jurang Jangkung perlahan-lahan tersingkap. Burung-burung berloncatan dari dahan ke dahan pohon. Kupu-kupu dan capung-capung berterbangan tanpa menggendong beban di punggungnya. Semilir angin yang menggetarkan daun-daun dan rumputan memberikan kesejukan.
Langit safir yang tak tergores awan memayungi desa Jurang Jangkung. Desa yang menghampar di lembah dilingkungi perbukitan. Desa subur yang ditumbuhi aneka pepohonan: kelapa, mahoni, jati, rambutan, jambu biji, jambu air, kelengkeng, dan lainnya. Desa makmur dengan hamparan ladang jagung, tomat, cabai, bayam, bayung, sawi, kobis, kacang panjang, dan lainnya. Desa yang diyakini banyak orang sebagai irisan surga.
Sebagaimana orang-orang yang meladang dengan tubuh dan wajah bermandi keringat, Centhini masih tegar mengayunkan cangkulnya ke tanah garapan. Agar tanaman jagungnya yang baru berumur setengah bulan itu dapat tumbuh dengan baik. Memberi hasil jagung-jagung segar yang besar. Terbebas dari serangan hama dan ulat.
Di bawah matahari yang semakin terik, Centhini mengatur napasnya yang mulai ngos-ngosan. Menyeka leleran keringat di wajah dan leher dengan tapak tangannya yang kasar. Dengan memanggul cangkul, ia menuju gubug tepi pematang. Duduk di amben gubug itu. Menenggak air yang keluar dari lubang moncong kendi. Rasa segar menjalar ke sekujur tubuhnya.
Centhini mendesah. Teringat pada keputusannya yang bodoh. Menerima perintah Syekh Amongraga untuk menikah dengan Monthel. Lelaki bertubuh tambun yang menceraikannya sesudah tergoda dengan janda kembang. Meninggalkannya tanpa mengingat nasib Kinanthi. Anak gadis semata wayang yang akan merasa damai tinggal di antara ayah dan ibunya.
Ambang matahari di titik terpuncak kubah langit, Centhini beranjak dari amben gubug. Dengan perut yang keroncongan, ia meniti pematang ladang. Pulang. Meletakkan cangkul dan kendi di dapur. Membasuh wajah, tangan, dan kaki di sumur belakang rumah. Memasuki ruang depan. Menyantap secowek nasi jagung, sayur lodeh, dan lauk tempe garit goreng. Melepas lelah sambil menikmati secangkir secang gula aren yang dipersiapkan Kinanthi di atas meja kayu.
"Masakanmu sangat lezat, Kinanthi!" Centhini mengipas-ngipaskan salah satu selendang lurik pemberian Tambangraras ke lehernya yang basah keringat. "Secang gula aren buatanmu membuatku kemepyar. Bakat masak mendiang nenekmu telah kamu warisi, Ndhuk."
"Apakah Nenek juga pintar masak, Mak?"
"Kalau tak pintar, nenekmu tak bakalan dipercaya sebagai tukang masak keluarga Ki Bayi Panurta."
"Begitu ya, Mak?" Sejenak Kinanthi terdiam. "Oh ya, Mak. Ki Bayi Panurta itu siapa?"
"Beliau orang terhormat di padepokan Wanamarta. Pada keluarga beliau, aku dan nenekmu bekerja sebagai babu. Orang-orang yang dikastakan di tingkat sudra. Semoga kamu tidak malu memiliki nenek dan simbok yang pernah bekerja sebagai babu. Tak bisa baca dan nulis. Bisanya hanya memeras keringat untuk memenuhi perintah juragan yang ngasih upah. Kamu harus belajar! Mumpung usiamu masih belia. Biar kelak, kamu tak menjalani hidup sebagai babu."
"Ya, Mak. Tetapi, pada siapa aku belajar? Di desa Jurang Jangkung kan belum ada guru yang bisa mengajarkan aku untuk bisa membaca dan menulis?"
"Memang, Ndhuk. Tapi bila kamu ingin belajar, aku dapat membawamu ke padepokan Wanatawang. Di padepokan itu, kamu dapat belajar pada Denmas Jayengresmi." Centhini teringat pada putra sulung Ki Bayi Panurta dan Nyi Malarsih yang berwajah tampan dan berkepribadian halus. "Bagaimana, Ndhuk? Apakah kamu bersedia mencecap ilmu dari beliau?"
"Tentu, Mak."
"Bagus!" Wajah Centhini senampak langit biru berlulurkan cahaya matahari. "Kalau begitu, persiapkan perbekalan secukupnya. Sebelum matahari terbit esok pagi, kita harus meninggalkan rumah. Pergi ke padepokan Wanatawang."
Kinanthi menganggukkan kepala. Seusai Centhini beranjak dari ruangan depan untuk kembali meladang, Kinanthi memasuki biliknya. Mempersiapkan perbekalan pakaian, beberapa potong kebaya lurik dan jarit yang masih pantas dipakai. Dimasukkannya sepotong demi sepotong ke dalam kantong blacu. (Bersambung)
Bagi teman-teman yang ingin menikmati kelanjutan novel Centhini Gugat, silakan kunjungi:
https://karyakarsa.com/sriwintlaachmad/novel-centhini-gugat-bagian-1
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H