Hari Anak 2022 dinodai dengan adanya kasus perundungan berujung korban jiwa. Bagaimana tidak? Korban merupakan seorang anak SD yang harusnya merasakan indahnya masa kecil malah dirundung oleh pelaku yang lebih tua darinya. Korban mengalami depresi berat yang mengakibatkan susah makan dan depresi hingga berujung meninggal dunia. Menyedihkan bukan?Â
Sedihnya lagi, korban sudah pernah mengadu ke kedua orang tuanya bahwa dia mendapatkan perundungan namun, respon orang tuanya sangatlah mengkhawatirkan. Dengan dalih memiliki 4 orang anak yang cukup menyita waktunya, ibu korban pun hanya menganggap aduan anaknya itu angin lalu.Â
Hal ini tentunya sangatlah menyedihkan, alih-alih mendapat pembelaan, korban malah sempat dimarahi oleh orang tuanya. Awalnya saya sangatlah marah kepada orang tuanya. Akan tetapi, perlulah dilihat lagi bahwa statement seperti ini bisa saja keluar dari lisannya karena kurangnya pemahaman dan pendidikan yang ia tempuh. Jadi orang tua tidak segampang itu!
Belum lah reda kekesalan saya terhadap orang tua korban, muncul statement baru dari Wakil Gubernur Jawa Barat, UU Ruzhanul Ulum yang menyatakan bahwa itu semua hanyalah candaan dan meminta agar kasus ini berakhir damai dan tidak dilanjutkan ke meja hijau. "CILAKA" refleks saya, bagaimana bisa statement tersebut keluar dari mulut seorang wagub yang harusnya memiliki pendidikan dan pemahaman yang lebih tinggi.
Menyadari banyaknya hujatan yang dilayangkan oleh netizen, UU pun akhirnya mengeluarkan klarifikasi yang saya kira akan melarat ucapannya. Akan tetapi, beliau malah seolah membenarkan dan menganggap hal itu sudah biasa bahkan, beliau pun pernah mengalami hal seperti itu. "Aduuhhh" saya bilang, sangat disayangkan sekali.Â
Sebagai orang yang kebetulan pernah SD di Tasikmalaya, statement dari kang UU ini sejenak mengingatkan kembali memori saya saat SD dulu. Orang dewasa yang merasa masa bodoh dan menganggap itu hanya candaan belaka, teman sebaya yang bercandanya berlebihan membuat saya menjadi orang yang tertutup dan takut pada orang baru. "Ulah pundungan!" gitu pesan dari ibu saya, saat mengadu bahwa saya di ejek. Yang kalimatnya bisa diartikan sebagai jangan baperan.Â
Wah saya kira kang UU tidak akan membenarkan tindakan pelaku tersebut. Apalagi jika kang uu sendiri pernah merasakan hal tersebut. Saya kira para orang dewasa ini kehilangan pengertian mengenai apa itu candaan.Â
Bapak, ibu perlu anda sadari bahwa candaan adalah momen dimana semua tertawa bersama, bukan hanya 1 pihak saja yang tertawa. Perundungan seperti ini sudah seharusnya jangan sampai terjadi lagi dan saya harap menjadi kasus terakhir. Apalagi, kasus ini berdekatan dengan momen hari anak nasional.
Bapak, ibu sekali lagi saya ingatkan bahwa perundungan bukanlah sebuah candaan. Mungkin teman anak anda tertawa atau bahkan anda juga ikut tertawa tapi, yang dirasakan oleh sang anak akanlah berbeda. Tidak semua anak akan terbuka dengan apa yang ia alami di sekolah atau di lingkungan pertemanan.
Dari sinilah kepekaan anda sebagai orang tua diuji. Apakah anda peka dan sadar akan perubahan sikap dari anak anda? Apakah ada yang salah? Jika iya, coba untuk rangkul anak anda, ajak anak anda berbicara. Anak hanya perlu didengar dan ditemani.Â
Dan untuk pak UU yang terhormat, saya buatkan sendir paragraf ini khusus untuk anda. Sebagai rakyat Jawa Barat, saya merasa kecewa dengan statement anda. Saya harap agar anda berpikir kembali sebelum mengucapkan statement di muka umum. Apa yang pernah anda lalui bukan berarti itu dapat dimaklumi, bukan pula menjadi pembelaan.
Sebagai anak hukum, saya rasa perlulah negara ini mengatur lebih lanjut mengenai perundungan dan pidana anak. Anak harus mendapatkan konsekuensi dari apa yang telah ia perbuat, tentunya pendampingan dari psikolog juga diperlukan. Apalagi, jika tindakan anak tersebut mengakibatkan adanya korban jiwa.
Saya tekankan sekali lagi bahwa bullying bukanlah candaan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H