Mohon tunggu...
Muwaffaq
Muwaffaq Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar - Suka Menulis - Pecinta Matematika - Senang Mendengarkan Musik

Seorang pelajar yang hobi menulis dan matematika

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sains adalah "Anak Emas" Islam yang Dibuang Jauh

21 Oktober 2024   12:21 Diperbarui: 21 Oktober 2024   12:39 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     Apa yang terbesit di benak kita saat mendengar kata sains dan agama? Dua kata yang bertentangan? Hal tersebut dapat bernilai benar bila hanya dilihat secara inderawi. Sains dalam pandangan modern dikatakan terpisah dengan agama. Sains sebagai suatu ilmu yang ilmiah, sementara agama adalah non-ilmiah. Akibat dari pemikiran tersebut adalah pemahaman yang disintegratif, yaitu pemisahan antara agama dan sains. Padahal, keduanya memiliki hubungan yang erat dan saling bersinergi satu sama lain. Pemikiran disintegratif tersebut justru menyebabkan adanya dikotomi ilmu pengetahuan yang mana berakibat pada terhambatnya perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Perkembangan sains dan ilmu pengetahuan selalu sejalan dengan agama, karena keduanya sama-sama berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini dapat dibuktikan melalui kacamata sejarah dan pandangan ilmuwan/ulama Islam terdahulu yang nantinya akan kita bahas.

     Menurut pandangan ilmuwan Muslim seperti al-Farabi dan Ikhwan al-Shafa, sains tidak hanya berkaitan dengan objek-objek fisik tetapi meliputi seluruh realitas, baik yang fisik maupun non-fisik, baik etik maupun matematik, baik logika maupun agama. Oleh karenanya, tidak mungkin ada pertentangan antara ilmu agama dan sains karena keduanya berasal dari sumber dan asal yang satu, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Al-Farabi sendiri merupakan seorang ilmuwan Muslim yang mampu mengembangkan skema dan struktur sains berdasarkan pemikiran filosof Yunani dan juga tradisi neo-Platonis yang kemudian dipadukan dengan ilmu-ilmu agama yang berlandaskan pada al-Qur'an dan Hadits Nabi Muhammad SAW. Selain itu, dalam buku Philosophical Instruction: An Introduction to Contemporary Islamic Pilosophy, karya Muhammad Taqi Misbah Yazdi, disebutkan bahwa terdapat tiga makna ilmu. Pertama, ilmu adalah keyakinan yang sesuai dengan kenyataan. Kedua, ilmu adalah himpunan proposisi yang dianggap berhubungan satu sama lain, meskipun sifatnya personal dan tidak spesifik. Ketiga, ilmu adalah proposisi-proposisi hakiki yang bisa dibuktikan dengan pengalaman inderawi. Para saintis modern sering kali membatasi pengertian sains hanya pada definisi yang ketiga dan tidak mempertimbangkan dua definisi lainnya.

     Salah satu hal yang menarik perhatian saya adalah tak jarang dalam masyarakat modern ini, termasuk Indonesia sendiri, terlihat tembok besar antara sains dan agama di tengah masyarakatnya. Beberapa ahli agama menganggap bahwa sains tidak penting untuk dipelajari, begitu pun dengan para akademisi yang sering kali menyepelekan dan bahkan meremehkan ilmu agama. Keduanya merupakan cara berpikir yang tidak tepat. Memakai kacamata sejarah adalah satu cara untuk memperluas wawasan & cara berpikir, karena sejatinya sejarah adalah kisah orang-orang terdahulu yang dapat diambil pelajaran bagi orang-orang sesudahnya. Islam mencapai Golden Age pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah. Pada masa tersebut, tokoh cendekiawan terkenal seperti al-Khawarizmi, Ibnu Sina (Avicenna), al-Farabi, dan sebagainya tidak hanya dikenal sebagai seorang ulama (ahli Agama Islam) namun juga seorang ilmuwan (akademisi). Hal tersebut membuktikan eratnya hubungan antara sains dan agama serta pentingnya mengintegrasikan keduanya untuk kemajuan ilmu dan peradaban. 

     Beranggapan bahwa seseorang harus mampu menguasai banyak disiplin ilmu tentu kurang tepat karena tiap individu mempunyai kapasitas dan potensi keilmuan yang berbeda, namun besar harapan saya agar masyarakat dapat melihat bahwasanya tiap bidang ilmu mampu bersinergi dengan bidang ilmu lainnya dan memberikan manfaat. Pola pikir masyarakat yang menganggap suatu disiplin ilmu lebih superior dibandingkan yang lain berakibat pada mengaburnya potensi manfaat antar ilmu dan terhambatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Pola pikir yang telah lama tertanam tentunya sudah memiliki akar yang tertancap kuat. Saya yakin dengan memberikan pemahaman dan literasi kepada generasi muda, khususnya pelajar terkait pentingnya integrasi antara sains dan agama merupakan suatu langkah yang dapat memberikan dampak yang besar ke depannya.

.

.

.

.

.

reference : https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/kordinat/article/view/8106

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun