Mohon tunggu...
Ayu Adriyani
Ayu Adriyani Mohon Tunggu... -

Journalistic. Communication

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Intan dan Kebodohan yang Dirawat

14 November 2016   13:12 Diperbarui: 14 November 2016   13:24 676
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wade (James Badge Dale) dalam Echoes of War. Gambar ini dilansir dari www.truthoncinema.com

Senin pagi ini, menyapa dengan sedikit emosional. Intan Olivia (2) korban ledakan bom di Gereja Oikumene, Samarinda berpulang ke tempat yang jauh lebih damai, mendahului bapak ibunya. Fisiknya akhirnya takluk pada luka bakar yang menjejali tubuh mungilnya.

Ingatan saya tiba-tiba melanglang buana menuju adik angkat saya, Intan dan Nanda, sewaktu tinggal kurang lebih sebulan di Miangas sana. Ada beberapa Minggu yang saya lewati di tempat ini. Di rumah Mama Tina, Papa Kamurahan, Intan dan Nanda saya “menumpang hidup”. Keempatnya adalah Kristiani.

Mayoritas masyarakat Miangas memang beragama Kristen. Yang Islam di pulau ini hanyalah beberapa masyarakat asli Miangas yang menikah dengan tentara atau penduduk luar pulau yang beragama Islam, sehingga harus mengikuti suaminya.

Kembali ke Intan dan Nanda. Karena melewati beberapa minggu di pulau ini, saya pun melewati beberapa waktu untuk melihat Intan bangun sangat pagi, mandi, dan bersiap. “Intan mau kemana?,” Tanya saya di awal-awal. “mo sekolah minggu nooohh,” kata mama Tina dengan lincah dan logat Manado yang khas sambil menyisir rambut Intan. Intan pun hanya menjawab saya dengan senyum renyah khas anak-anak yang mendamaikan, paling tidak untuk sebagian orang.

Perhatian saya beralih ke Nanda. Nanda, adik Intan. Mama Tina dan Papa Kamurahan sebenarnya memiliki empat orang anak. Namun waktu itu, anak pertama perempuannya sedang bersekolah di Makassar dan menumpang hidup di rumah tantenya yang sudah memeluk islam semenjak memutuskan untuk menikah dan pindah ke Makassar. Sedang seorang lagi, yang lahir setelah Intan, sejak bayi telah diasuh oleh saudara Papa Kamurahan di Miangas sana. Jadilah, hanya Intan dan Nanda yang menemani Mama Tina dan Papa Kamurahan di rumah kecil ini.

Iya, di rumah itu. Rumah dengan jendela namun tanpa kaca, rumah dengan anjing yang bisa dengan leluasa mengintip masuk ke dalam rumah, rumah dengan seekor babi besar hitam di belakang rumah. Namun di rumah itu, kekhawatiran akan kepercayaan saya sebagai seorang muslim, tidak cukup membuat saya uring-uringan. Mama Tina seakan sudah memberi batas, dimana anjing boleh berkeliaran, dimana babi hanya boleh kedengaran suaranya namun tidak terlihat wujudnya. Walhasil, saya memang hanya sekali melihat babi hitam besar itu di belakang rumah. Itupun sewaktu hari pertama sampai di rumah itu, kaki saya melangkah menuju belakang rumah, dan JREEENNGGGG, PINTU BERBUNYI KERAS!

Oh iya, Nanda. Jika Intan bisa dengan senang hati mengikuti sekolah minggu, maka lain halnya dengan Nanda. Nanda, adik kecil yang umurnya sekitaran 6 atau 7 tahun ini, masih sangat berat meninggalkan pulau kapuknya. Wajahnya manyun sambil menunggu Mama Tina selesai dengan rambut Intan. Intan selesai, giliran Nanda. Tidak ada “permakan” yang berarti pada Nanda. Rambut Nanda memang cepak, ia hanya butuh disisir saja, tak perlu dikepang seperti rambut Intan. Oh iya, tak lupa wajah mereka berdua ditaburi bedak.

“Nanda ini, anak laki-lakinya mama’,” Kata Papa Kamurahan di pagi itu. Wajar saja, semua anak mama Tina dan Papa Kamurahan adalah perempuan. Nah, Nanda hadir dengan potongan bak laki-laki. Rambut cepak, baju kaos bergambar Power Rangers jadi andalan. Namun bagaimanapun hari minggu itu dimulai, bagi anak-anak ini, sekolah minggu adalah tempat “bermain” terbaik. Dan disaat yang sama, alam raya pastinya sedang bersuka.

*****

Saya membayangkan, betapa keceriaan dan renyahnya percakapan di pagi hari sebelum berangkat ke Gereja mewarnai keluarga Intan Olivia. Orang tua Intan tentunya masih bisa memilihkan baju terbaik untuk anaknya, anak yang dilahirkan dan dirawat dengan penuh kasih. Sedang Intan yang masih sangat kecil itu, masih bisa riang karena diselimuti ketulusan, dari selembar baju terbaik, dari tangan dan mulut baik yang selalu menuntunnya ke dalam satu sistem besar yang mereka yakini. Dan Intan Olivia, kepadanyalah mimpi-mimpi besar orang tuanya dititipkan.

Namun apa daya, tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan terjadi beberapa waktu kemudian. Tidak ada seorang pun yang tahu dimana dan kapan saatnya tiba untuk berpisah raga dengan dunia ini. Tubuh mungil Intan jadi satu dari beberapa manusia yang datang dengan suka cita menuju Gereja namun berujung pada duka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun