7
Subur Budaya (Katono)
Ds. Prembangan Kec Turen Kab. Malang
8
Rajawali (Abd Rochman H)
Perum biting Indah C II/9 Sukodono, Lumajang
9
Sekar Budaya (Norwasit)
Kota Mojoketo
Persoalan tentang arus globalisasi, gempuran budaya asing, pergeseran nilai kebudayaan, hingga redupnya minat kaum muda untuk kembali menggeluti kesenian rakyat ternyata mulai terasa kini nafasnya. Ludruk saat ini mirip seperti kabuki di Jepang, tak ada satupun wanita yang menjadi pemeran. Aneh? Tidak. Dengan gemulai dan juga aksi jenaka, para lelaki itu berperan layaknya wanita. Transgender biasa kita menyebutnya. Tiga tahun belakangan muncul pula kelompok remaja dari sekolah menengah di surabaya yang menamakan diri "Marsudi Laras", dengan tetap membawa akar Ludruk ke dalam pementasannya, mereka membawakan cerita-cerita kekinian yang jauh dari kata membosankan seperti sebelumnya masyarakat melihat ludruk di tahun 2000an, kesenian yang juga kerap diidentikkan dengan akar stand up comedy ala Jawa Timur. Pembukaan yang berupa monolog dan sarat isu serta kritik sosial.
Sama seperti kesenian daerah lainnya, ludruk memiliki pakemnya sendiri yang harus terus dipegang sebagai ciri khas kesenian ini. Di ludruk sendiri selalu ada pola teatrikal yang tak bisa diubah sehingga yang bisa dilakukan hanyalah memodifikasi ludruk untuk menyesuaikan diri dengan gempuran zaman. Kelompok ludruk Marsudi Laras misalnya, mereka dengan lugas membawa pakem dan mengubah konten isi pesan saja. Setiap pementasan mereka tetap harus dimulai dengan beberapa ritual kesenian dan itu dilakukan oleh kelompok remaja modern Marsudi Laras. Tarian pembuka dan monolog yang berisikan parikan Jawa Timur (pantun) tetap menjadi pakem hingga masuk kedalam cerita teatrikal keseluruhan. Modernisasi yang dapat diterapkan pada ludruk hanyalah dengan mengubah cara membawakan tanpa mengubah pakem yang ada.
Sebelum berbicara lebih jauh mari kita mengenal ludruk lebih dekat. Seperti kebanyakan kesenian jawa lainnya, ludruk menggunakan alat musik khas berupa gamelan. Namun saat ini ada beberapa komunitas ludruk yang mulai mencampurkan alat musik modern seperti drum, harmonika, biola, hingga piano dalam kapasitas teatrikal yang lebih besar. Alasan mencampurkan alat musik modern itu adalah karena musik menjadi salah satu daya tarik kesenian ini. Pengunjung akan bosan jika pentas ludruk tanpa musik. Gamelan tetap menjadi alat musik utama beberapa tarian khas Jawa Timur ditampilkan di dalam pentas ludruk.
Sekarang mari kita bahas mengenai perkembangan ludruk sendiri yang harus diakui meski nafasnya masih terasa, tetapi keeksisannya benar terhantam kemajuan zaman. Menilik asal usul kesenian ludruk yang juga termasuk kebudayaan tanah jawa yang masih identik dengan keraton Yogyakarta dan Surakarta yang merupakan representasi dari kerajaan mataram jawa, tidakmengherankan jika kebudayan di tanah jawa kerap disangkutpautkan dengan nilai kesopanan, unggah-ungguh yang memang mengakar dari kedua keraton tadi.Benar sekali jika keadaan sosial budya mempengaruhi lahirnya suatu kesenian.Kebudaayan di jawa terbagi karena adanya benturan antara kehidupan keraton dan juga kehidupan rakyat pinggiran.Stratifikasi sosial.Budaya tengahan dan budaya pesisir. Jawa timur masuk dalam ranah budaya pesisir, dimana budaya ceplas ceplos, urakan, berbicara tanpa basa basi menjadi ciri khasnya. Kebiasaan inilah yang diangkat pada kesenian ludruk.Sebuah pertunjukan yang membuat masyarakat pinggiran diakui. Masyarakat pesisir berani mengkritik penjajah (pada masanya) lewat seni teater. Di Jawa Timur sendiri tidak semuanya merupakan masyarakat berani. Ludruk menjadi salah satu media bagi para pemberani untuk tampil di depan umum dan menolak penjajah. Menolak ditunggangi kepentingan politik.
Ludruk memang mulai meredup, gerakannya menggeliat di tengah pereadaban zaman yang semakin maju. Ludruk sebenarnya hampir sama dengan kesenian ketoprak, hanya beda penyajian. Keduanya pun sedang berada di nasib yang sama. Kelompok humor srimulat sendiri berjuang untuk membawa kesenian ini ke layar kaca. Alasannya jelas untuk pelestarian budaya. Namun, realita menyatakan lain, kini masyarakat Indonesia lebih memilih diam di rumah dan menyalakan televisi. Memilih saluran terbaik dengan hiburan sesuai selera. Perkembangan zaman memang memudahkan orang untuk memilih media apa yang layak sebagai sarana hiburan. Seperti dalam Theory of use and gratification jika kita suka, kita akan terus melihat. Jika kita tidak butuh kesenian, maka kita meninggalkannya.Ludruk zaman dahulu biasa dinikmati tukang becak, pedagang asongan, maupun kelas menengah ke bawah. Modernisasi ludruk memang membuat ludruk naik kelas tetapi tetap butuh diperhatikan. Yang masih menjadi pekerjaan rumah adalah memunculkan penikmat baru dari kalangan baru.
Berbagai penyesuaian diterapkan pada ludruk sekarang ini, salah satunya dengan komposisi bahasa yang tidak 100% bahasa jawa. Sehingga paling tidak, orang indonesia dari daerah manapun dapat memahami maknanya. Berbeda dengan tarian yang tidak mengedepankan lisan, tetapi gerakan yang bercerita, maka meski memasukkan unsur modern agar lebih mudah diterima dan dinikmati hasilnya secara universal, ruhnya akan tetap ada. Ludruk memang tengah berjuang di tengah gempuran, pilihannya memang menyesuaikan diri atau mati dengan catatan sejarah yang mungkin anak cucu kita nanti belum tentu ketahui. Bukan tentang apa yang kita telah lihat namun apa yang kini kita ketahui. Seperti halnya kita mengenal maka akan mulai peduli.
Selayaknya manusia yang punya hati, lestarikan apa yang menjadi akar budaya bangsa. Yang membuat negeri kita indah dengan begitu banyaknya perbedaan. Paling tidak,sederhana saja, sempatkan untuk menjadi tahu. Ya, tahu akan kesenian daerah Anda adalah salah satunya.
Link: