Masih terdapat bagian-bagian yang menurut saya unik sekaligus canggung dalam novel ini. Bagaimana Marco mengisahkan mobilitas tokoh pribuminya pulang-pergi Hindia-Belanda cukup menarik perhatian. Seolah tidak ada yang "wah" tatkala seorang pribumi pergi bersekolah ke Belanda. Berangkatnya Hidjo ke Belanda tidak dijadikan sebagai momentum kemajuan berpikir orang-orang pribumi. Hampir tidak ada adegan-adegan progresif selama Hidjo di Belanda. Memang Hidjo terlibat dalam sebuah percakapan di mana dia mengidentifikasi diri sebagai orang Hindia di hadapan orang-orang Belanda. Selebihnya, hanya pergulatan batin kecil-kecilan akibat percintaan.
Satu lagi hal yang tidak kalah menarik. Masih seputar nilai-nilai progresif. Dalam novel ini, Marco justru menggunakan tokoh Belandanya untuk menyampaikan nilai-nilai progresif. Ini dapat ditemukan dalam sosok Kontrolir Walter. Kekaguman Walter pada kaum Bumiputera tampak sangat tulus. Kekaguman yang mengantarnya pada kesimpulan bahwa bangsa Hindia adalah bangsa yang berbudaya dan tidak kalah beradab dibanding bangsa lain.
Sebagai pembaca yang mencoba memahami bacaannya secara kontekstual, barangkali tidak terlalu berlebihan kalau saya bertanya "kenapa begini?" atau "kenapa begitu?". Kendati demikian, saya juga mencoba membatasi diri, agar tak terkesan berharap berlebihan pada suatu karya. Sebab, apa yang saya baca tak selalu sama dengan apa yang ingin saya baca. Â Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H