Â
Ada yang menarik dari penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) tahun ini. Sebuah desa di Kecamatan Laguboti, Kabupaten Tobasa memenangkan seorang kepala desa beragama Non-Kristen. Desa itu sendiri didominasi masyarakat beragama Kristen. Dilihat dari kacamata demokrasi yang ideal, tentu tidak ada yang istimewa. Ia menjadi istimewa karena terjadi di tengah masyarakat Indonesia yang mudah terpolarisasi dan cenderung sentimental.
Sebelumnya, pada tanggal 5 Desember 2019, sebanyak 105 Desa di Kabupaten Tobasa sukses menyelenggarakan Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) serentak. Di antara ratusan desa tersebut, tidak banyak yang konstelasi politiknya seperti di Desa Simatibung. Sangat jarang ditemukan seorang calon kepala desa berbeda keyakinan dengan sebagian besar masyarakat desa yang bersangkutan. Itulah mengapa situasi demikian selalu menjadi diskursus politik yang menarik. Sekalipun terjadi di kalangan masyarakat akar rumput (Grass Roots Society), dalam hal ini masyarakat desa.
Rasionalitas masyarakat diuji
Keadaan yang tidak kondusif sempat terjadi di Desa Simatibung. Pasca calon kepala desa yang beragama Non-Kristen tersebut mendeklarasikan diri, sempat muncul desas - desus di tengah masyarakat. "Desa yang hampir seluruh penduduknya beragama Kristen, haruskah dipimpin oleh kepala desa Non-Kristen ?" Kurang lebih seperti itulah respon masyarakat untuk pertama kalinya. Dari respon awal tersebut, dapat diketahui bahwa sentimen agama tidak serta merta hilang dalam Pilkades ini.
Hal menarik terjadi tatkala masyarakat mulai menimbang - nimbang sosok si calon kepala desa (kades) secara rasional. Di satu sisi, masyarakat mengetahui secara jelas bahwa si calon kades adalah seorang yang berkompeten.
Sementara di lain sisi, masih sulit bagi masyarakat desa untuk mengesampingkan sentimen agama. Dilema inilah yang kemudian menghadapkan masyarakat pada pilihan; menjadi rasional ataukah bertahan sebagai masyarakat yang sentimental.
Dengan kemenangan calon kades yang berlainan keyakinan tersebut, nampaknya masyarakat telah memilih untuk mengesampingkan sentimentalitas, dan mengedepankan rasionalitas. Sebuah keputusan yang berani dan layak diapresiasi.
Realita yang berbeda
Dalam konteks perpolitikan, realita yang ada dalam masyarakat di level akar rumput (grass roots)Â memang acapkali berbeda dengan realita yang ada di level regional maupun nasional.