Bagi para peminat sastra Rusia, nama Anton Chekhov barangkali bukan nama yang asing lagi. Cerita - ceritanya yang ironis dan kebanyakan bernada depresif telah melambungkan namanya menjadi salah satu sastrawan besar Rusia bersama dengan Maxim Gorky, Fyodor Dostoevsky, dan Leo Tolstoy yang karya - karyanya terus dikenang dan mendapat apresiasi sampai sekarang. Sebagai seorang sastrawan Rusia, setting time and place dalam cerita - cerita Chekhov kebanyakan berlatar Rusia akhir abad 19.Â
Beberapa diantara cerita - cerita tersebut seperti; Matinya Seorang Buruh Kecil, Ruang Inap No. 6, Pertaruhan, dan banyak cerita lainnya. Kendati demikian, rasa - rasanya banyak cerita Chekhov yang masih relevan dengan situasi di era sekarang. Mulai dari persoalan - persoalan moralitas hingga kritik terhadap masyarakat yang paranoid pada intelektualitas.Â
Ironi - ironi Anton Chekhov seolah selalu saja terulang dari zaman ke zaman, dan barangkali karena itulah karya - karyanya masih berhasil membuat pembaca di zaman sekarang tersenyum simpul tatkala membaca karyanya. Semua itu semata - mata karena cerita - cerita Chekhov masih terasa sangat relevan dengan situasi yang ada saat ini.
Hari - hari ini, terjadi sebuah peristiwa yang seolah merupakan visualisasi dari salah satu cerita Chekhov berjudul Bunglon. Peristiwa tersebut adalah penembakan yang dilakukan oleh anak Bupati Majalengka terhadap seorang kontraktor. Setelah kejadian tersebut, langsung santer pemberitaan mengenai perlakuan aparat Kepolisian dalam menangani perkara tersebut. Aparat kepolisian yang terkenal "sangar" terhadap tersangka disebut - sebut sangat lembut ketika menghadapi anak pejabat tersebut. Entah apa jadinya kalau yang menembak itu anak seorang petani. Eh, anak petani mana punya uang buat beli pistol dan masuk Perbakin.
Realita semacam inilah yang dipotret dan diangkat oleh Chekhov dalam cerpennya berjudul Bunglon tersebut. Dikisahkan, ketika seorang opsir polisi bernama Ochumelov melintas di sekitar kota, seorang pria kelas bawah mengeluhkan bahwa ia telah digigit seekor anjing. Melihat kondisi anjing tersebut yang memprihatinkan, sang opsir langsung membenarkan bahwa anjing tersebut memang telah mengigit orang dan layak untuk dimusnahkan. Namun, ketika tiba - tiba terdengar suara dari kerumunan yang mengatakan anjing tersebut bisa saja anjing milik seorang jenderal polisi, sang opsir dengan sangat cepat mengubah pendapatnya dan justru berbalik mengolok - olok si pria kelas bawah.Â
Tidak lama berselang, sikap sang opsir langsung berbalik menyalahkan si anjing lagi ketika terdengar suara dari kerumunan yang meragukan bahwa anjing itu adalah anjing sang jenderal. Layaknya seekor Bunglon, sang opsir berkali - kali mengubah sikapnya dengan cepat tergantung pada situasi, hingga pada akhirnya terbukti bahwa anjing tersebut adalah milik saudara sang Jenderal. Anjing tersebut pun dikembalikan kepada saudara sang Jenderal. Sementara si pria kelas bawah, dibiarkan begitu saja dan tidak ada yang peduli dia digigit anjing atau tidak.
 Mentalitas Asal Bapak Senang
Kasus penembakan yang melibatkan anak Bupati Majalengka beberapa waktu yang lalu kian melanggengkan citra diskriminatif aparat Kepolisian di mata masyarakat. Sinisme masyarakat terhadap aparat juga agaknya tidak akan berkurang melihat sikap aparat yang timpang, tidak tegas, tidak bersandar pada hukum, serta berubah - ubah tergantung situasi.Â
Persis aparat Bunglon rekaan Anton Chekhov. Seolah tidak ada habis - habisnya masyarakat mempertanyakan profesionalitas aparat di negeri ini. Kenapa aparat di negeri ini selalu saja bersikap demikian ? Jawabannya sederhana. Mentalitas Asal Bapak Senang sudah terlanjur berakar dalam diri sebagian besar masyarakat Indonesia. Tidak hanya aparat kepolisian. Jawaban ini tentunya bukanlah sebuah jawaban baru. Sebagaimana pertanyaannya yang sudah usang karena terlalu sering ditanyakan, jawaban ini juga telah sering diungkapkan.Â
Banyak penulis, antropolog, hingga sosiolog yang berpendapat bahwa mentalitas Asal Bapak Senang yang banyak menjangkiti aparat Kepolisian di Indonesia pada dasarnya adalah mentalitas yang berakar pada feodalisme di nusantara. Kolumnis Harian Kompas di era 1970'an, M.A.W. Brouwer adalah orang yang kerap menyinggung soal mentalitas Asal Bapak Senang ini dalam tulisan - tulisannya.Â
Menurutnya, feodalisme adalah embrio yang di kemudian hari akan melahirkan orang - orang dengan mental penjilat alias mental Asal Bapak Senang. Tidak hanya dalam karya non-fiksi seperti tulisan - tulisan Brouwer, karya fiksi Pramoedya Ananta Toer juga bahkan mengamini bahwa feodalisme adalah cikal bakal dari mentalitas Asal Bapak Senang.Â
Dalam sebuah dialog di novel Bumi Manusia, Pram menulis; "Dan alangkah indah kehidupan tanpa merangkak - rangkak di hadapan orang lain". Dialog ini muncul akibat kejengkelan Minke terhadap budaya feodalisme yang mengharuskan ia berjalan merangkak dan memberikan penghormatan pada raja - raja serta bupati di masa itu. Apa yang hendak disampaikan Pram adalah agar setiap orang, dengan intelektualismenya, membebaskan diri dari belenggu feodalisme.
Melihat bahwa telah sejak dulu feodalisme menjadi sebuah topik yang serius, serta telah banyak upaya untuk mengantisipasi dampak negatifnya, maka peristiwa yang terjadi dalam kasus penembakan yang dilakukan oleh anak Bupati Majalengka, dimana aparat Kepolisian bersikap secara tidak wajar dan diskriminatif adalah sebuah ironi. Ironi yang membuat setiap orang senantiasa bertanya; kapan mentalitas Asal Bapak Senang akan benar -- benar runtuh dari tatanan kehidupan masyarakat nusantara ?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H