Mohon tunggu...
Christian Rahmat
Christian Rahmat Mohon Tunggu... Freelancer - Memoria Passionis

Pembelajaran telah tersedia bagi siapa saja yang bisa membaca. Keajaiban ada di mana-mana. (Carl Sagan)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

50% + 1 Suara Tidak Cukup untuk Menangkan Capres-Cawapres?

17 Juni 2019   07:31 Diperbarui: 17 Juni 2019   07:40 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tanggal 17 April 2019, Indonesia sebagai negara demokrasi telah melaksanakan Pemilihan Umum untuk memilih siapa yang akan menjadi Presiden serta Wakil Presiden yang akan memimpin jalannya pemerintahan periode 2019-2024. Tidak hanya memilih calon presiden dan wakil presiden, rakyat Indonesia juga sekaligus memberikan suaranya untuk memilih siapa--siapa saja yang akan menjadi anggota legislatif di parlemen untuk merepresentasikan suara dan kehendak rakyat Indonesia dalam pemerintahan.

Secara keseluruhan, Pemilu kali ini boleh dikatakan berjalan dengan baik. Namun, tidak berarti kita menafikan masalah--masalah yang disisakan oleh Pemilu kita kali ini. Petugas TPS yang meninggal karena kelelahan, dugaan kecurangan di beberapa TPS di berbagai wilayah, petugas TPS yang mencoba bunuh diri karena kekeliruan dalam penghitungan suara, perkelahian antara saksi TPS yang memakan korban jiwa, serta kegaduhan di beberapa TPS karena dugaan--dugaan tidak profesionalnya lembaga penyelenggara Pemilu adalah beberapa contoh dari sisa--sisa Pemilu kemarin yang sangat kita sayangkan. Kita tentunya tidak menginginkan hal--hal demikian terjadi lagi di Pemilu--Pemilu yang akan datang.

Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini bukanlah mengenai pelaksanaan Pemilu 2019 maupun sisa--sisa dari Pemilu tersebut sebagaimana telah disebutkan diatas, melainkan mengenai persyaratan penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memenangkan Pemilu yang belakangan ini memunculkan perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi hukum, politisi, pengamat politik, serta masyarakat pada umumnya. 

Permasalahan ini muncul dari ketentuan pasal 416 UU NO. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu yang mendorong munculnya beberapa interpretasi dari substansi pasal tersebut.

Dalam pasal tersebut, dikatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menjadi pemenang Pemilu adalah yang memperoleh suara sebanyak 50% + 1 suara dengan ketentuan di setengah dari keseluruhan provinsi di Indonesia, paslon tersebut memperoleh setidaknya 20% suara di setiap provinsi. Ketentuan pasal ini kemudian menjadi polemik. 

Seorang praktisi hukum Indonesia, Otto Hasibuan mengatakan, dengan merujuk pada ketentuan pasal tersebut, maka apabila ketentuan persebaran perolehan suara tersebut tidak terpenuhi, maka harus dilaksanakan pemiliihan ulang sekalipun salah satu dari pasangan calon presiden dan wakil presiden telah memperoleh 50% + 1 suara. Hal yang bertentangan kemudian disampaikan oleh Refly Harun yang merupakan seorang pakar Hukum Tata Negara. 

Beliau menegaskan bahwa ketentuan persebaran perolehan suara itu tidak berlaku apabila hanya terdapat dua pasangan calon yang bertarung di pemilihan presiden. Ketentuan tersebut baru berlaku apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon yang bertarung di pemilihan presiden, yaitu apabila tidak didapat salah satu pasangan calon yang memperoleh 50% + 1 suara, maka dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak akan maju ke pemilu putaran kedua untuk menentukan siapa yang akan memenangkan pemilu. 

Dalam penentuan dua pasangan calon yang melaju ke putaran kedua inilah ketentuan mengenai persebaran perolehan suara itu diberlakukan, yaitu di setengah dari keseluruhan wilayah provinsi di Indonesia, pasangan calon harus memperoleh setidaknya 20% suara di setiap provinsi.

Refly Harun menambahkan bahwa ketentuan tersebut adalah penafsiran dari Mahkamah Konstitusi atas pasal 6A UUD NRI 1945. Namun, pada pasal 416 UU Pemilu tersebut, tafsir Mahkamah Konstitusi itu tidak dimasukkan sebagai salah satu klausula dalam ketentuan pasal tersebut. 

Refly Harun berpendapat bahwa tidak dimasukkannya tafsir Mahkamah Konstitusi itu dalam ketentuan pasal 416 UU Pemilu merupakan sebuah kelalaian dari pembuat Undang -- Undang. 

Oleh karena itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemudian mengeluaran Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU No. 5 Tahun 2019 Tentang Penetapan Calon Terpilih) untuk menutupi kekurangan yang ada pada pasal 416 UU Pemilu tersebut, dimana pada pasal 3 ayat (7) disebutkan bahwa apabila hanya terdapat dua pasangan calon, maka KPU menetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pasangan calon terpilih. Di sisi lain, Otto Hasibuan berpandangan bahwa PKPU tersebut tidak dapat dijadikan sebagai rujukan utama untuk menentukan pemenang pilpres. 

Otto Hasibuan yang teguh dengan prinsip--prinsip positivisme hukumnya berpendapat yang harus menjadi rujukan utama adalah UU NO. 7 Tahun 2017, yaitu ketentuan yang terdapat dalam pasal 416. 

Berangkat dari positivisme hukum tersebut, Otto Hasibuan juga menegaskan bahwa PKPU yang dikeluarkan oleh KPU bertentangan dengan UU Pemilu karena tidak sejalan dengan ketentuan UU Pemilu dan justru menfsirkan lain dari apa yang diatur dalam UU Pemilu. Padahal, Otto mengatakan, PKPU itu seharusnya merupakan peraturan pelaksanaan dari UU Pemilu, bukan mengatur lain dari apa yang sudah ditentukan dalam UU Pemilu tersebut.

Polemik perihal penetapan pemenang pilpres ini memang cukup menarik untuk dikaji dari perspektif hukum ketatanegaraan. Namun, sebelum memperdebatkan polemik ini lebih jauh dari perspektif hukumnya, terdapat persoalan -- persoalan logis mengenai polemik penetapan pasangan calon pemenang pilpres ini. Persoalan pertama adalah mengenai penghitungan 50% + 1 suara dengan ketentuan 20% suara di setiap provinsi. 

Masalah penghitungan ini berkaitan dengan pertanyaan--pertanyaan seperti; Apakah mungkin salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden bisa memperoleh 50% + 1 suara secara nasional, namun perolehan suara tersebut tidak tersebar di setengah dari keseluruhan provinsi di Indonesia dengan setidaknya 20% suara di setiap provinsi ? Apakah ada kemungkinan salah satu paslon memperoleh suara di setengah dari keseluruhan provinsi di Indonesia dengan perolehan suara setidaknya 20% suara di setiap provinsi namun secara nasional tidak memperoleh suara sebanyak 50% + 1 suara ? Kecermatan dalam penghitungan perolehan suara ini sangat diperlukan. 

Karena apabila ternyata perolehan suara sebanyak 50% + 1 suara sepaket atau sama artinya dengan memperoleh setidaknya 20% suara di setiap provinsi, maka persebaran perolehan suara tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi. 

Persoalan kedua adalah mengenai kemungkinan diadakannya pemilihan ulang apabila salah satu pasangan calon memperoleh 50% + 1 suara namun tidak memenuhi persyaratan persebaran perolehan suara di setiap provinsi, sementara pasangan calon yang lain memenuhi persyaratan persebaran perolehan suara di setiap provinsi namun tidak memperoleh 50% + 1 suara. 

Dengan asumsi perolehan suara memang demikian, pertanyaan yang kemudian timbul adalah; Apakah perolehan suara tersebut bisa berubah apabila diadakan pemilihan ulang ? Mengingat hanya ada dua pasangan calon yang bertarung. 

Hemat saya, diulang berapa kalipun, perolehan suara tersebut tidak akan jauh berbeda kecuali pemilih berubah pikiran dan berbalik mendukung pasangan calon yang lain. 

Dengan kata lain, apabila terjadi perolehan suara seperti diatas, maka hal itu terjadi karena memang demikianlah kondisi persebaran pemilih, dan persebaran pemilih ini tentunya dinamis dan berubah--ubah.

Menurut hemat saya, untuk menentukan siapa yang menjadi pemenang pilpres, in case hanya ada dua pasangan calon, maka cukup dengan ketentuan siapa yang memperoleh suara terbanyak (50% + 1 suara) dan tidak memperhitungkan persebaran perolehan suaranya lagi. 

Sedangkan apabila terdapat lebih dari dua pasangan calon, maka ketentuan persebaran perolehan suara dapat diterapkan untuk memperoleh dua pasangan calon yang akan melaju ke pemilu putaran kedua guna memperoleh siapa yang akan menjadi presiden dan wakil presiden. 

Pada akhirnya, perdebatan-perdebatan semacam ini tentunya mendorong kita untuk menelisik lebih dalam lagi bagaimana kondisi dan perkembangan hukum kita, secara khusus hukum ketatanegaraan kita, sehingga kita bisa memahami suatu masalah dengan lebih baik dan dengan sendirinya mampu memberikan solusi terbaik untuk menyelesaikan masalah tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun