Semua bermula ketika Mukhtaran Bibi (Mukhtar Mai), seorang perempuan Pakistan yang berasal dari kasta rendahan (Gujar) dijatuhi hukuman oleh Dewan Adat desanya yang didominasi oleh orang -- orang dari kasta yang lebih tinggi (Mastoi) atas sesuatu kesalahan yang sama sekali tidak diperbuatnya. Adik Mukhtaran Bibi, Shakur dituduh telah "berhubungan" dengan Salma, seorang perempuan muda dari kasta Mastoi.Â
Meskipun Mukhtaran Bibi beserta seluruh anggota keluarganya yakin bahwa Shakur sama sekali tidak melakukan apa yang ditudukan oleh kaum Mastoi kepadanya, dengan saran ayahnya dan kerabat -- kerabat yang lain, Mukhtaran Bibi dipilih untuk memohon pengampunan kepada kaum Mastoi untuk melepaskan Shakur yang telah diculik oleh kaum Mastoi sebelumnya.Â
Namun naas bagi Mukhtaran Bibi. Alih -- alih menerima permohonannya, Dewan Adat yang "dikuasai" oleh kaum Mastoi justru menghukum Mukhtaran Bibi dengan cara diperkosa secara massal dan kemudian disuruh berjalan pulang dalam kondisi setengah telanjang di hadapan ratusan penduduk desa.Â
Pasca kejadian yang mengerikan ini, Mukhtaran Bibi hampir tidak punya semangat hidup lagi. Dia terlihat sangat murung dan menutup diri. Bahkan, sempat terlintas di benaknya untuk mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.Â
Namun Mukhtaran Bibi mengurungkan niatnya tersebut karena dia tahu itu bukanlah jalan keluar yang dianjurkan oleh agama yang dia anut. Meskipun buta huruf, Mukhtaran Bibi sangat menghayati Islam dan menghapal bacaan -- bacaan Al -- Qur'an.Â
Dia juga mulai membuka diri ketika mengetahui bahwa kasus yang menimpa dirinya tersebut mulai muncul ke permukaan dan disoroti oleh banyak media, baik media nasional maupun internasional.Â
Satu harapan baru muncul dalam hati Mukhtaran Bibi, yakni mengambil langkah penuh resiko untuk berjuang mendapatkan keadilan. Perlahan namun pasti, Mukhtaran Bibi mulai mengungkap keganjilan -- keganjilan selama proses pemeriksaan perkaranya serta tindakan -- tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh para oknum penegak hukum yang menangani kasusnya. Perjalanan Mukhtaran Bibi dalam mencari keadilan tidak selalu mulus.Â
Sebaliknya, banyak pihak yang menuduhnya sebagai wanita murahan yang tidak tahu malu. Dia justru dianggap telah mempermalukan negaranya dengan mengangkat kasusnya hingga menjadi perhatian dunia internasional. Bahkan, dia juga dianggap sebagai wanita pengeruk uang dan hanya mencari popularitas melalui kasus yang menimpanya menyusul banyaknya bantuan yang mengalir kepadanya. Semua tekanan tersebut pun sempat membuat Mukhtaran Bibi depresi.
Kendati perjuangan Mukhtar Mai penuh dengan tekanan, dia tetap saja berdiri kokoh untuk memperjuangkan hak -- haknya sebagai perempuan dan bahkan merambah hingga hak -- hak perempuan lain di negaranya yang menjadi korban pemerkosaan. Keteguhan hati Mukhtar Mai tidak terlepas dari dukungan organisasi -- organisasi pejuang Hak Asasi Manusia, dan juga sahabatnya, Naseem Akhtar yang selalu setia mendampingi Mukhtar Mai.Â
Hingga pada akhirnya, banyak perempuan korban pemerkosaan yang diselamatkan berkat satu langkah kecil penuh resiko yang diambil oleh Mukhtar Mai. Berkat bantuan dana dari pihak -- pihak yang mendukung perjuangannya, dia pun mendirikan Mukhtar Mai  School yang berfokus untuk mendidik anak -- anak perempuan tentang hak -- hak mereka sebagai perempuan dan bahwa mereka mempunyai kesempatan yang sama dengan anak laki -- laki. Kisah perjuangan Mukhtar Mai pun telah membuatnya menjadi simbol perlawanan kaum perempuan atas segala tindakan diskriminatif dan ketidakadilan.
Buku In The Name Of Honor ini adalah karya luar biasa kolaborasi dari Mukhtar Mai dan Marie-Therese Cuny yang telah menjadi salah satu buku yang memicu semangat para perempuan untuk senantiasa memperjuangkan dan mempertahankan kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan.Â