Mohon tunggu...
Anhar Dana Putra
Anhar Dana Putra Mohon Tunggu... -

a diver who only deal with the deepest ocean ever, named heart

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tapi, Bu!

31 Mei 2013   02:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:46 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Laki-laki itu beserta arak-arakan mobil mewah yang menyertainya sedang menuju ke sini. Mungkin sekarang ia sedang merapalkan kata-kata yang sudah ia persiapkan, untuk memenangkan hati ibuku. Atau ia sedang tertidur pulas, sebab mungkin ia sudah tahu rahasia untuk memenangkan hati setiap ibu, kemapanan dengan segala kemewahan di sekelilingnya. Dalam kasus ini, pialanya adalah aku.

Rupaku adalah emas bagi setiap laki-laki, kecemburuan bagi setiap perempuan. Aku adalah Cleopatra abad mesin yang takut ular, tanpa tahta. Kebanggaan utama satu-satunya kerajaan yang melingkupiku, keluarga Mahardika. Dan malam ini, sang ratu, ibu, berniat memperluas wilayah kekuasaannya dengan menjadikan aku sebagai persembahan. Aku adalah Cleopatra dalam versi yang lebih menyedihkan.

“bersiaplah sayang, mereka sudah dekat”

“tapi bu, aku belum siap”

“kau tak tahu apa-apa soal kesiapanmu, nak”

Ibu selalu begitu, betapapun aku sudah merasa diriku sudah dewasa, ia akan selalu menganggapku sebagai anak kecil yang tak pernah tahu apa-apa. Kadang aku sendiri bingung tentang konsep ikatan batin antara ibu dan anak. Tapi, menurutku ibu tak selalu tahu apa yang anaknya butuhkan. Ibu, kadang-kadang hanya sok tahu. Mirisnya, ratu tetaplah ratu, kata-katanya adalah titah yang harus selalu berjodoh dengan kepatuhan, atau? Mati, secara konotatif, bahkan harfiah.

Seperti ketika tiba saatnya aku masuk perguruan tinggi. Menurut Ibu aku pantas menjadi mahasiswa kedokteran, sebab nilai raporku tinggi-tinggi. Tapi, sejak dulu aku tak pernah berniat menyembuhkan orang-orang. Aku tak tertarik menjadi jelmaan Mesiah, bumi sudah penuh dijejali orang-orang seperti mereka. Menurutku, setiap orang harus menyembuhkan sendiri lukanya, bagaimanapun caranya. Bukan malah bergantung pada kekuatan lain di luar dirinya seperti dokter, dukun atau semacamnya. Apalagi sampai bergantung pada sebuah entitas abstrak bernama waktu. Memangnya sejak kapan waktu di daulat menjadi penyembuh? Apa pernah waktu dimintai kesediaannya?

“aku tidak mau kuliah kedokteran bu”

“ah? trus maunya apa?”

“apa saja bu, asal jangan kedokteran bu”

“kamu sakit sepertinya nak, sana istirahat”

“tapi bu”

Sebulan setelah percakapan itu, aku menemukan namaku terpampang di Koran, lulus di fakultas kedokteran. Entah harus senang atau meradang, yang pasti lagi-lagi sang ratu keluar sebagai pemenang. Empat tahun masa akademik kujalani dengan setengah hati, tapi tetap sepenuh raga dan pikiran. Aku tak lebih dari seorang boneka yang terprogram cakap mengerjakan tugas makalah, mengerjakan esai laporan, menjawab soal-soal ujian, menghapal bermacam-macam terminologi penyakit dan obat, berlatih melakukan diagnosa-diagnosa sederhana dalam setiap percobaan medis, dan banyak lagi tetek bengek akademik yang memuakkan. Hingga lulus dengan predikat sarjana, aku tak pernah nyaman memakai jas putih kebanggaan orang-orang di sekelilingku itu. Entah kenapa, seragam itu seperti punya daya magis untuk memantik sebuah lonjakan hirearkis pada diri seseorang yang memakainya, membuat orang-orang disekelilingnya seketika terperosok jatuh ke dasar sumur strata sosial. Sebuah keajaiban yang menggelikan.

Bagaimanapun, kini aku dikenal sebagai dokter Elena Mahardika, pahlawan bagi para penderita luka. Payahnya, aku tak pernah bisa menyembuhkan luka ku sendiri, bahkan sekedar melarikan diri atau bersembunyi. Lukaku jauh lebih kuat daripada luka-luka yang biasa aku obati. Lukaku itu berdiam pada sosok yang seharusnya aku cintai hidup atau mati. Lukaku itu lahir bersamaan denganku, tapi ia memilih tak keluar dari rahim ibu dan hidup sebagai hantu dalam bayang-bayang ibu. Setiap melihat ibu, aku melihat lukaku itu.

Hingga tiba saatnya ibu merasa sudah saatnya aku menikah.

“sekarang kau sudah dewasa nak, sudah saatnya kau punya suami yang menjagamu”

“tapi bu, aku masih mau sendiri, aku bisa jaga diri sendiri bu”

“ibu kepingin sekali punya cucu sayang”

“tapi bu, aku tak punya pacar atau siapapun yang bisa aku jadikan sebagai suami”

“ibu punya banyak kenalan, ibu tahu siapa yang pantas untuk seorang dokter cantik sepertimu. Ibu yakin mereka tak akan menolak”

“tapi bu”

Ibu selalu bisa membuktikan perkataannya. Tak lama setelah percakapan itu, silih berganti koleganya datang bertandang ke rumah. Membawa begitu banyak persembahan segala rupa. Mulai dari yang termurah seperti parsel buah hingga guci antik peninggalan dinasti kerajaan cina kuno. Mereka berakting layaknya seorang salesman menjajakan jualannya, yang dalam kasus ini adalah putranya, dengan segala macam embel-embel singkatan dibelakang namanya, di hadapan ibu. Layaknya sang ratu, ibu selalu penuh pertimbangan, namun tetap mampu tak membunuh harapan mereka. Dan aku, hanya bisa diam mengamati, atau sesekali mengutuk dalam hati, sambil tetap memasang senyum khas seorang putri. Kebohongan seperti itu sudah menjadi keahlian alamiku, aku adalah seorang eksedentias sejati.

Hingga akhirnya pilihan ibu jatuh pada seorang laki-laki dari keluarga kaya raya. Putra Sulung dari pemilik perusahaan perhotelan terbesar dikotaku, Ferdy Ahmad. Kabarnya, keluarga Ahmad mampu membeli apapun yang mereka mau, apapun! Dan kabar mencengangkan itu aku buktikan sendiri, dengan terbelinya ragaku. Setidaknya mereka tak mampu membeli jiwaku. Meskipun sepertinya memang cuma ragaku yang mereka mau.

“sudah siap kan sayang?”

“iya bu, tapi apa memang harus seperti ini?”

“mereka sudah tiba sayang, kau harus tampil cantik dihadapan mereka”

Ibu memintaku memakai gaun mahal yang ibu impor dari luar negeri. Gaun ini menghadirkan kesan menjengkelkan yang sangat kuat, sangat ketat seperti bentuknya. Ada apa dengan standar penglihatan orang-orang akan sebuah kecantikan? Mengapa apa saja yang berkilau mereka anggap sebagai keindahan? Padahal, jika kau ingin menyaksikan kecantikan dan keindahan alami seorang wanita, tunggu sampai ia tak memakai apa-apa, tak berbalut apa-apa, hanya dirinya dan segara kejujuran yang dimilikinya, tampil apa adanya.

Salah seorang dari mereka mengetuk pintu tiga kali dengan sabar. Formalitas belaka. Aku dan ibu sudah tahu mereka sudah tiba. Ibu membukakan pintunya. Aku disuruh menunggu di kamar sampai waktunya ibu memanggilku keluar selagi mereka bercakap-cakap.

Tak cukup lama, hingga akhirnya ibu memanggil namaku dengan sedikit berteriak. Aku pun keluar dengan mengenakan gaun menjengkelkan itu. Aku tak merasa kikuk sedikit pun, aku sudah terlatih. Dengan anggun, aku pun duduk disebelah ibu. Didepanku, ada enam orang, empat laki-laki dua perempuan. Pasangan Keluarga Ahmad, beserta putra dan putrinya Ferdy dan Wendy Ahmad sedang duduk mengamatiku. Dua orang lagi adalah asisten merangkap body guard pribadi keluarga Ahmad, mereka berdua berdiri di sisi kanan dan kiri keluarga itu, menatapku lamat-lamat seperti ingin melumat tubuhku, aku yakin ada bagian tubuh mereka yang lain yang juga berdiri. Aku tertawa kecil, orang-orang normal memang menggemaskan.

“Wah, kamu cantik sekali rupanya nak”

Pemimpin keluarga Ahmad memulai. Aku tahu ada kejujuran dalam pujiannya. Sepintas aku menangkap kesan ia tak rela putranya yang menikah denganku, seolah justru Ia yang ingin sekali menikahiku. Aku membalasnya lagi-lagi dengan senyuman tipikalku. Agar semakin menarik, ku beri sedikit sensasi menggoda. Pak Ahmad mengucurkan keringat seketika. Aku yakin bulu kuduknya berdiri.

“Papi benar, ia cantik sekali”

Istri Pak Ahmad mengambil giliran, diikuti oleh anggukan putra dan putrinya. Dua anggukan dengan maknanya masing-masing. Anggukan dari sang putra bermakna hasrat dan birahi, sedangkan anggukan sang putri bermakna dengki yang mendalam. Kali ini aku menyambutnya dengan tawa yang mengintimidasi.

“kenalkan, aku Ferdy”

Ia maju mengulurkan tangannya untuk menjabat punyaku. Kusambut dengan mesra.

“aku sudah tahu, Fer. Diantara semuanya, cuma kamu yang kelihatan pas untuk menikah denganku”

Aku sadar aku telah melakukan akselerasi radikal dengan langsung menuju inti pembicaraan. Mereka semua heran dengan frontalitasku, mereka kikuk, menciut. Ibu diam-diam mencubitku, sebagai ganjaran atas penghianatanku terhadap sopan santun.

“yasudah, karena sudah terlanjur disinggung, kami langsung saja. Ibu mu sudah setuju nak Elena, tapi ada baiknya Bapak tetap meminta persetujuanmu, jadi bagaimana?”

“Aku mau saja pak, asal Ferdy tahu siapa aku sebenarnya dan mau menerimaku apa adanya, bagaimana Fer?”

“Oh tentu. Aku pasti akan menerima kamu apa adanya”

“Aku sudah tidak lagi perawan”

Mereka mengernyit, Ibu bahkan sudah sedikit menjerit. Aku curiga ia menangis.

“Tak masalah! Aku juga sudah tak lagi perjaka” ferdy mengakuinya dengan tertawa sedikit terbahak, menganggap pengakuannya lucu. Hanya saja, cuma ia sendiri yang mengerti lawakannya. Yang lain malah mendadak mengalihkan seluruh pandangannya ke Ferdy, seolah tak percaya. Ferdy berhenti tertawa seketika.

“Tak apa, toh hal semacam itu sudah tak lagi penting saat ini” Ibu Ahmad mencoba memecah keheningan yang muncul akibat pengakuan Ferdy. Yang lain terpaksa mengangguk, termasuk Ibu, walaupun mereka sama-sama tahu itu berat.

“Aku lesbian”

Mereka sekali lagi bergidik. Saling menatap satu sama lain. Tak tahu harus berkata apa.

“Oh iya, satu lagi. Aku tak percaya Tuhan”

Tanpa aba-aba, Pak Ahmad seketika memukul meja lalu berdiri, ia pergi. Diikuti anggota keluarganya yang lain. Wendy sempat menatapku jijik sebelum akhirnya juga pergi. Mereka semua pulang tanpa kata-kata dan tak berhasil membawa apa-apa. Mereka kelihatan terpukul.

Tapi, yang membuatku heran, tak sedikitpun suara dari ibu. Kemana Ibu? Dan ternyata, setelah memalingkan pandanganku dari kepulangan dramatis Keluarga Ahmad. Aku mendapati ibu terbaring di lantai. Pingsan.

Ternyata ibu tak sekuat yang aku kira. Sang Ratu rupanya sangat lemah. Sepertinya Ia sudah terlalu tua untuk menduduki tahta. Akulah satu-satunya yang pantas menjadi ratu untuk hidupku, untuk kerajaanku. Bukan siapa-siapa, tak juga Ibu.

Sang Cleopatra kini menjelma ular yang melata menuju tahta, siap mematok siapa saja yang berniat menggulingkannya dari sana. Dan tugas pertama yang harus aku selesaikan sebagai ratu adalah menyembuhkan lukaku. Cleopatra tak pernah terluka, satu-satunya luka yang ia derita adalah luka yang mengakhiri hidupnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun