Mohon tunggu...
Sari Fatul Mukaromah
Sari Fatul Mukaromah Mohon Tunggu... -

Saya mahasiswi yang masih mencari segala sesuatu untuk hidup, mengambil makna di balik kenyataan, mencerap kata bijak, menyaksikan tersimpulkannya takdir dengan mencoba dengan tenang dan semua keaktivan lain demi keindahan dari-Nya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Orang Awam Cerita Dunia Politik

15 Februari 2013   12:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:16 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan bidang politik tentu tidak mampu bicara banyak tentang politik, dan mungkin tidak mau. Kapasitas, kapabilitas dan realitas membatasi mereka yang mungkin tidak sampai seujung kuku paham politik. Politik, apa, sih? Kader-kader, ramaipemilihan, profil calon pemimpin...Barangkali itu gambaran dalam lintasan pikiran mereka. Orang awam—ya, mungkin yang tertepat adalah istilah itu, masih adalah penonton yang sensor dan responnya atas berita politik minim dan tidak memuaskan. Tidak menggairahkan dunia perpolitikan—setidaknya lingkungan kecil perpolitikan, itulah para pihak awam bidang politik. Walau tidak diketahui persis, perlukah dunia—atau setidaknya mungkin kader yang haus endorsement—akan peran orang awam, dan memang, siapa yang tahu? Siapa tahu saja ada dunia utama politik yang membutuhkan orang-orang awam itu.

Contoh termudah yang gampang saya dapat adalah saya dan ibu saya. Bersamaan dengan saya sadar akan keberadaan dunia politik yang begitu jelas atau bahkan—pinjam istilah Syahrini—cetar membahana, saya melek saja menghadapi televisi yang bersiaran membawakan tema “Sprindik Anas Urbaningrum”. Benar saya melek dan mencegah diri untuk merem. Ini mungkinsemacam rebound yang berbeda dari diri saya. Sebelumnya, saya tetap biasa saja—acuh tak acuh—saat merasa sedang tak ada banyak yang harus dipikirkan (yang banyak dipikir : tugas kuliah, misalnya). Sekarang saya jadi cukup responsif atas dunia politik. Mungkin, ini pengaruh dari teman saya yang sangat kritis. Kritis itu baik, dan akan lebih baik bila mendatangkan manfaat bagi orang lain, dan saya mencari yang itu.

Sebagai contoh, tentu telah saya tuding diri saya—dan ibu saya—sebagai orang-orang awam. Sungguh awam akan definisi-definisi, sistem-sistem hingga sejarah partai-partai politik—yang saya kira adalah pengisi termanis dunia politik. Kisah Anas Urbaningrum yang kini adalah bersama sprindik menyita perhatian orang-orang awam di ruang tamu rumah. Anas tersyuting sedang beraktivitas sebagaimana politisi, disandingkan dengan pimpinan KPK yang tengah menjelaskan sesuatu. Anas sakit, dan rekan-rekan mendukungnya sambil bertandang ke rumahnya. Lalu informasi-informasi setelahnya mengalir, mendeduksi. Saya tahu ini semacam panas gosip selebriti yang sedang disukai untuk dipantik di mana-mana. Tetapi saya tak tahu lebih berefek yang mana dalam diri pengikut berita, antara gosip selebriti dan kabar politisi. Ah, pengikutnya berbeda, tentu cita-respon dan reaksi serta titik-acuan-teranggap panas-tidaknya-suatu berita pun berbeda. Setidaknya saya yang sedang ingin memberati pilihan mengikuti kabar politisi ini, akan dapat menuliskan kesan-kesan tentang dunia politik yang tetap saya harapkan, yang tidak akan pernah terjadi jika saya hanya puas mengetahui artis A diberi cobaan dengan masuk bui.

Sprindik, surat perintah penyidikan. Istilah ini mem-booming, begitu ada berita tentang kebocoran atasnya. Saya baru akrab dengan istilah ini sejak bertolak dari sikap acuh tak acuh menuju kemenaruhan sedikit perhatian atas dunia politik. Tim investigator sprindik-yang-oleh-banyak-pihak-terindikasi-bukan-milik-KPKbelum selesai bekerja, namun berbagai pihak seolah sudah tidak sabar menerima kabar yang valid. Penyiar berita memberondong juru bicara KPK dengan alat pengarah ke pengungkapan banyak poin penting terkait masalah, dengan pegangan fakta-fakta yang terus berkembang. Mengikuti dialog mereka, saya paham lalu saya ikut bingung tentang pembocor beserta motifnya. Sedang serius mengekor arah dialog, ibu saya menyuruh ganti chanel. Sinetron yang kadang-kadang berjasa melembutkan nurani itulah permintaan ibu. Mungkin ibu saya pusing, tapi ibu saya tidak lebih wajib kritis atas dunia politik yang memang memusingkan itu, bukan, mengingat usianya? Ya, tidak apa.

Dunia politik seolah sudah surut peminatnya—karena 2 orang berpaling—tatkala saya dan ibu saya menonton chanel lain. Dunia politik. Membayangkan apa, pembaca yang menekuni paragraf-paragraf ini? Sebuah latar luas dan panjang yang membingkai gerak-gerak perpolitikan oleh politisi bersama kesempatan-kesempatan menang mereka? Tidak, tidak berbentuk itu dunia yang saya maksud. Dunia politik itu adalah sepenggal kisah tentang Anas Urbaningrum, yang tidak cukup awal saya ikuti. Ini tentang keterbatasan saya yang memang tidak ada dalam latar belakang pendidikan politik. Saya yang hanya menuliskan sedikit cerita orang-orang awam. Orang awam yang seringkali teringat pada pernyataan power tendens to corrupt.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun