Mohon tunggu...
Sari Fatul Mukaromah
Sari Fatul Mukaromah Mohon Tunggu... -

Saya mahasiswi yang masih mencari segala sesuatu untuk hidup, mengambil makna di balik kenyataan, mencerap kata bijak, menyaksikan tersimpulkannya takdir dengan mencoba dengan tenang dan semua keaktivan lain demi keindahan dari-Nya.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sahabat, Ibu dan Kedalaman Sebuah Akhir Tulisan

16 Maret 2013   14:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:40 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengenang masa sekolah itu layaknya menatap keluar dengan membuka gorden, sementara kenampakan di luar adalah segalanya. Segalanya yang pernah ada di hatiku, dan semua yang belum bersentuhan denganku—ah, adakah manusia yang belum pernah mengalami suatu rasa? Jika ada, jika bukan aku, maka aku merasa amat beruntung.

Saatnya mengenang, ini, kini. Tak peduli meski menurutku orang yang suka mengenang adalah seorang yang tidak (sedang) bahagia dengan masa kininya hingga mencari-cari tambatan pada waktu yang lampau bagi hatinya, tetapi aku memang suka mengenang. Atau tepatnya, aku sedang suka mengenang—ya, dari sini kusadari bahwa seluruhnya adalah relatif. Dan sedang mengenang, itu mungkin bagian homolog untuk sedang ingin belajar, hingga melankolisku dan optimisku bertaut menjadi sebuah momen penuh pembelajaran. Ah, atau mungkin saja jalanku sedang merupa kemolekan aspal yang membuat diri merasa sedang meluncur super cepat namun tanpa ketakutan akan terperosok. Tetapi tak dijamin, apakah air mata juga tak luput untuk terperosok ke dalam bantal kali itu.

Sahabat, benar sahabat menjadi deduksi semua cerita, itu bagiku. Sahabat yang kukatakan sangat berbeda dengan seorang ibu itu menjadi ihwal prima dalam tulisan ini. Kukatakan berbeda sebab dengan mempertimbangkan ini—ditimbang walau tak tahu akan diapakan : sahabat tidak selalu bisa mengembalikanku ke pelukannya jika aku kecewa atasnya. Tetapi ibu, selalu saja mampu mengundangku tetap ke dekapnya walau aku mungkin telah mencak-mencak marah padanya. Tentulah begitu, memang siapa yang mau menghilangkan ibunya sendiri sementara dunia masih meneduhi pertemuan ibu-anak? Dan tak tahu akan ada apa, bertolak dari hasil pertimbanganku. Menitikberati salah satunya untuk kutaruhi rasa peduli? Tidaktahu. Yang jelas, ibu dan sahabat adalah dua pihak yang mutlak membuatku senang jika menemaniku.Lalu, ada pengalamanku saat kecil dulu yang menyinggung hal ibu dan sahabat. Aku pernah berlari ke rumah seolah tanpa ada alasan saat bermain bersama teman-temanku di luar, begitu melihat ibu di dalam. Kuhentikan seketika nalarku atas remeh-temeh rumah-rumahan—tepatnya gubuk-gubukan—dan masuk sambil menutup pintu. Aih, sombongnya. Tetapi usut punya usut—tepatnya mengaku—aku ternyata telah tahu bahwa ibu pulang dan membawa baju dari pasar. Dan aku langsung sibuk mengembang-ngembangkan yang terlipat-lipatdengan bebunyi plastik membuat berisik. Pintu tertutup dan aku tersenyum-senyum. Ah, anak kecil yang kelewat terpesona dengan sesuatu bernama kepemilikan, itu mungkin fakta diriku. Lalu mana, gambaran bahwa aku lebih peduli kepada ibu ketimbang atas sahabat?Ah, tidak ada, tidak ada. Dilematis itu, dan aku lebih suka jadi anak kecil yang belum banyak mengolah perasaan.

Mulai SD, aku kian mencicip persahabatan lebih sering daripada saat aku masih belum berseragam tiap Senin sampai Sabtu di separuh hari terang—maksudku belum sekolah. Berangkat bersama-sama teman, pulang juga bersama dan bahkan malah mampir dulu di rumah seorang teman. Notabene, ada pelajaran tentang etika yang salah satunya menyebutkan setelah pulang sekolah, harus langsung ke rumah dan tidak singgah di rumah teman. Tetapi ada alasanku yang kuyakin cukup terdengar menyebalkan : aku mampir ke rumah sepupuku, kok. Haha. Memang aku ke rumah sepupuku, menunggui dia ganti baju dan makan, lalu bersama-sama akan ke rumahku dan bermain seharian. Lalu, yang menarik di masa SD—dalam kerangka pencicipan persahabatan tentu—adalah tentang uang saku. Uang saku benar dibutuhkan untuk menjadikan akrab dengan sahabat. Cukup dua ratus rupiah. Yang dengan jumlah itu, aku mampu berbaur dengan teman—duduk bersandar-berjejer di tembok-tembok luar kelas dan menikmati camilan-yang-membuat-anak-anak-serasa-diundang-untuk-beli. Wah, ramai, walau identik dengan picisan dan MSG. Hehe.

Di masa-masa akhir SD, rasanya pencicipanku kian matang. Maksudnya intensif. Tidak hanya itu, kurasa apa yang kucicipi juga makin matang, enak dan indah—ah, deskripsi macam apa ini? Aku mungkin punya sahabat yang kutaruhi harapan bahwa dia pun menganggap aku sahabatnya. Ah, mulai rumit ini, sebab kian melibatkan perasaan dan mulai bertendens pada kehidupan remaja. Benar kan, rumit, apalagi setelah kukatakan bahwa itu seolah seperti mengawali kehidupan. Ya, kutunggu masa SMP-ku bergulir setelah berputus asa di momen siram-siraman air pasca kelulusan. Betapa memalukan dan konyol, sebab guru SD-ku mengasihaniku dengan satu kalimat : nanti masuk angin kamu. Hah, yang lainnya tidak dinasihati begitu, kok. Karenanya, itu membuatku membenarkan bahwa aku patut dikasihani, dan aku tidak suka itu. Oh, ya, sesaat sebelum cerita SD kuniatkan ditutup dalam pembacaan, ada hal kecil yang melintas : aku pernah salah menjawab ibukota Malaysia—kutulis Serawak—saat lomba di kecamatan, dan cerita itu mengalir sepanjang perjalanku bersama seorang temanku yang jadi partner satu SD untuk kompetisitersebut. Harusnya Kuala Lumpur, ah menyesalnya, ucapku tak habis-habis.

SMP, masa remaja-awalku. Kutemukan anak-anak yang sebenarnya tak disengaja oleh siapapun untuk membentuk geng dengan aku di dalamnya—pinjam istilah milik anak-anak yang memang suka ber-geng ria. Aku dan 3 orang temanku menjadi agak terpesona dengan duduk berdepan-belakang, ke kantin dengan ayunan langkah yang nyaris selalu terhimpun bersama dalam satu waktu, dan pergi studi wisata sambil beri-minta makanan di sepanjang perjalanan. Sedikit terpesona karena kami selalu melakukan semua itu, dan tidak pernah bosan. Bosan memang tidak ada, sebab tak mau ada kesendirian yang menyesakkan jika terpisah—wah lebay! Setidaknya itu perasaanku. Ah, sungguh banyak perasaan yang bertumbuh-kembang di masa SMP, termasuk rasa kagum atas seseorang.

Selanjutnya bisa ditebak : aku masuk SLTA—meski kau bisa saja menebak aku tidak melanjut lagi dalam pendidikanku. Tetapi tak perlu diralat, karena tidak masalah jika ada yang menebak salah, sebab aku hanya bilang bisa ditebak. SMA berlalu. Di hati tertinggal—dan sungguh aku ingin si subjek memang sengaja meninggalkannya—kesan yang sangat bagus. Dua orang temanku sangat baik kepadaku, dan tak pernah berniat menemaniku untuk menyakitiku. Memang tidak banyak yang dapat kutunjukkan meski ada begitu banyak olahan perasaanku. Tidak semuanya bisa ditunjukkan, tidak semuanya bisa diberikan. Sekarang, kuanggap mereka adalah para pemberi jasa yangtak pernah berpikir untuk diberi tanda jasa, bahkan sekadar memikirkan akan tidakkah mereka diberi tanda jasa pun tidak. Ya, lebih mulia daripada (maaf) gambaran seorang guru. Mereka begitu natural.

Sudah banyak dicicip, ya, gumamku sendiri. Cara mencicipku makin bernas saja. Astaga! Aku tersadar bahwa cara mencicipi itulah yang membuat pengalaman-pengalamanku berbeda lagi. Jika melulu hanya memusat pada “cicip” itu sendiri, maka bukan mustahil aku akan sampai pertanyaan ini : usai kucicip, bilakah kumakan habis? Hehe..Masa iya dimakan. Sungguh tidak boleh terjadi. Mungkin pelogikaan asosiasi-asosiasiku itu payah. Tetapi yang jelas, habis dicicip bukankah hampir pasti dimakan? Lalu, bisa saja jika memang asosiasi disambung lagi, “makan” mempredikat di kalimat jengkel macam “Makan tuh cinta! Makan tuh persahabatan!” jika diri sedang marah.

Kembali ke jalan yang benar. Aku hanya ingin menikmati usai mencicipi. Ya, menikmati persahabatan, menikmati ruang-waktu antaraku dan ibu—baik bersama maupun terpisah. Dan jalan itu selalu kucari dengan diam, dengan kebengongan, dengan kebodohan, dengan segalanya yang kumiliki. Dan jika memang benar bahwa semua yang kumiliki tak mampu membuat nyala-nyala asa bagi orang pertama, orang kedua dan bahkan—ini putus asa paling parah—diriku sendiri, maka aku hanya meminta kepada Tuhan buat menunjukkan bahwa tidak pernah ada kebenaran mutlak yang mampu dimiliki atau diperagakan—apapun itu—oleh manusia.

Semarang, 13 Maret 2013.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun