Akhir bulan Nopember 2013 yang lalu, penulis melakukan cek kesehatan ke salah satu rumah sakit di Jakarta. Dokter yang dikunjungi adalah seorang dokter spesialis penyakit dalam, hal ini sesuai dengan rujukan yang diberikan oleh dokter umum langganan penulis. Seperti biasa, sebelum bertemu dengan dokter penyakit dalam tersebut,  penulis bertemu dulu dengan seorang perawat yang duduk di ruang depan. Perawat tersebut akan memeriksa tekanan darah, termasuk denyut jantung. Awalnya perawat tersebut menyuruh penulis untuk duduk tenang, tarik napas, kemudian mulai menempatkan alat pengukur tekanan darah digital ke lengan kiri penulis dan memulai pengukuran. Alangkah terkejutnya saat melihat pada display alat tersebut. Batas atas tekanan darah penulis tertulis di atas 190 malah mendekati angka 200 dan batas bawahnya adalah 100. Penulis  katakan pada perawat bahwa belum pernah tekanan darah setinggi ini dan biasanya kalau bawahnya 100 biasanya sudah pusing. Penulis yakin dengan kondisi itu karena sejak beberapa tahun yang lalu sudah mulai hati-hati untuk mengendalikan tekanan darah tinggi  yang dikatakan sebagai silent killer tersebut. Apalagi ayah juga memiliki tekanan darah tinggi sejak usianya kurang lebih 45 tahun, walaupun ibu cenderung memiliki tekanan darah yang rendah.  Pernah suatu ketika saat sedang menyetir kepala terasa pusing, akhirnya penulis mampir ke klinik dan diperiksa ternyata tekanan darah atas 160 dan bawahnya 100, karena dokter di klinik tersebut belum datang dan tidak begitu yakin dengan alat ukur yang digunakan kemudian penulis pindah ke klinik lainnya yang kebetulan tidak begitu jauh, ternyata kondisi tekanan darah sama dengan pengukuran sebelumnya. Dokter memberi obat dan menyuruh untuk istirahat sejenak baru boleh jalan lagi.  Rasanya itulah saat tekanan darah tertinggi yang pernah penulis rasakan. Disamping itu, untuk mengetahui tekanan darah secara rutin, penulis juga memiliki alat pengukur tekanan darah digital di rumah. Disarankan oleh penjualnya bahwa  saat menggunakan alat ini minimal 3 kali, alat tersebut akan memperlihatkan hasil rata-rata dari 3 kali pengukuran yang terakhir.  Jadi, walaupun bukan dokter atau perawat penulis sudah terbiasa mengukur tensi darah dg menggunakan alat digital, malahan saat mengukur tensi ayah, penulis biasanya menggunakan alat yang menggunakan air raksa. [caption id="attachment_287520" align="aligncenter" width="300" caption="Jenis Tensimeter yang Dimiliki"][/caption] Kembali dg perawat yang mengukur tensi tadi, kemudian penulis disuruh tenang lagi, disuruh memikirkan yang menyenangkan, dikatakan oleh perawat bahwa alat ini memang sensitif, tidak seperti alat ukur air raksa. (dalam hati, penulis juga sudah paham, karena sering mengukur sendiri tensi darah menggunakan alat digital ini walaupun merknya berbeda dg yang digunakan oleh perawat tsb. Malahan 3 bulan yang lalu karena ragu-ragu dg ketepatan alat pengukur tekanan darah yang penulis miliki maka penulis mengkalibrasinya kepada pusat pemeliharaan khusus merk tsb). Kemudian dilakukanlah pengukuran tensi yang ke 2...wah !!!!  ternyata masih mirip dg hasil pengukuran yang pertama. Penulis bersikeras tidak yakin dg hasil pengukuran tersebut. Apakah alat ini sudah di kalibrasi ? kata penulis kepada perawat tersebut. Perawat menjawab bahwa alat tersebut baru, terus dikatakannya bahwa kalau kalibrasi itu urusan engineering katanya....wah wah wah (dlm hati lagi...informasi bahwa alat itu sebaiknya harus dikalibrasi bisa saja dari perawat yang sering menggunakan alat tersebut, walaupun tindak lanjutnya dilakukan oleh bagian engineering.....tetapi jadi mikir juga apa iya ya bahwa tensi saat ini setinggi itu ? tapi sekarang tidak pusing ya ??). Kemudian perawat meminta penulis untuk mengukur tensi ke tempat praktek dokter spesialis yang lain. Penulis tahu bahwa itu adalah tempat praktek dokter spesialis jantung dan pembuluh darah. Kurang lebih 2-3 tahun sebelumnya pernah konsultasi kesitu dan penulis saat itu diukur dg menggunakan pengukur tensi air raksa.  dag... dig... dug..... juga pengen tahu berapa sih tensi darah saat ini. Sesampai di tempat perawat di ruang depan, disuruh duduk...eh ternyata sekarang diukur dengan alat ukur digital warna kehitaman sama seperti dengan milik perawat sebelumnya ...lemes dan pasrah...pengen tahu juga apakah mungkin hasilnya berbeda, sambil mikir kenapa di tempat praktek dokter spesialis jantung menggunakan alat yang terlalu sensitif dan cenderung kurang akurat begini ?? tidak lama kemudiaan keluarlah hasilnya...bikin lemes penulis karena hasilnya mirip dg sebelumnya 195/100. Dari perawat terakhir, penulis ketahui bahwa alat yang digunakan memang merknya sama dg sebelumnya dan beli saat yang sama.  Langsung aja penulis tanya kalau mengukur tensi dengan alat air raksa dimana ? Perawat meminta bantuan untuk diukur di bagian pendaftaran dan disitu ada alat tensi air raksa. Menggunakan stetoskop dan alat ukur air raksa seorang perawat pria mulai mengukur tensi....dan hasilnya sangat jauh berbeda ..Ternyata tensi penulis saat itu hanya 130/90 dan itu dilakukan pengukuran 2 kali oleh perawat pria tersebut. Saat bertemu dg dokter spesialis penyakit dalam, penulis sampaikan mengenai kondisi alat pengukur tensi darah yang aneh itu. dokternya mengucapkan terima kasih. Penulis juga menyarankan untuk dikalibrasi. Penulis tidak bisa membayangkan sudah berapa banyak pasien yang salah didiagnosa, yang diberikan obat penurun tekanan darah dg kadar yang kuat karena percaya dg alat pengukur tekanan darah yang tidak akurat tersebut sebagai alat diagnosanya, padahal mungkin pasien tersebut belum pernah tekanan darah tinggi. Pada saat tekanan darah penulis 160/90 aja sudah perlu istirahat dan diberi obat yang ditaruh di bawah lidah + obat pusing. Di rumah sakit tersebut seingat penulis pada saat yang sama ada 3 atau lebih dokter sp penyakit dalam yg praktek. RS tersebut banyak melayani pasien dari berbagai asuransi kesehatan swasta, askes dan jamsostek. Penulis jadi ingat, saat ibu melakukan chek up ke RS 8 tahun yg lalu, diantar adik, kemudian karena dinyatakan tekanan darah tinggi, langsung disuruh minum obat, akhirnya malah harus diopname karena tekanan darahnya drop atas nya 60 bawahnya tidak terdeteksi.  Dikatakan oleh adik bahwa perawat mengatakan bahwa alat tensi yg dipegang dokter di dalam sudah rusak. Hal itu yg menyebabkan anak2nya sangat hati-hati dalam melihat hasil dari alat-alat kesehatan, khususnya tensimeter. Itu baru alat pengukur tensi. Demikian juga dengan alat-alat kesehatan lainnya seperti pemeriksaan darah, urine, dsbnya. Pengguna alat perlu pengetahuan dan kesadaran akan kondisi alat dan bagi pasien yg aware thd alat2 di suatu RS perlu memberi umpan balik kalau ragu2 terhadap hasil pemeriksaan yg menggunakan alat di suatu RS, puskesmas, dll. sehingga jangan sampai banyak pasien yg salah diagnosa. Selamat Tahun Baru dan Semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H