Preseden Kriminalisasi Pimpinan KPK
Serangan-serangan politik terfokus pada kriminalisasi KPK pertama kalinya muncul selama periode kedua kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono/SBY (2009-2014). Eskalasi ketegangan elit itu berlangsung persis pada saat itu sebab KPK dipadang mulai menyentuh persekongkolan-persekongkolan korupsi raksasa. Di satu sisi pencitraan politik SBY yang berlebihan yang berkaitan erat dengan wacana anti-korupsi memberikan ruang gerak pada KPK untuk dijadikan sebagaiJuggernaut anti-korupsi yang mengagumkan (dari bahasa sansekerta istilah Juggernaut dideskripsikan sebagai kereta raksasa tungganggan Dewa Krisna, yang menggilas segala sesuatu yang ada di depannya). Di sisi lain, suatu penafsiran KPK itu menyerupai suatu super-body tidak tepat, apabila perhatian lebih difokuskan pada hubungan antara KPK, presiden, eksekutif dan DPR.
Misalnya Ketua KPK Antasari Azhar pada tahun 2008 (memanfaatkan kesempatan ini untuk meyakinkan Megawati bahwa dia merupakan calon Wakil Presiden yang tepat) yang menentukan KPK memasuki ‘lautan politik yang sangat bahaya.’ Penangkapan salah satu mantan Wakil Gubernur Bank Indonesia Aulia Pohan (besan SBY) menyebabkan adanya suatu contoh kriminalisasi terhadap pimpinan KPK yang teramat dahsyat. Menurut buku-buku Bambang Soesatyo dan Sri Bintang Pamungkas secara terpisah mengambil kesimpulan yang sama yaitu tindakan KPK itu mengakibatkan suatu ‘kasus rekayasa’ terhadap Antasari Azhar yang dihukum pada tahun 2009 berkaitan dengan penyidikan kepolisian, pembuktian yang mencurigakan dan vonis bersalah menyangkut pembunuhan (dapat dilihat dalam buku-buku berikut: Soesatyo,B, ‘Republik Galau: Presiden Bimbang Negara Terancam Gagal’, Ufuk Press, Jakarta, 2012, hlm 34-38; Pamungkas, S, ‘Ganti Rezim Ganti Sistim - Pergulatan Menguasai Nusantara’ 2014, https://books.google.com.au/books?id=NjGdBQAAQBAJ&pg=PA198&lpg=PA198&dq=SBY+antasari+pembunuhan+pamungkas&source=bl&ots=KJ_BUEcWcm&sig=kFtVPTPpN9ftQjG0F3fmgV0r1Vg&hl=en&sa=X&redir_esc=y#v=onepage&q=SBY%20antasari%20pembunuhan%20pamungkas&f=false, hlm, 198).
‘Shock therapy’ terhadap KPK yang membantu menjaga kepentingan klik kekuasaan SBY ini dilandasi pula oleh dua alasan lain. Pertama: terkuaknya skandal Bank Century yang berkaitan erat dengan dana bank Indonesia menunjukan penyelewengan dana itu merupakan salah satu sumber politik uang yang penting bagi partai Demokrat untuk mendukung keberhasilan keberhasilan Pemilu 2009. Kedua: berdasarkan testimoni pengadilan fihak-fihak yang terkait dengan deal-deal partai Demokrat anak bungsu SBY Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) yang sering disebut sebagai “pangeran” makin lama makin menonjol keterlibatannya dalam berbagai macam skandal korupsi termasuk prasarana olah raga di Hambalang dan kontrak SKK Migas. Kelakuan informil anggota keluarga inti Presiden ternyata kebal terhadap sentuhan penegakan hukum KPK.
Secara garis besar keengganan SBY untuk cepat turun tangan dan memecahkan perselisihan di antara Polri dan KPK mencerminkan rasa dendam terhadap KPK. Penyelidikan KPK yang menyangkut kasus rekening gendut dan juga kontrak pemasokan Simulator SIM memicu serangan balik terhadap KPK pada tahun 2012. Strategi pembiaran perselisihan ini yang dilakukan oleh SBY sangat menonjol pada saat itu. Ironisnya kinerja baik KPK dari segi hukuman termasuk Jenderal Polisi Djoko Susilo dan betapa besarnya dana kasus-kasus korupsi yang mereka tangani disita ulang dibandingkan dengan penegak hukum lain terutama Polri dan Kejaksaan Agung hal ini mendukung pencitraan politik SBY. Walaupun demikian, semakin banyak skandal korupsi yang menerpa Partai Demokrat, semakin terongrong proses pencitraan tersebut.
2015
Ironisnya, semenjak 2015 jaringan kekuasaan elit yang pada awalnya mendirikan KPK, akhir-akhir ini memimpin upaya melakukan pelemahan dan penjinakan KPK. Dengan perkataan lain, KPK sendiri dijadikan sasaran jaringan kekuasaan Megawati termasuk fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP) di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga penguasa-penguasa yang paling kuat dalam Polri yang telah lama berselisih dengan KPK.
Berdasarkan hasil penyadapan baik pembicaraan antara Hasto Kristiyanto (PDIP) dan Arteria Dahlan (PDIP) maupun Riza Chalid, Setya Novanto dan Maroef Syamsoedin menunjukkan serangan-serangan politik terhadap KPK mulai pada awal tahun 2015. Setelah bos politiknya presiden Jokowi Ketua Umum PDIP Megawati mendesak dia untuk menunjuk mantan ajudannya Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Ketua KPK Abraham Samad, yang sebelumnya ditolak oleh Megawati sebagai Calon Wakil Presiden (Cawapres) Jokowi pada pemilu 2014, menyatakan Budi Gunawan sebagai tersangka berkaitan dengan kasus korupsi yang disebut majalah Tempo sebagai ‘rekening gendut’. Didukung oleh sebagian besar opini publik Jokowi menolak Budi Gunawan sebagai Kapolri sehingga memperparah hubungannya dengan Megawati yang mengakibatkan perlawanan politik PDIP terhadap presiden Jokowi.
Walaupun Budi Gunawan dilantik menjadi Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Wakapolri) dia tetap berupaya untuk menghancurkan KPK menggunakan berbagai macam cara. Yang pertama adanya persekongkolan untuk memecat pimpinan KPK termasuk Abraham Samad, Bambang Widjajanto dan penyidik utama Novel Baswedan dengan tuduhan-tuduhan yang telah direkayasa. Ketua sementara KPK Taufiequrachman Ruki yang menduduki posisi ini untuk kedua kalinya, menerapkan strategi ‘musuh dalam selimut’. Pada saat yang sama Taufiequrachman Ruki dan Kepala Bareskrim Budi Waseso membantu mengawal, me-praperadilan-kan dan me-SP3-kan kasus Budi Gunawan.
Draft Rancangan Undang-undang
Walaupun upaya pelemahan KPK sebelumnya melalui penyelenggaraan fungsi pembuatan (revisi) undang-undang di DPR gagal akhir-akhir ini ada upaya pelemahan baru. Semenjak tahun 2008, upaya pelemahan KPK melalui penyelenggaraan fungsi pembuatan (revisi) undang-undang di DPR senantiasa diprakarsai dan dipimpin oleh kedua partai utama pemerintah terakhir ini, yaitu dalam periode kepemimpinan SBY, Partai Demokrat, sedangkan dalam periode kepemimpinan Jokowi, PDIP. Jadi selama tahun pertama kepresidenan Jokowi, dengan melangkahi Jokowi, Megawati memerintahkan anggota-anggota PDIP di DPR untuk menghidupkan kembali suatu usulan merevisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 di DPR. PDIP kemudian mengumpulkan dukungan politik di DPR agar usulan itu dimasukan ke dalam Prolegnas pada akhir bulan November 2015. Langkah politik ini tidak susah dicapai karena, berdasarkan atas peristilahan Saldi Isra, DPR menyerupai ‘kampung maling.’