Mohon tunggu...
Pemburu Pelangi
Pemburu Pelangi Mohon Tunggu... Asisten Peneliti -

Bekerja sebagai asisten peneliti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Skandal Freeport

22 Desember 2015   10:21 Diperbarui: 22 Desember 2015   12:43 2589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Skandal Freeport yang sedang hangat dibicarakan di Indonesia ternyata menggugah pengamat asing Jeremy Mulholland untuk ikut menulis artikel tentang Freeport, artikel tersebut dimuat di koran nasional Australia "The Australian dengan judul Mining millions and corrupt politicians in Indonesia scandal dan link http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:RdHxO1e2pQEJ:www.theaustralian.com.au/news/world/mining-millions-and-corrupt-politicians-in-indonesia-scandal/news-story/022df29edc1a944d826e5a5fa12eecb5+&cd=1&hl=en&ct=clnk&gl=us

http://www.theaustralian.com.au/news/world/mining-millions-and-corrupt-politicians-in-indonesia-scandal/news-story/022df29edc1a944d826e5a5fa12eecb5 " analisanya tajam, tidak pandang bulu dan dengan gamblang dia menggambarkan perseteruan elit yang terjadi di sini, di bawah ini hasil terjemahan artikel tersebut.

Skandal Freeport

Oleh Jeremy Mulholland

Beberapa minggu terakhir ini media masa Indonesia dibanjiri berita tentang negosiasi politik berkaitan Freeport salah satu perusahaan tambang yang paling menguntungkan di dunia, yang berbasis di pegunungan Provinsi Papua Barat. Rekaman yang mengungkapkan pertemuan rahasia antara mantan Ketua DPR Setya Novanto, dan saudagar migas kelas kakap Riza Chalid menunjukkan upaya mereka untuk mengurus saham kosong Freeport Indonesia senilai US$ 4  milyar—20%, dan juga  proyek pembangkit listrik tenaga uap.

Kasus Freeport disebut-sebut sebagai skandal terbesar yang melanda Indonesia saat ini, dan menimbulkan tuntutan sosio—politik agar diadakan penyelidikan menyeluruh dan transparan. Tak heran apabila Freeport “kebakaran jenggot” karena takut kehilangan salah satu tambang emas terbesar di dunia jika kontrak tambang yang akan berakhir tahun 2021 tidak diperpanjang lagi. Jika dilihat dari segi jumlah produksi emas internasional Freeport secara keseluruhan sebagian besar memang dihasilkan  di Indonesia termasuk cadangan emasnya diperkirakan paling tidak senilai (US$ 40 milyar), guna melanggengkan keberadaan perusahaan ini di Indonesia, Ketua Freeport—McMorran, James Moffatt merekrut beberapa pembesar Indonesia—seperti: Mantan Wakil Kepala BIN Maroef Sjamsoeddin yang diangkat sebagai Presdir Freeport Indonesia, hal ini dilakukan untuk membantu dan mempermudah Freeport dalam menghadapi lingkungan politik dan bisnis Indonesia yang korup, serta untuk menggolkan perpanjangan kontrak Freeport.

Berkaitan dengan persaingan politik uang yang sengit di Indonesia, pembesar-pembesar yang berhasil mendapatkan jatah “kue” dari Freeport, merupakan pencapaian yang luar biasa untuk kepentingan Parpol dan kubunya, oleh karena itu skandal Freeport bisa diartikan sebagai perebutan “kue” Freeport di antar dua geng politik besar: jaringan kekuasaan Jusuf Kalla (Wakil Presiden) termasuk di dalamnya Menteri ESDM Sudirman Said, melawan jaringan kekuasaan  Aburizal Bakrie (Ketua Umum Golkar) dan Setya Novanto. Perebutan ”kue” Freeport ini   diperparah pula dengan adanya perseteruan yang menyangkut pengendalian impor Migas di Indonesia  antara mantan Dirut Pertamina Ari Soemarno (termasuk juga Sudirman Said)  dan Riza Chalid yang merupakan sahabat dekat Novanto.

Pada bulan Oktober 2015 Menteri ESDM Sudirman memberikan kepastian resmi pada pihak Freeport dari segi penanam modal jangka panjang, akan tetapi PP Minerba tahun 2014 yang melarang perundingan dan perpanjangan kontrak dilakukan sebelum tahun 2019, menjadi kendala utama bagi Sudirman. Apabila aturan itu tidak diubah, maka jaringan kekuasaan Kalla tidak bisa menikmati hasil perpanjangan kontrak Freeport. Pada saat yang sama jaringan kekuasaan Bakrie juga terlibat  dalam perebutan tersebut karena dua alasan: pertama, kerajaan bisnis Bakrie mengalami kesulitan keuangan yang dahsyat., kedua guna mempertahankan kepemimpinannnya di Golkar yang mempunyai pengaruh politik besar di DPR. Oleh sebab itu Novanto bekerjasama dengan Riza untuk mengambil alih kendali perundingan dengan pihak Freeport, akan tetapi di luar dugaan Novanto dan Riza, Presdir Freeport Maroef, yang juga dekat dengan JK merekam secara diam-diam pertemuannya dengan Riza dan Novanto pada tanggal 08 Juni 2015 di Jakarta, lalu menyerahkan isi rekaman tersebut pada jaringan kekuasaan Kalla. Rekaman pertemuan itu disimpan hingga tiba saat yang tepat dari segi politik untuk mengungkapkannya.

Semakin kuatnya pengaruh Novanto dan Riza dalam perebutan “kue” Freeport, mencerminkan kedekatan mereka dengan Menkopolhukam Luhut Pandjaitan,  yang terlihat kian mampu mempengaruhi proses pengambilan keputusan Presiden Jokowi, kenyataan ini mendorong Kalla dan Sudirman bertindak untuk menyerang  jaringan Bakrie. Pada bulan November jaringan kekuasaan Kalla mengungkapkan informasi mengenai pertemuan Freeport  yang menyeret Riza dan Novanto dengan tuduhan melakukan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden dalam proses perundingan perpanjangan kontrak Freeport. Jangan menyimpulkan pencatutan nama bisa disamakan dengan ketidakikutsertaan pengambil keputusan politik di sisi pemerintah termasuk Luhut dan JK (sudah jelas dari isi rekaman bahwa adanya komunikasi di antara pihak-pihak yang bersangkutan, misalnya dengan adanya kata-kata kunci “Luhut” dan “Dharmawangsa”). Dalam konteks ini Sudirman mengajukan keluhan resmi mengenai pencatutan nama Presiden dan Wapres  kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Ia ingin menghancurkan reputasi Novanto dan Luhut di mata Jokowi.

Strategi politik ini termasuk dibocorkannya rekaman pertemuan Freeport ke dunia maya. Presdir Freeport Maroef dengan sengaja membiarkan Novanto dan Riza memimpin perundingan  dan membicarakan rencana dealnya secara gamblang. Riza menjelaskan antara lain betapa efektifnya cara dia main politik uang di Indonesia dan bagaimana dia mewujudkan perdamaian politik sementara di antara kedua koalisi politik yang berlawanan baik Prabowo—Bakrie maupun Jokowi—Kalla. Pada saat  perundingan berlangsung mereka menyoroti kedekatan Luhut dengan Presiden, sehingga Luhut diharapkan bisa membantu mengurus perpanjangan kontrak Freeport di sisi pemerintah.

Dalam menggolkan proyek ini, yang juga teramat penting adalah pembagian yang didasarkan atas konsep sama rasa sama rata: Riza dan Novanto (dari jaringan kekuasaan Bakrie) meminta separuh proyek pembangkit listrik tenaga uap yang dihasilkan., dan agar mereka merasa itu adil, permintaan saham kosong yang dikhususkan untuk Luhut dan Kalla  (sebagaimana dijelaskan dalam rekaman itu) diharapkan bisa membuat semua pihak merasa bahagia. Akan tetapi gengsi dan ego politik yang besar menyebabkan kehancuran rencana deal ini dan menimbulkan skandal Freeport. Secara keseluruhan skandal Freeport di Indonesia sudah merongrong perdamaian politik antar kedua koalisi politik yang berlawanan di tingkat nasional. Skandal ini dikuatirkan bakal terus berlanjut karena lemahnya Presiden dan tingkat persaingan di tingkat elit yang tinggi sekali. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa jaringan kekuasaan Kalla berhasil memanfaatkan opini negatif publik terhadap lawan politiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun