Mohammad Hatta, salah satu dari dua Proklamator tercinta, wakil presiden dan perdana menteri, dikenal sebagai orang yang jujur, pandai dan sederhana. Kita semua mengakui mengakui peran Hatta selain sebagai penyeimbang Ir. Soekarno yang arogan dan cenderung otoriter. Tak pernah ada yang menyangkal kesungguhan Bapak Demokrasi ini dalam bekerja dan berjuang demi bangsa dan negara. Bapak Koperasi, penentu kebijakan ekonomi, penentu kebijakan luar negeri, dan jangan lupa jasa Beliau sebagai Ketua dalam Konperensi Meja Bundar yang menjadi penentu kemerdekaan mutlak negeri ini. Namun, sejarah tetap mencatat Beliau sebagai orang nomer dua di negeri ini. Dan puncaknya, 1 Desember 1956 menjadi saksi Bapak Bangsa ini menyerah secara politis setelah puluhan tahun mendampingi tokoh yang berseberangan dengan nuraninya ini. Dalam salah satu alasannya, Beliau berujar kira-kira, ".... biarlah waktu yang membuktikan sistem kenegaraan seperti apa yang benar, saya atau Bung Karno." (Maaf, saya kesulitan mencari quote aslinya.)
Ya, Hatta secara politis kalah. Dan, lihatlah akibatnya. Gelombang kekacauan terjadi di mana-mana yang berujung pada pemberontakan PRRI. Namun pemberontakan PRRI bukanlah yang terburuk yang menadi akibat mundurnya Hatta. Mundurnya Hatta mengakhiri demokrasi konstitusional dan membuka pintu tirani dengan label Demokrasi Terpimpin. Era baru terburuk negeri ini kembali dimulai.
Tengah malam Kamis, 25 September 2014, 58 tahun kemudian, sejarah kembali mencatat ketika hati nurani dan keberpihakan tidak cukup untuk membawa negeri ini menjadi lebih baik. (Eh sorry, ... maksud saya, hanya untuk mempertahankan sedikit kebaikan negeri ini.) Dalam rapat paripurna pembahasan RUU Pilkada yang menentukan nasib negeri ini. Diawali dengan Fraksi PDIP dan diikuti oleh Fraksi Hanura dan Fraksi PKB, yang semuanya bertekad untuk melanjutkan perjuangan sampai "titik darah penghabisan" dengan melanjutkan sidang paripurna dengan sistem voting. Entah memperhatikan atau tidak ketika ketua sidang menawarkan voting secara individu atau per fraksi tak ada satupun dari ketiga fraksi tersebut yang meminta secara individual. Yang langsung diketok dengan cara per fraksi. Menarik menyimak clemongan Sang Ketua, Bapak Priyo Budi Santoso yang berujar ... sampai titik nadir ... Dan kenyataannya memang demikian. Sebelum darah menetes pun sudah berakhir di titik nadir.
Kami, rakyat tidak peduli dengan fraksi pemerkosa hak-hak kami! Tapi kepada tuan-tuan dan puan-puan wakil rayat yang masih berpihak pada kami, hati nurani Anda saja tidak cukup! Berjuanglah demi kami, dengan segenap hati, dengan segenap tenaga, dan dengan segenap akal budi. Ini politik, Men! Berjuanglah, bersiasatlah! Berdosalah untuk kami! Jangan seperti Hatta yang puluhan tahun membiarkan Soekarno merajalela! Jangan tinggalkan kami seperti Hatta meninggalkan kami 58 tahun lalu!
Note: ini juga untuk para wakil rakyat periode 2014-2019 dan periode selanjutnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H