“Di sini, klitikan dituntut bermata ganda: mata seorang penikmat sekaligus pemburu jenglot dan penikmat jengkol.” . Saya memperoleh kalimat itu dari Herman Hasyim, ketika mempromosikan tulisan terbarunya yang di posting kemaren berjudul: "Ketika Kompasianer Ngibrit Kebakaran Jenglot". Saya sengaja mengganti kata “ngawur -menjadi ngibrit, Jenggot jadi Jenglot dan Kritikan jadi Klitikan. Bukan apa-apa. Saya hanya sekadar menyelaraskannya saja dengan syahwatnya Kompasianer yang (1) senang pelihara jenglot (2) suka bakar-bakaran jengkol (3) suka main klitikan sama jenglot. Konon kabarnya situasi seperti itu yang sedang berkembang di Kompasiana. . Ya, Anda pasti tahu, tak seluruh tulisan masalah jengkol di Kompasiana tidak layak mendapat puja-puji. Faktanya, sangat sedikit tulisan di sini yang membahas dengan cara amburadul masalah jenglot dan jengkol, baik dari segi substansi tulisan maupun teknis penulisan. . Kali ini saya akan membimbing Anda untuk bertamasya ke sebuah lapak. Silahkan ngakak tapi jangan terlalu girang dulu broo. Jangan senang dulu sista. Ntar di bilangin suka main-main sama yang girang-girangan dan yang senang-seangan. Misalnya bagi ente-ente yang suka main-main dengan yang girang-girang maupun bagi yang suka juga main-main dengan yang senang-senang. Mari kita bersenang-senang di sana, tapi jangan menggeledah jengkal demi jengkal isi dompet saya. Dilarang keras bro! Karena dalam dompet saya ada jampi-jampinya. Hati-hati jangan ngawur ya? Jangan juga coba-coba menyelidiki isi dompet saya. Bahaya! Lagi cekak! . Lanjut! Terhadap tulisan di lapak itu, saya tidak pernah melontarkan komentar. Saya hanya bertanya-tanya : Apakah ada Kompasianer yang suka makan jengkol? Entah jengkol organik atawa jengkol non-organik? Jauh-jauh hari saya tidak pernah membahas masalah ini, khususnya dalam konteks friksi. Karena saya tidak ada masalah dengan siapapun juga dan saya pun tidak sedang berpoligami dengan kompasianer siapapun juga. . Jika jengkol diidentikkan dengan “jenglot”, wah ini baru kejutan. Apakah ada bukti bahwa yang namanya jenglot makan sambil bakar jengkol itu ada? Masih perlu diselidiki. Jangan tanya prosentase kebenarannya. Karena saya bukan ahli jengkol dan jenglot. Sorry bro and sista saya tak tahu pasti!. Yang jelas saya juga belum pernah melihat sama sekali jenglot makan jengkol. Kecuali kompasianawati yang cantik-cantik, sexy-sexy yang berlalulalang di kompasiana tercinta dan tersexy ini. Sayangnya para kompasianer yang cantik-cantik itu cuma bisa dilihat doang. Itupun hanya karena berteman dengan saya di pesbuk. . Mengenai perbandingan klitikan, jengkol dan, jenglot. Pastinya analisa saya tidak setajam silet. Ini persoalan tapal batas dunia perjenglotan. Hm, jangan pernah main di tapal batas. Banyak tentara dan polisi. Hati-hati juga di tapal batas sangat banyak dunia remang-remang. Barang-barang klitikan dan klutukan sangat disenangi oleh jenglot. . Bro and sista, jangan coba-coba bandingkan antara kolor ijo, buto ijo dan jenglot? Buto ijo dan kolor ijo suka makan jengkol sementara jenglot tidak suka sama sekali. Tidak semua jenglot suka jengkol? Ada pula yang suka tapi si jenglot mesti menyeleksi dulu mana jengkol yang fresh dan mana jengkol yang bosok alias masuk di tong sampah . Saya tidak mau menilai. Ntar dibilang terlalu sembrono ketika mengatakan dengan sangat serius bahwa: “Setiap jenglot yang menikmati jengkol akan berbau jengkol atawa terkena asam jengkolat. Welehhhhhh, di sini juga bukan soal kedekatan antara jengkol dan jenglot. Jelas! Ini sangat menjengkolkan bro and sist. Pasalnya kalau si jenglot sudah memiliki hobby makan jengkol maka sehancur apapun rasa jengkol itu kata si jenglot: "Sekali jengkol tetaplah jengkol walaupun menjengkolkan". Huh! . Maaf-maaf saja. Pernyataan seperti itu harap dimaklumi ya namanya juga penikmat jengkol. Jangan heran jika jenglot tiba-tiba mirip makhluk hilang akal. Kebanyakan makan jengkol? Ah, jengkol yang di makan oleh jenglot adalah sebuah kebiasaan. Ya namanya juga klitikan harap maklumlah. Klutukankah? Hancur deh! Di sini bukan soal jengkol dan jenglot semata. Perlu dipahami kegilaan jenglot terhadap jengkol adalah bagian dari penyakit over-generalization akut yang di idap oleh jenglot dan kawan-kawannya. . Oh iya, terkadang menilai kapasitas jenglot tak serumit yang kita bayangkan. Ruwetnya jika jenglot membakar kebun jengkol berhektar-hektar hanya karena ketika jenglot memakan sepiring jengkol ternyata ada satu yang bosok. Duh, tidak usah heranlah jika jenglot berlaku demikian. Pola pikirnya hanya sebatas itulah: "Sekali jengkol tetap jengkol". Hidup jenglot! Bakar Jengkol! . Hei! Hei! Jangan tulis sampai 5 paragraf. Ntar Malah berabe bosss.....1 paragraf sajalah mungkin sudah cukup: “Bahwa jengkol yang menjengkolkan itu belum tentu semuanya jengkol berkualitas!" . Pelis deh! Betapa kacaunya kalimat itu jika ada yang diantara kompasianer mencoba menulisnya. Betapa semrawutnya cara jenglot memakan jengkol. Sungguh menjengkolkan! . Bro-bro dan Sist-sist! Saya sebenarnya ingin berbicara sangat banyak, tapi rasanya tak elok jika saya bermonolog ria di sini. Silahkan nanggap wayang semalam suntuk sambil berdialog. Selanjutnya mari kita nikmati sepiring jengkol sajian khas berselera di rumah makan jenglot ceria. . Oke Bro! Oke Sista! Jangan pernah sekalipun berburu jenglot atau makan jengkol mentah-mentah. Karena akan berdampak terhadap budaya klitik. Jangan pernah juga jadikan jengkol sebagai kripik karena jenglot tak doyan kripik. Percayalah hanya karena akibat kebakaran jenglot ternyata Kompasianer Herman Hasyim Tak kebal Klitikan. Lha Hubungannya apa? Waspadalah! Jangan pernah pula makan ikan tongkol dalam sebuah tong sampah. Karena tong itu bukan warung makan. Waspadalah! Buanglah sampah ditempatnya dengan santai. Selanjutnya harap tenang-tenang karena di Bantargebang masih banyak lahan yang kosong.
Salam JeJe L4.
p.s;
pro Kompasianer Herman Hasyim
ini cuma parodi dari tulisan ente sebelumnya.
silahkan marah asal jangan timpukin saya pake bakiakmu. Hahaha
salam-L4
-------------------------------------------------
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H