Mohon tunggu...
M U Ginting
M U Ginting Mohon Tunggu... -

penggemar dan pembaca Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Nasionalisme dan Etnonasionalisme

10 April 2018   16:47 Diperbarui: 10 April 2018   17:01 1327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.youtube.com/watch?v=5d1FONMalnE

Ketika berdialog di Kompasiana dengan Pak Tjiptadinata Effendi soal suku-suku bangsa di Sumut, beliau memintakan kepada saya untuk meng'artikelkan' komen saya atas tulisannya yang menarik dan bermanfaat bejudul 'Catatan Hasil Pembelajaran Diri di Australia'. 

Pembelajaran, . . .  he he istilahnya sudah kasih kesan indah tersendiri.  Lalu saya terkesan juga sekiranya ada manfaatnya untuk memberikan sedikit lagi informasi tambahan berupa pencerahan apa saja yang sekiranya ada artinya bagi kita dan bagi Sumut khususnya sehubungan dengan pembicaraan yang selalu hangat disana soal 'Gerakan Bukan Batak'. Dan disini saya coba-coba menulis dengan judul diatas.

Nasionalisme bergerak maju.

Ketika Trump dalam pilpres lalu menang di AS, perusahaan besar mobil Ford dan Toyota langsung ancam mau dipindahkan oleh pemiliknya ke Mexico cari tenaga kerja murah dan tujuan 'menghantam' Trump dengan bikin pengangguran lebih besar lagi di AS. Trump sebaliknya mengancam tidak boleh masuk produksi kalian ke AS, atau akan dipajaki tinggi kalau masuk ke AS. Kedua perusahaan itu mundur teratur. 

Trump berhasil menyelamatkan buruh/pegawai AS dari pengangguran akibat hijrah pabrik itu ke luar negeri. Trump mengerti persoalan nasionalnya dan bertindak tegas, walaupun baru beberapa hari saja jadi presiden AS. Itulah gangguan pertama menentang nasionlisme Trump dalam praktek. Trump tegas membela pemilihnya yang utama dalam pilpres yaitu orang kulit putih AS (etnis orang putih) dari pedesaan dan kaum buruh kota yang selama ini jauh tertinggal dan semakin ditinggalkan oleh the Establishment.

Jokowi, Trump, Putin, Nigel Farage, Marine Le Pen, Theresa May + Brexitnya dan bersemaraknya partai-partai nasionalis seluruh Eropah Barat dan UE adalah arus perubahan dan perkembangan yang menggegerkan dunia, dan jelas akan menggoyah atau akan mengubur untuk selama-lamanya the old establishment yang dipimpin oleh neolib internasional yang anti nasionalisme.

Abad lalu, neolib memakai politik multikulturalisme atau 'multikulti' untuk memuluskan politik globalisnya. Senjata multikulti ini sudah semakin tertelanjangi dan hampir mati, karena 'borderless movement is profoundly immoral' (prof Frank Salter, Australia). Memang betul tidak bemoral, karena sama sekali tidak menghargai nation atau penduduk lokal setempat, menghina kearifan leluhur dalam pepatah kita 'dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung'.

Ketika Angela Merkel masih tunduk dan percaya pada politik Helmut Kohl yang pernah memulangkan imigran Turki dari Jerman, tante Angela tahun 2010 bilang: "multikulti has failed totally". Begitu juga David Cameron membenarkan pemikiran Merkel, "David Cameron has criticised "state multiculturalism" in his first speech as prime minister on radicalisation and the causes of terrorism. At a security conference in Munich, he argued the UK needed a stronger national identity to prevent people turning to all kinds of extremism" (BBC).

Tetapi, setahun kemudian tante Angela mengkhianati kata-katanya sendiri yang pernah bilang bahwa "multikulti has failed totally", dan malah memasukkan sebanyak mungkin imigran Arab ke Jerman terutama ketika ISIS bentukan Obama-Clinton-Ford sedang meraja lela di Syria dan Irak. Merkel tiba-tiba bikin kebalikan dari kata-katanya, sampai-sampai ex kansler Helmut Kohl bikin peringatan keras sama tante Angela, "Jerman tidak bisa jadi "new home for migrants" kata Kohl Apr 18, 2016.

Perkembangan nasionalisme ini memang sangat mengerikan bagi the old establishment neolib ini, dan neolib Greed and Power ini pastilah akan membikin perlawanan terakhir atau rontaan terakhir dengan jalan apa saja atau apapun yang terjadi. Sebaliknya arah perubahan dunia juga sudah pasti, artinya aliran kuat nasionalisme di tiap negara, atau juga ethnonasionalisme (suku/kultur asli) ditiap negara juga akan terus berkembang tak bisa dihalangi (erhnic-cultural revival) seluruh dunia akhir abad lalu.

Di Indonesia sudah banyak yang memahami, disini dibutuhkan saling mengakui, saling menghargai dan saling menghormati. Dan menghormati pepatah leluhur bangsa Indonesia, 'dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung'. Disinilah keberhasilan bangsa Indonesia yang multi-cultural itu (bhinneka tunggal ika). Bedakanlah dengan politik 'multikulti' atau politik 'multikulturalisme' yang sudah membusuk itu.

"Whether politically correct or not, ethnonationalism will continue to shape the world in the twenty-first century." (Jerry Z. Muller is Professor of History at the Catholic University of America).

Dari segi etno nation yang lebih kecil atau suku, Erik Lane bilang dalam bukunya tentang globalisasi:

"the focus is almost exclusively at ethnics and not nations . . . Thus, people are so intimately connected with a culture that they are, so to speak, constituted by the culture in question or embedded in such a particular culture.

Disinilah benarnya dan TEPATNYA strategi saling mengakui, menghargai, menghormati, dan dimana kaki berpijak disitu langit dijunjung.

Dalam 'keramaian' etnonasional ini tahun lalu di Sumut terdengar banyak soal  gerakan 'Mandailing Bukan Batak'. Mirip dengan ini juga sudah sering terdengar di Sumut seperti Karo Bukan, Simalungun Bukan Batak, Pakpak Bukan Batak. 

"Bagi saya wacana itu merupakan gerakan yang positif. Terutama dalam rangka penguatan paham multikulturalisme yang menekankan, pengakuan, penghormatan dan kesederajatan tiap kelompok etnis. Tidak ada motif politik di balik itu," kata antropolog dari Universitas Sumatera Utara (USU), Zulkifli B Lubis kepada medanbisnisdaily.com, Jumat (10/11/2017), lihat disini.

Selanjutnya beliau tambahkan; "Masyarakat Mandailing sendiri punya sejarah asal usul dan tarombo marganya masing-masing. Misalnya marga Lubis, leluhurnya adalah Namora Pande Bosi, bukan Si Raja Batak. Jadi mengapa harus dipaksa sama," katanya.

Betul Pak Zulkifli Lubis, tidak perlu "harus dipaksa sama", dan dalam masyarakat bhinneka tunggal ika, dasarnya pastilah juga perbedaannya yang sangat bermanfaat untuk dipelajari dan didalami diantara sesama suku bangsa negeri ini dan di Sumut khususnnya. Selama ini sudah terlihat juga bagaimana masyarakat Sumut dengan toleransi tinggi bisa menjaga daerahnya tetap kondusif dan damai. 'Gerakan Bukan Batak' seperti 'Mandailing Bkukan Batak' telah banyak memunculkan pemikiran dan pencerahan yang positif. Mari kita kembangkan terus segi positifnya.

Kekuatan luar biasa dalam berbagai kultur yang berbeda itu, yang juga kita sering katakan dalam istilah 'kearifan lokal', itulah kekuatan sejati NKRI dalam Bhinneka Tunggal Ika.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun