Mohon tunggu...
M U Ginting
M U Ginting Mohon Tunggu... -

penggemar dan pembaca Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Politik

Konteks Moeldoko kontra Nobar Film "G30S/PKI" Gatot

29 September 2017   03:29 Diperbarui: 29 September 2017   04:47 1745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lihat konteksnya saja. Kalau konteksnya adalah pendidikan, itu tidak apa-apa. Tapi kalau konteksnya digoreng jadi isu politik, itu yang berlebihan," kata Moeldoko mantan panglima TNI dalam menanggapi isu film nobar G30S, 'trobosan' panglima Gatot, merdeka com.

Dari segi 'konteksnya' . . . jadi pendidikan atau digoreng jadi isu politik. Pak mantan ini terlihat tidak menginginkan konteksnya digoreng jadi isu politik. Bagus juga memang keinginannya. Tetapi itu hanya keinginan subjektif, kenyataan lain lagi. Film itu sendiri adalah film politik, propaganda politik orde baru, digoreng atau tidak digoreng. Logikanya bisa juga dikatakan begini misalnya film sadis dan porno bisa bebas ditunjukkan di depan mayarakat dan dinobarkan juga, asalkan konteksnya adalah pendidikan, he he he rasanya   . . .  ngawur aje . . .

Tetapi dari segi pemikiran yang lebih tinggi, film propaganda politik Orba G30S memang bisa dimanfaatkan dan diubah jadi pencerahan yang sangat bagus dan tuntas soal kudeta 'indah' menggulingkan Soekarno, artinya siapa dibelakang kudeta itu dan untuk kepentingan apa?

Kepentingan yang tidak bisa dipungkiri didalam kudeta meruntuhkan kekuasaan Soekarno ialah kelancaran akses orang asing ke penjarahan SDA Indonesia yang sangat kaya itu, artinya duit, duit, duit. Siapa yang mau menjarah SDA ini? Contoh penjarahan SDA sangat banyak didunia, terutama negeri-negeri AA yang kaya SDA. Siapa yang mengkudeta dan membunuh PM Kongo Lumumba 1961 kalau bukan penjarah SDA Katanga yang kaya mineral itu? Siapa yang menjarah triliunan dolar selama 50 tahun tanpa suara di Indonesia karena Soekarno sudah tak berkutik? Soekarno ketika itu sangat keras menentang modal asing masuk mengeruk SDA Indonesia sebelum beliau dikudeta dan jadi tahanan rumah sampai mati, dan yang memungkinkan akses ke SDA bebas 100% bagi orang asing mengeruk SDA Indonesia, SDA apa saja. Yang jelas  terlihat dan terbukti ialah perusahaan neolib Freeport Papua yang sudah menjarahi bumi Papua selama 50 tahun tanpa suara, mengeruk dolar triliunan dari situ.

Adakah soal yang lebih penting bagi penjarah SDA ini selain duit, duit, duit . . . triliunan dolar dijarah selama setengah abad. Apakah penjarah ini urusan kalau letkol Untung mati, jenderal Yani mati, Soekarno mati, 3 juta rakyat mati dibantai, atau kalau perlu dibantai 100 juta lagi  . . . ? Tentu orang-orang penjarah duit SDA ini tidak urusan, tidak bersedih sama sekali. Yang penting pecah-belahnya semakin mantap imbasnya dikalangan penduduk dan masyarakat sehingga kebebasannya ke SDA apa saja bisa semakin terjamin, dalam jangka pendek maupun panjang.

Siapa yang berkepentingan membunuh Sekjen PBB Dag Hammarskjold 1961 di Kongo kalau bukan penjarah SDA orang asing dan tentara asing sewaan di Katanga? Siapa yang bikin pembunuhan massal di Biafra Nigeria 1967 kalau bukan penjarah minyak Biafra Nigeria? Siapa yang memprakarsai perang dunia 1 dan 2 yang makan korban ratusan juta jiwa itu?

Keindahan perkembangan dunia sekarang ini ialah bahwa semuanya  pertanyaan diatas itu sudah tersedia jawabannya di internet, file CIA, buku-buku tulisan ahli dunia, semua terbuka dan bisa diakses oleh siapa saja dan kapan saja. Manfaatkanlah keindahan dan penceraahan  yang luar biasa ini.

Bahwa duit, duit, duit, Greed and Power adalah penyebab utama kejahatan dan pembunuhan massal di dunia bisa dianggap terlalu extreem atau belum dipahami, seperti terjadinya dua perang dunia itu. Adanya atau diadakannya Saracen, dimunculkannya gerombolan extreem agama atau isu komunis, semuanya adalah dalam rangka pecah belah atau politik divide and conquer yang sudah terkenal itu. Mengapa penduduk dipecah belah? Apakah hanya sebagai hiburan senang melihat orang berkelahi atau bunuh-bunuhan seperti nonton film? Tentu tidak. Tetapi demi duit tadi itu, miliaran dan triliunan dolar bisa dikantongi tanpa ada yang mengetahui atau menyedari, bahkan banyak orang senang pula, terutama kalau menang dalam perkelahian atau adu domba itu. Wow . . . bukan main memang, bukan main dungunya yang dipecah belah dan bukan main pandainya, briliannya tukang pengadu domba ini. Bukan main tingginya perbedaan pengetahuan diantara dua grup ini, yang diadu dan sipengadu domba. Sipengadu bersenang-senang menikmati duitnya, yang diadu bersenang-senang 'ngisap darah' dan mbunuhi temannya sendiri.   

Belakangan ini Paus Fransiskus bikin kesimpulan soal kapital/duit ini bilang:

Behind all this pain, death and destruction there is the stench of what Basil of Caesarea called 'the dung of the devil'. An unfettered pursuit of money rules. The service of the common good is left behind. Once capital becomes an idol and guides people's decisions, once greed for money presides over the entire socio-economic system, it ruins society, it condemns and enslaves men and women, it destroys human fraternity, it sets people against one another and, as we clearly see, it even puts at risk our common home."

Mengejar duit, mengidolkan kapital dan keserakahan akan duit telah memperbudak manusia, merusak persaudaraan sesamanya karena dibuat saling bermusuhan . . . diadu domba dan saling bunuh demi duit. Dan ini pelaku utamanya ialah perampok SDA dunia terutama SDA negeri berkembang yaitu neolib internasional dengan cara kudeta kepala negaranya yang nasionalis anti imperialis neolib, seperti Soekarno 1965, Lumumba 1961, Boshop 1983, dan banyak lagi negeri lain dikudeta demi duit dan SDA dengan cara yang sama yaitu adu domba dan dihasut saling bunuh sesama warga satu nation, kemudian mengkudeta presidennya atau pemimpinnya yang mau mempertahankan kepentingan nasionalnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun