Mohon tunggu...
M U Ginting
M U Ginting Mohon Tunggu... -

penggemar dan pembaca Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Teror Stockholm dan Penyakit 'Multikulti'

9 April 2017   04:10 Diperbarui: 9 April 2017   12:30 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selain 4 orang tewas ada juga belasan cedera, termasuk anak-anak, ketika terjadi teror truck di Stockholm kemarin  Jumat 7/4.  

Di TV/radio Swedia, semua media the establishment terus menerus memberitakan tanpa henti-hentinya, semua 'setuju' dan bilang supaya rakyat jangan takut dan jangan mau ditakut-takuti. Tetapi dengan siaran terus menerus selain membosankan juga terasa ada maksud menakut-nakuti publik. Sampai seorang psikolog anak-anak bilang, siaran terus menerus tidak baik bagi anak-anak dan mereka malah perlu dialihkan perhatiannya kepada soal lain yang bisa menghibur anak-anak, katanya.

Yang pertama dan utama didahulukan tentu korban dan keluarganya yang sama sekali tidak bersalah, termasuk ada anak-anak. Dan bagusnya sudah banyak turun tangan, selain bantuan medis juga para psikolog yang sangat banyak meringankan penderitaan korban dan keluarganya. Ini lebih penting daripada ngomongkan teroris terus menerus. Bagi korban cukup ucapan belasungkawa sekali saja, tidak butuh obrolan panjang lebar terus menerus soal terorisme dan kehebatannya atau perusakannya.

PM Swedia orang kiri lama (sosialis) bilang kalau kejadian seperti ini tidak bisa dihindari juga dimasa selanjutnya kedepan. PM sosialis ini terus bikin pidato atau press konferens setiap ada kesempatan mengomentari kejadian teror perorangan ini (dilakukan seorang warga negara  Uzbekistan umur 39 tahun), sebuah negara ex Soviet di Asia Tengah, negara mana juga sering diincer oleh ISIS.

Selain PM sosialis ini dari partai-partai lain juga tidak mau ketinggalan bikin komentar berapi-api dan bersemangat bagaimana sedihnya kejadian ini, bagaimana perlunya melawan terorisme, seakan-akan terorisme itu sangat dahsyat, menakutkan dan tak terlawan, sambil mengatakan bahwa kejadian seperti ini dimasa depan juga tidak akan terhindarkan. Padahal terorisme sudah jauh menurun setelah Trump berkuasa di Gedung Putih, karena 'Obama was the last gasp of neoliberlism', dan 'terrorism made in USA' (Chossudovsky) sudah jadi luntang-lantung, fabriknya harus hijrah dari USA ke negeri mana saja.

Memang di Barat teror perorangan model orang psikis penyandu narkoba seperti di Nice masih bisa terus dihidupkan, modalnya cukup dengan sebutir sabu-sabu bagi penyandu yang sudah sangat butuh + sebuah truck besar yang bisa menggilas banyak orang, tak perlu lagi menyiapkan mesiu canggih yang harganya mahal. Dan orang barat seperti di Swedia itu masih sangat cocok jadi tempat fabrik terorisme model Nice ini, karena elit politiknya gampang ditakut-takuti. Kalau di Indonesia tentu sangat tidak populer karena teroris model ini tak ada harganya atau dihargai, tak beda dengan begal biasa, langsung ditembak mati atau dikeroyok rakyat sampai mati. Karena itu fabrik terorisme Chossudovsky tak mungkin di sebarkan ke Indonesia.

Di Indonesia sudah banyak pengacau model begal dan sudah ditangani secara efisien dan mantap. Tak ada juga manusia yang takut atau bisa ditakut-takuti seperti di Belgia atau Swedia. Percobaan teroris Thamrin sudah jadi bukti hidup, teroris tak perlu ditakuti kata presiden Jokowi karena maksudnya memang menakut-nakuti, dan wapres JK tegas bilang kalau teroris tak ada kaitannya denga agama islam. Berlainan dengan sikap dan pemikiran presiden Hollande yang bilang kalau teror Nice adalah terorisme islam, dan malah memperpanjang keadaan daruratnya (emergency) seluruh Perancis hanya karena ketakutannya terhadap teroris psikis pemabuk narkoba di Nice itu. Orang bisa bertanya memang, memihak mana Hollande ini. Mengapa begitu takut atau sengaja menakut-nakuti publik, bikin 'a state of emergency' seluruh Perancis?

Dalam kejadian teror Stockholm kemarin itu hanya satu partai yang tidak bikin komentar berlebihan untuk membesar-besarkan terorisme, yaitu partai nasionalis Swedia yang sekarang sudah menjadi partai nr 2 besarnya di Swedia, sama halnya dengan partai-partai nasionalis di Perancis atau Belanda yang sudah jadi partai nr 2 di negeri masing-masing. Partai ini sudah punya sebab, mengapa ada terorisme islam di dunia, sama argumentasinya dengan partai-partai nasionalis lain-lainnya seluruh Eropah Barat.

Ada komentator di medsos bilang kalau negara-negara barat itu harus menirukan negara Israel, betul-betul nasionalis tak membolehkan gerombolan orang asing datang pindah ke negerinya, apalagi sampai terlalu banyak dan merusak kultur setempat. Merusak kultur setempat, inilah faktor yang membikin kekacauan disatu negeri, pendatang terlalu banyak dan berlebihan, sehingga pepatah leluhur kita dilanggar 'dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung'. Di Swedia penyakit 'multikulti' ini sudah dimulai sejak tahun 1970-an, dimana pemerintahan sosialis berusaha menghilangkan kultur nasional orang Swedia sendiri dengan alasan demi multikulturalisme. Begitulah juga tadinya rerjadi diseluruh Eropah Barat, dan sekarang arah kebalikan terjadi dengan bersemaraknya partai-partai nasionalis yang dinamakan partai populis itu, yang mengutamakan kultur nasionalnya dan identitasnya. Situasi multikulti inilah yang sekarang melahirkan 'values changing' (prof Jonathan Haidt) terjadi dimana saja kalau terlalu banyak pendatang dari kultur lain (values lain).

Ada juga komentator yang mengatakan bahwa semua teror dan multikulti itu 'diatur dari AS', tetapi yang lain balik bertanya, 'tetapi siapa yang mengatur AS?'  

Pertanyaan terakhir ini yang menarik, kalau dilihat dari perubahan politik AS dari neoliberalisme ke nasionalisme setelah Trump menang pilpres tahun lalu ketika terjadi pilihan antara Clinton kontra Trump yang memang pada hakekatnya menggambarkan kontradiksi atau pertentangan antara neoliberalisme internasional (globalist) kontra nasionalisme AS. Dan dengan kemenangan Trump maka Obama adalah 'the last gasp of neoliberalism'. Tetapi tidak berarti bahwa Trump sudah bebas bikin politik nasionalisme tanpa halangan, karena kekuatan neoliberalisme (the party of money- Gore Vidal) di AS sudah berakar kuat sejak era presiden Andrew Jackson seperti dikatakan oleh presiden Roosevelt 1933:  "The real truth of the matter is, as you and I know, that a financial element in the large centers has owned the government of the United States since the days of Andrew Jackson.”

Andrew Jackson jadi presiden 1829-1837. 'Financial Element' atau 'the party of money' ini sekarang dinamai neolib, yang akan jadi musuh dan tantangan terkuat bagi Trump dalam usahanya melaksanakan politik nasionalismenya 'America First'.

Salah satu pencerminan perlawanan dari neolib ini ialah mengadu domba Trump dengan rakyat AS, antara lain dalam soal 'health care' yang diwariskan oleh  Obama. Secara internasional, mengadu-domba Trump dengan Putin, terakhir sampai pengiriman 59 misil rudal membom pangkalan udara militer Assad Syria. Begitu juga mempertentangkan Trump dengan negara-negara seluruh dunia, karena katanya ekonomi semua negeri akan menurun dengan politik ekonomi 'isolasionisme' Trump.

Tetapi bagi Indonesai sendiri sudah terasa bagaimana ekonomi meningkat sejak akhir 2016 sejak didepaknya neoliberal JP Morgan dari Indonesia oleh menkeu Sri Mulyani, dan tidak mendengarkan lagi nasihat-nasihat 'ilmiah' dari JP Morgan itu maupun dari  bank-bank besar neolib IMF atau Bank Dunia. Politik ekonomi bilateral Trump menunjukkan hasil bagi Indonesia dan negeri-negeri pengikut bilateral Asia. Ini karena tiap negara bebas urus ekonomi nasionalnya sendiri, dan dengan negeri lain secara bilateral, tidak ada campur tangan dari pihak ke 3. Trump sangat jelas dalam soal ini, dia katakan dalam pidato pelantikannya:

"We will seek friendship and goodwill with the nations of the world - but we do so with the understanding that it is the right of all nations to put their own interests first.

We do not seek to impose our way of life on anyone, but rather to let it shine as an example -- we will shine -- for everyone to follow."

Putin dan Trump ada kesamaan, sama-sama orang nasionalis negeri masing-masing. Kekurangan Putin ialah, dia masih terikat oleh tradisi perang dingin seperti membiayai Assad yang sudah 'obsolete' seperti obsoletnya NATO atau Pakta Warsawa. Dan kekurangan Trump ialah dia suka ceplas-ceplos seperti Ahok walaupun maskudnya seperti Ahok juga, bisa dijamin adalah baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun