Oleh Pelipus Libu Heo
Pembangunan di wilayah pesisir selama dua dekade terakhir ini semakin marak. Menariknya, terjadi seantero Nusantara termasuk Nusa Tenggara Timur (NTT). Di kota Kupang hampir tidak lagi pantai yang kosong. Semua sudah tertutup oleh beton. Kasus yang cukup menyita perhatian publik NTT adalah penolakan pembangunan Hotel berbintang di Pantai Pede Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat. Sedangkan di Pulau Jawa, ada kasus reklamasi teluk Jakarta yang mewarnai layar kaca selama dua pekan terakhir.
Kasus penolakan pembangunan hotel berbintang di pantai Pede oleh warga setempat terbaca sebagai rasa terusik dan terancamnya sumber penghidupan masyarakat pesisir pantai. Mata pencaharian nelayan sudah tidak  mendukung lagi. Hasil tangkapan semakin menurun dari hari ke hari karena Ikan-ikan telah bermigrasi ke laut yang dalam. Selain itu, Para nelayan akan sulit bisa akses ke pantai karena sudah terhalang oleh beton. Kesempatan anak-anak bercanda ria, mandi dan melukis diatas pasir telah sirna. Keindahan pantai sudah ditutupi oleh bangunan beton yang menjulang tinggi yang dibangun oleh pengusaha. Masyarakat yang ingin menikmati keindahan tersebut harus membayar mahal.
Mahalnya tanah di wilayah daratan membuat pengusaha mencaplok wilayah pesisir dan sempadan pantai. Dengan dalil mendukung pariwisata dan mendorong kemajuan ekonomi serta atas nama undang-undang pula bahwa wilayah sempadan pantai dikuasai oleh negara. Pemerintah dinilai telah berkompromi dengan pengusaha untuk menjual pesisir pantai. Para pwngusaha dengan leluasa menyulap pantai menjadi pusat bisnis. Dibangunlah Mall, Apartemen dan kemudian menjual kembali kepada masyarakat. Hal ini tentu saja membuat masyarakat sipil yang ekonomi menengah ke bawah sangat kesulitan akses ke pantai.
Pemerintah kemudian mengabaikan kearifan lokal dan struktur sosial masyarakat pesisir . Aspek kelestarian sumberdaya pantai dan pesisir pasca reklamasi menjadi terancam punah. Kehidupan di wilayah pesisir sebagai habitat sudah tidak mendukung. kearifan lokal (red. Akses masyarakat tradisional) menjadi terpinggirkan. Mereka disingkirkan ke habitat yang tidak mendukung kehidupan dan tidak sesuai profesi. Harus rela menjalani kenyataan pahit sebagai profesi baru. Bagai ikan yang terdampar di daratan yang tidak bisa bertahan hidup dalam waktu lama. Pada titik ini, Pemerintah tunduk dan dibutakan mata hati oleh pemilik modal.
Masyarakat yang geram dan dirugikan oleh ulah pemerintah melakukan aksi protes dengan berdemonstrasi menuntut pemerintah untuk tidak menjual pesisir pantai kepada pengusaha. Pesisir-pesisir pantai tersebut agar tidak dialih fungsikan menjadi bangunan beton. Namun tetap perawan dan mempesona menjadi lahan terbuka yang hijau, Lumbung ikan bagi nelayan sebagai sumber kehidupan. Kapanpun masyarakat ekonomi menengah ke bawah dapat melakukan aktifitas "makan meting-red bahasa kupang", yakni mencari kerang-kerangan, menjala ikan serta aktifitas lain di pantai.
Penolakkan pembangunan hotel berbintang di pantai Pede adalah bukti kompromi pemerintah dengan pengusaha. Warga dengan tegas menolak alih fungsi pantai tersebut. Disisi lain, warga menuntut aparat penegak hukum bertindak, mengusut dugaan pelanggaran pidana maupun perdata dari alih fungsi lahan seperti dugaan gratifikasi dan suap. Namun aparat hukum tak memiliki taring dalam menindak para konglomerat yang merusak keindahan pantai. Pemerintah pun diam seribu bahasa.
Dugaan kong kali kong pemerintah dengan konglomerat semakin menguat setelah tertangkapnya Muhamad Sanusi di pusat perbelanjaan Jakarta, Kamis (31/03/2016). Sanusi merupakan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta yang juga ketua Fraksi dari partai Gerinda  ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan langsung ditahan di Rutan KPK. Sanusi diduga menerima suap terkait rencana pembahasan Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil  DKI 2015-2035, yakni Reklamasi teluk Jakarta. Dari tangan Sanusi, KPK menyita barang bukti berupa uang tunai Rp. 1,140 Miliyar. Sebelumnya, Sanusi menerima uang 1 miliyar dari karyawan Agung Podomoro Land (APL). Kini, KPK masih mendalami kasus tersebut yang di duga kuat akan menyeret sejumlah anggota DPRD DKI Jakarta serta rekan Sanusi. (Kompas, 01/04/2016). KPK telah memeriksa sejumlah saksi dalam kasus ini termasuk Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama.
Maraknya pembangunan di wilayah pesisir tidak terlepas dari kong kali kong pemerintah dengan konglemerat. Fenomena ini mesti dibaca sebagai akibat dari barter politik Pemerintah (Gubernur/Bupati/Walikota) yang menang dalam PILKADA. Langkah mereka berjalan mulus ketika aparat penegak hukum (kepolisian dan kejaksaan) mandul dan berada dalam lingkaran kekuasaan atau turut menikmati. Laporan demi laporan di gelorakan masyarakat: Aktivis Lingkungan, Tokoh masyarakat, Agama, pemuda dan NGO lainnya menyuarakan penolakan pembangunan di pesisir pantai. Media cetak maupun elektronik mempublikasi, masyarakat hanya dikenyangkan dengan berita dugaan dan dugaan KKN. Kasus penolakan pembangunan diwilayah pesisir pantai NTT mungkin telah sampai juga ke telinga aparat. Semua laporan mengendap di bawah meja aparat dan kemudian menguap tanpa jejak. Pada taraf ini membukti betapa masifnya aksi pemerintah dan konglomerat.Â
Pembangunan hotel berbintang di pantai Pede, Labuan Bajo, Pembangunan Hotel di pantai Kupang yang mana keduanya sempat berpolemik, menyita perhatian publik dengan pemberitaan media. Terakhir adalah pembangunan Jogging Track di pantai Pasir panjang yang mendapat penolakan dari masyarakat pesisir. Kemudian pembangunannya dipindahkan ke pantai Namosain. Kasus pembangunan dipesisir pantai NTT dengan kasus reklamasi teluk Jakarta tidaklah berbeda. Namun yang berbeda adalah tempat dan jarak (domisili) lembaga hukum (KPK).Â
Kasus pembangunan hotel di Labuan Bajo masih menjadi tanda tanya bagi masyarakat karena proses penyelesaiaannya oleh aparat penegak hukum seakan mendiamkan. Apa yang istimewa dengan NTT sehingga tidak tersentuh hukum? Apa mungkin NTT tak ada dosa? Pertanyaan refleksi bagi kita terutama aparat penegak hukum. Indonesian Corruption Wacth  (ICW) merilis data yang menempatkan NTT sebagai propinsi Terkorup, termiskin dan terbelakang ketiga senusantara. Lalu mengapa tidak ada pejabat kita yang terjerat oleh hukum, dan masuk rumah perdeo? Justru yang ada banyak di sangkakan oleh KPK dan Kejaksaan namun ujung-ujungnya salah sangka setelah mendapatkan fee.
Pemberantasan korupsi menjadi mahal dan masih menjadi impian masyarakat NTT. Impian agar NTT keluar dari Zona Propinsi terkorup, terbelakang dan termiskin sehingga bisa sejajar dengan Propinsi lain di Indonesia. Namun masih menjadi angan-angan semata dan NTT belum tersentuh oleh KPK. Langkah KPK dalam OTT menangkap Sanusi adalah langkah maju dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika Presiden Joko Widodo selalu menyeruarakan Indonesia Sentris atau pembangunan tidak terpusat pada Jakarta maka pemberantasan KKN pun mesti demikian, merata pada segala lini dan penjuru. Lalu kapan KPK ke NTT, mari dukung langkah KPK.(^^)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H