Belum terhapus ingatan sejumlah status di media sosial (medsos) yang menyebut diri "Saya Pancasila". Dari pejabat, selebriti, tokoh agama, aktivis organisasi hingga pegiat medsos ramai-ramai memasang status "Saya Pancasila" dilengkapi foto diri berdampingan dengan lambang Garuda Pancasila.
Kesan dan pesan yang ditangkap dari pemasang status tersebut, mereka masih menganut ideologi Pancasila. Artinya dengan memiliki status tersebut dan dipublis di media sosial, mereka berharap tidak perlu diragukan lagi sebagai pembela Pancasila.
Secara tidak langsung, para pemilik status "Saya Pancasila" melihat ada gelagat beberapa warga negara Indonesia, mulai melenceng dari ideologi Pancasila. Tidak mungkin mereka cuma spontan memasang status "Saya Pancasila" kalau tidak ada masalah yang melatarbelakanginya.
Mereka pasti punya alasan kuat, Pancasila harus dibela. Mereka punya semangat untuk mengingatkan kembali, jika ingin menjalani kehidupan di Bumi Pertiwi ini, hanya Pancasila satu-satunya yang menjadi falsafah hidup warga negara Indonesia. Yang lain tidak!
Lantas pertanyaan yang muncul, seberapa parahkah masalah yang timbul di negara ini hingga Pancasila harus ramai-ramai dibela? Adakah hal-hal yang mengkhawatirkan, hingga menimbulkan kegelisahan, minimal bagi pemilik status "Saya Pancasila".
Memang betul, saat ramai status "Saya Pancasila" bermunculan di medsos, ada friksi yang terjadi di masyarakat. Cuma kalau mau dirunut, friksi yang terjadi cuma masalah klasik. Pertentangan dua kelompok yang masing-masing pasti tidak menemukan ujung kepuasan. Ketika friksi itu mereda dengan sendirinya, tak ada lagi pembelaan terhadap Pancasila.
Tidak ada yang berteriak
Padahal pembelaan terhadap Pancasila, tidak bisa ditawar lagi harus berlangsung sepanjang masa. Sebagai dasar negara, Pancasila tetap menjadi pedoman segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, ketika sendi-sendi kehidupan itu dirusak, justru tidak ada lagi yang berteriak "Saya Pancasila".
Semua laju. Atau pura-pura tidak tahu. Mungkin juga tidak paham. Bisa juga tidak punya keberanian. Semua diam. Dalam kasus ini, Pancasila tinggal berupa hafalan. Entah Pancasila dimana ditempatkan. Mungkin cuma jadi hiasan di dinding-dinding perkantoran.
Contoh yang gampang saat ini, yakni masalah yang timbul akibat pandemi covid-19. Banyak masyarakat yang terdampak dan kehidupannya terjerembab. Saat bantuan datang, bukannya menyelesaikan masalah justru menimbulkan masalah baru. Bantuan itu tidak menyentuh secara merata.