Contohnya tidak perlu yang rumit-rumit. Misalnya, apakah masyarakat yang kembali boleh bekerja di perkantoran sudah siap dalam kesahariannya terus mengenakan masker? Itu belum pernah terjadi loh, sebelum virus corona melanda.
Sudah siapkah para pekerja, selalu menjaga jarak. Selalu menghindari kerumunan orang-orang. Tidak ngerumpi. Menjauhi kebiasaan ngumpul-ngumpul di jam istirahat. Itu baru sebagian contoh, keadaan normal yang baru dan bakal diterapkan di perkantoran.
Jadi berpikirnya jangan jauh-jauh dulu. Soal yang remeh temeh saja di Indonesia bakalan sulit aplikasinya di lapangan. Masih soal pengenaan masker pun, tidak ada jaminan apakah masyarakat mau tetap mengenakan masker pergi ke warung. Apakah masyarakat masih betah mengenakan masker pergi ke masjid, gereja, vihara, pura, atau kelenteng? Padahal itu yang diminta sebagai kenormalan baru.
Asal tahu saja, jangankan masyarakat umum, tenaga medis yang kemarin gembar gembor dengan tagar IndonesiaTerserah saja, pada kenyataannya banyak yang tidak betah selama jam kerjanya mengenakan masker. Memang masyarakat tidak bisa disalahkan sepenuhnya, karena kultur bangsa ini sudah lama sulit untuk disiplin.
Sekelas aparat kepolisian, sempat viral sesama mereka ribut gara-gara soal masker. Oknum polisi yang kedapatan tidak mengenakan masker, marah-marah ketika diingatkan rekannya. Bayangkan, aparat yang seharusnya memberi contoh, ternyata melakukan hal di luar kepatutan.
Jadi kembali pada diri kita masing-masing. Ada atau tidak adanya kebijakan Protokol New Normal, kita akan menempatkan posisi dimana? Apakah terus melawan virus corona dengan tahapan-tahapan yang selama ini sedang dijalani? Atau apakah kita cukup pede, sudah kebal dari serangan virus corona? Masing-masing pilihan tentu ada konsekuensinya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI