Mohon tunggu...
Anwar Effendi
Anwar Effendi Mohon Tunggu... Jurnalis - Mencari ujung langit

Sepi bukan berarti mati

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

(Fiksi Ramadan) Jumadi Tak Mengharapkan Hilal

23 Mei 2020   16:03 Diperbarui: 23 Mei 2020   15:59 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hilal telah tampak, begitu informasi yang didengar Jumadi, mantanpekerja di pabrik garmen. Namun, seolah tak berarti apa-apa, kabar yang harus disambut gembira itu, ditanggapi dingin saja oleh Jumadi.

Raut mukanya masih dirundung banyak pikiran. Bahkan, Jumadi kalau boleh meminta kepada yang Maha Kuasa, hilal itu jangan ditampakan dulu. Jumadi tidak terlalu berharap hilal datang dengan cepat. Kedatangan hilal, bagi dia hanya menambah persoalan.

"Mengapa hilal sudah muncul lagi," gumam Jumadi dalam hati.

Sebenarnya Jumadi tahu persis apa arti kemunculan hilal setelah dirinya tuntas menunaikan 30 hari ibadah puasa di Bulan Ramadan. Dengan terlihatnya hilal, kaum muslim bisa menyambut hari kemenangan. Bergembira di Hari Raya Idul Fitri. Merayakan kesucian di Hari Lebaran.

Namun, tahun ini, Jumadi bingung, bagaimana cara merayakan kemenangan. Dengan apa dia harus menyambut kegembiraan. Dia makin terpojok dengan keadaan. Jumadi berpikir keras, mulai dari mana akan memberi pejelasan, kepada keluarga dan sanak saudara.

Biasanya, sebelum hilal datang, Jumadi sudah membekali anak istrinya dengan baju baru. Memberikan uang dapur, agar istrinya membuat masakan istimewa di hari kemenangan.

Tak lupa juga, Jumadi mengirimkan uang jajan kepada sanak saudaranya di kampung halaman. Selama ini Jumadi dianggap sebagai orang yang bisa diharapkan. Tapi kini, kondisi Jumadi sendiri dalam keadaan terpuruk. Mungkinkan anak istrinya mau mengerti. Atau sanak saudaranya di kampung halaman mau memahami.

**

"Ah, hilal mengapa begitu cepat datang," kembali Jumadi mengeluh dalam kesendirian.

Jumadi membayangkan wajah istrinya dan ketiga anaknya. Masih teringat betul, satu persatu wajah mereka menampakkan keceriaan saat menyambut Idul Fitri tahun lalu. Sebelum-sebelumnya, bagi keluarga Jumadi, Idul Fitri memang identik dengan baju baru.

Jumadi kini dalam kebingungan. Setelah dirumahkan oleh manajemen pabrik garmen tempatnya bekerja, Jumadi berada pada kondisi ketidakberdayaan. Bukannya dia tidak berusaha. Kesana kemari dia mencari kerja. Tapi tetap pulang dengan tangan hampa.

Penampakan hilal tidak memberi kebahagiaan bagi Jumadi. Hilal kini jadi sesuatu hal yang menakutkan bagi dia. Kedatangannya sangat tidak diharapkan. Hilal hanya menambah masalah baru, dari masalah yang kini dihadapi Jumadi tanpa berkesudahan.

Jumadi tak pernah lagi memegang uang gaji lagi. Uang pesangon sudah habis untuk menutupi sebagian utang. Dia juga belum lepas dari jeratan utang lainnya. Motor yang satu-satunya jadi tumpuan sudah tak ada karena disita. Jangankan untuk mencicil motor, dia sendiri kesulitan untuk memberi makan anak istrinya.

**

"Kenapa mesti ada hilal. Mengapa orang-orang masih bergembira dengan kehadiran hilal," Jumadi membatin.

Hati Jumadi tersayat-sayat. Dia tidak bisa menutup mata melihat orang-orang bahagia menyambut hilal. Sibuk berbelanja aneka barang. Dari makanan hingga pakaian. Seperti tidak pernah kehabisan uang. Banyak barang sekeranjang dibawa pulang.

Jumadi ingin menangis sekeras-kerasnya. Mengapa ada nasib yang berbeda menimpa dirinya. Dia tidak rela melihat anak istrinya menderita. Dia merasa tidak kuat kalau anak istrinya jadi bahan olok-olok tetangga. cuma gara-gara tak punya barang baru di Hari Raya Idul Fitri.

"Hilal pasti datang. Saya tidak bisa menghindarinya," lagi-lagi Jumadi merenung.

Jumadi kembali mengingat saat-saat terakhir bekerja. Dia dipanggil bagian personalia. Dia diberi penjelasan apa yang akan diterima. Selembar surat pemberitahuan pemberhentian bekerja. Saat itu juga, Jumadi sudah lunglai. Tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Tak mungkin ada perusahaan lain yang mau menerima pekerja baru menjelang Lebaran tiba. Apalagi kondisi dunia usaha juga lagi morat-marit. Jumadi makin merana. Semua harapa seakan sirna. Dia berada pada ujung keputusasaan.

"Aku sebenarnya tak mau melihat hilal," begitu kata hati terakhir Jumadi sebelum meneguk cairan pembasmi serangga. (Anwar Effendi)***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun