Ramadan terasa hambar. Tidak ada tradisi tahunan yang selalu digelar. Gegara pandemi covid19, memasuki hari pertama puasa serasa begitu-begitu saja. Susana sakral hilang. Masyarakat tidak bisa kumpul-kumpul dan lebih banyak diam di rumah saja.
Tahun ini menyambut BulanBiasanya, satu minggu sebelum Bulan Ramadan, masyarakat sudah sibuk mempersiapkan diri untuk acara makan besar. Tradisi yang biasa disebut munggahan itu, bisa dilakukan siapa saja. Bisa kelompok ibu-ibu arisan, anggota komunitas sepeda, atau kumpulan teman-teman sekantor.
Tahun-tahun sebelumnya, di permukiman tempat tinggal saya, warga sepakat melakukan makan bersama dengan cara urunan. Ada yang menyumbang nasi, memberikan telur, menyediakan daging ayam, membelikan ikan segar, mempersiapkan bumbu dapur, dan ada juga yang cuma membantu tenaga.
Prinsipnya kebersamaan. Menyambut Bulan Ramadan dengan mempererat tali silaturahmi warga. Acara digelar dari warga, oleh warga dan untuk warga. Tidak memperhatikan besar kecilnya, apa yang disumbangkan warga. Hal terpenting, semua warga berkumpul dan saling memaafkan.
Acara makan bersama itu (munggahan), pelaksanaannya tidak terbatas di wilayah permukiman setempat. Kadang kelompok ibu-ibu yang paling semangat menentukan hari pelaksanaan munggahan sekaligus mencari tempat yang cocok. Tiap tahunnya acara munggahan dikemas dengan suasana yang berbeda.
Pernah munggahan digelar di daerah Cililin Kabupaten Bandung. Sekali waktu memilih tempat di Cibungur Purwakarta. Terakhir munggahan yang dilakukan di luar kota, yakni bertempat di Situ Cangkuang Garut. Sekarang jangankan melakukan munggahan di luar kota, di permukiman sendiri saja tidak bisa.
"Sekarang tidak ada acara munggahan. Sudah ada surat edaran dari kecamatan, dilarang melakukan kegiatan yang bisa mengumpulkan orang. Harus dipahami dulu, munggahan tahun ini tidak bisa dilaksanakan," kata Ibu Imas yang biasa mengkoordinir kegiatan munggahan.
Munggahan memang selalu dinanti warga. Selain sebagai penanda akan melaksanakan puasa, juga menjadi ajang mengakrabkan diri. Jika sehar-hari habis oleh aktivitas masing-masing, maka dalam acara munggahan itu terjalin komunikasi dan bisa saling bercerita.
Tanpa pawai obor
Selain tidak ada acara munggahan, tahun ini Remaja Masjid Al Badriyah tidak menggelar pawai obor. Biasanya, menjelang dilaksanakan ibadah puasa, ada aktivitas pawai obor yang melibatkan anak-anak hinga orang tua. Rute pawai obor itu mengelilingi wilayah pinggiran permukiman.
Peserta pawai merupakan perwakilan dari masing-masing RT. Setiap RT mengirimkan 10 hingga 20 orang. Jika dikalikan 11 RT jumlahnya lebih dari 100 orang belum ditambah dengan panitia. Keruan saja iring-iringan pawai obor itu cukup panjang.
Malam yang gelap jadi ramai dengan cahaya api yang berasal dari obor. Suasana itulah yang sangat dinantikan masyarakat. Sementara masyarakat yang tidak menjadi peserta pawai obor, berjajar di sepanjang jalan yang menjadi rute pawai obor.
Sambil membawa obor, peserta pawai bisa bercanda ria di jalan-jalan yang dilalui. Kadang sejumlah orang tua seperti lupa sama umurnya. Mereka seperti anak-anak merasakan kesenangan. Sementara sejumlah panitia terus memantau pejalanan. Mereka dengan siaga memperbaiki obor yang mati.
Disediakan juga obor-obor cadangnan. Jadi jika ada peserta yang mendapati obornya bermasalah, langsung diganti oleh pantia. Artinya selama pawai berlangsung obor tetap menyala dan suasana perkampungan jadi terang. Tahun ini tidak ada lagi keceriaan pawai obor. Semoga tahun depan tradisi pawai obor tidak hilang. (Anwar Effendi)***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H