Ramadan 2020. Tidak bisa salat Jumat berjamaah di masjid. Salat wajib lima waktu disarankan di rumah. Salat sunah Taraweh dan Witir tidak lagi di masjid. Sulit mengajak anak yatim piatu untuk berkumpul dan diajak buka bersama.
Mau mengumpulkan masalah dulu di BulanPandemi covid-19 belum juga mereda. Pergerakan kerja jadi terganggu. Mau ke kantor agak malas, karena jalannya ditutup. Tambah kesal lagi, jalan yang ditutup cuma di depan kantor saja. Bisa masuk tapi harus bicara panjang lebar dulu dengan petugas keamanan.
Curhatnya lanjut ah. Lihat anak sedih, tidak bisa belajar di sekolah. Sementara iuran bulanan tetap harus bayar. Agak malas mengantar istri belanja. Karena barang-barang yang diperlukan kadang sudah habis keduluan dibeli orang. Di tempat kasir, saat bayar belanjaan ngantrenya minta ampun.
Tidak bisa melakukan olah raga secara massal. Biasa rutin senam tiap Jumat, Sabtu, dan Minggu, sekarang diabaikan. Badan serasa kaku dan pegal karena kurang gerakan. Maksa senam lima orang langsung didatangi satpam dan dibubarkan.
Kemana-mana harus pakai masker. Naik motor atau naik mobil masker harus tetap digunakan. Jalan kaki ke warung juga, masker tidak boleh ketinggalan. Kalau tidak pakai masker nanti jadi omongan orang. Padahal kalau pakai masker, napas agak sulit karena belum terbiasa.
Gara-gara masker juga, jadi sulit mengenali wajah orang. Biasa yang bertegur sapa, jadi harus mikir dulu, siapa ya yang tadi menyapa. Tak ada senda guru dengan rekan kerja dan para tetangga. Jangankan bercanda, untuk salaman saja tidak bisa.
Tahun ini bakalan tidak bisa mudik. Artinya tidak bisa ziarah ke makam orangtua dan mertua. Sulit juga minta maaf ke saudara-saudara secara fisik langsung. Mau kemana di hari raya Idulfitri nanti. Salat Ied juga kemungkinan tidak ada di lapangan.
Terasa cengeng
Tapi, perasaan cengeng banget ya. Curhat selama Bulan Ramadan sampai tujuh alinea di atas. Padahal coba kalau mau melihat ke "bawah", curhatan saya tidak ada apa-apanya. Masih banyak orang-orang yang lebih menderita. Bahkan penderitaannya boleh dikata sepanjang masa. Namun mereka tetap menjalani kehidupan dengan tegar.
Saya harusnya banyak bersyukur, sampai hari ini masih bisa makan secara normal. Tapi di "bawah" sana, masih banyak orang-orang yang menahan lapar setiap hari. Bukan cuma di Ramadan tahun ini, tapi di bulan-bulan lainnya, mereka selalu berpikir apakah masih bisa makan hari ini.
Di negeri yang kaya raya ini, bukan hal yang bohong kalau masih ada orang yang harus mengorek-ngorek sampah di pasar, untuk mengisi perutnya. Masih banyak anak-anak di panti asuhan, untuk makan saja harus menunggu bantuan. Masih banyak, jompo, gelandangan, dan pengemis yang mengisi perutnya cukup dengan minum air.
Bersyukurlah, bagi kita yang bisa menjalankan kebijakan stay at home. Masih bisa bersantai-santai dengan keluarga di rumah. Disuruh diam di rumah saja, kita sudah gelisah. Lantas bagaimana dengan nasib jutaan orang yang tidak punya rumah?
Mereka selama ini menahan panas dan dingin, cukup di trotoar/emperan pertokoan pinggir jalan. Ada juga yang mendiami kolong jembatan. Sementara yang lainnya, cukup di bangunan semi permanen yang layaknya pantas untuk kandang binatang. Masihkan ada kesal di hati kita yang cuma sementara tinggal di rumah?
Jadi perlukah kita masih mempermasalahkan larangan mudik? Pulang kampung halaman bisa dilakukan kapan saja. Lagi-lagi kita harus lihat ke "bawah".
Jutaan orang mungkin sudah lupa dimana kampung halamannya. Jangankan untuk pulang mudik, hidup di perantauan saja sudah sebatang kara. Mau makan saja susah, apalagi cari uang untuk ongkos pulang kampung.
Tetapi saya memang keras kepala. Ramadan tahun tetap mau curhat. Ya Allah, Yang Maha Kuasa, bahagiakanlah mereka yang selama ini menderita. Aamiin.(Anwar Effendi)***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H