Mohon tunggu...
Anwar Effendi
Anwar Effendi Mohon Tunggu... Jurnalis - Mencari ujung langit

Sepi bukan berarti mati

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tidak Mudik, Tidak Kalap Belanja Makanan Ringan

2 Mei 2020   10:32 Diperbarui: 2 Mei 2020   10:42 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pedagang makanan ringan khas Bandung berani menyetok barang dalam jumlah banyak. (foto: dok. pribadi)

Kalap belanja, termasuk memborong makanan di Bulan Ramadan, kayanya sudah menjadi tradisi turun temurun. Susah dihilangkan. Mereka yang sederhana dan punya niat berhemat saja, tetap tergoda. Bagaimana dengan orang yang punya uang banyak? Pastilah ikut-ikutan beli makanan.

Boleh dikata, setiap Bulan Ramadan, seperti ada anggapan uang Rupiah besok tidak laku. Tidak heran jika banyak orang yang memegang uang, buru-buru saja membelanjakannya. Penarikan uang di bank juga cukup tinggi. Berbekal uang dari tabungan langsung saja mendatangi pasar, toko, atau supermarket membeli makanan yang sesuai selera.

Uniknya, makanan-makanan yang dibeli, sebenarnya tidak butuh-butuh amat untuk dikonsumsi. Dibawa dari pasar, cuma disimpan di lemari makan atau meja, sudah selesai. Dari gambaran itu, ada kesan mubazir. Bukankah uang yang dimiliki bisa digunakan hal-hal lain yang sangat mendesak.

Kekalapan masyarakat dalam membeli makanan, sudah lama ditangkap oleh sejumlah pelaku usaha. Mulai dari perajin rumahan hingga pengusaha besar, mereka berani memproduksi makanan dalam jumlah banyak saat memasuki Bulan Ramadan. Demikian juga di level pedagang pasar dan pemilik supermarket, sebagian besar berani menyetok barang lebih banyak dari hari-hari biasa.

Para perajin dan pedagang makanan tidak perlu merasa khawatir, produk makanannya tidak laku. Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, berapa pun barang dagangan yang distok, sudah habis sebelum Idulfitri tiba. Mereka tinggal menghitung keuntungan.

Pedagang makanan ringan khas Bandung berani menyetok barang dalam jumlah banyak. (foto: dok. pribadi)
Pedagang makanan ringan khas Bandung berani menyetok barang dalam jumlah banyak. (foto: dok. pribadi)

Seorang perajin makanan ringan kelas rumahan, Ibu Lina Genali mengatakan, sudah hampir tiap tahun di Bulan Ramadan dirinya menyiapkan produk makanan lebih banyak dari hari-hari biasa. Pesanan akan makanan ringan produknya selalu meningkat seratus persen.

"Para pelanggan biasanya membeli dalam jumlah banyak. Pelanggan yang semula membeli satu atau dua toples, di Bulan Ramadan kadang bisa membeli sampai lima toples. Kadang nambah lagi. Alasannya, untuk persediaan di Lebaran, namun sudah habis dikonsumsi sehari-hari, jadi mereka pesan lagi," kata Ibu Lina yang pemasarannya dari mulut ke mulut dan media sosial.

Pengalaman pahit
Hal yang sama diakui Haji Rosyid, pedagang yang memiliki kios di Pasar Kosambi. Jumlah makanan ringan khas Bandung yang dijajakannya, laris manis di Bulan Ramadan ini. Haji Rosyid menyebut fenomena kalap belanja makanan, sebagai hari-hari maremaan. Puncaknya nanti dua hari menjelang Lebaran, terjadi ledakan pembeli.

Namun tahun kemarin, Haji Rosyid punya pengalaman buruk di Bulan Ramadan. Saat dirinya menyetok makanan ringan dalam jumlah banyak karena yakin pasti habis dibeli pelanggan, ternyata Pasar Kosambi mengalami kebakaran. Tidak ada makanan ringan yang bisa diselamatkan. Hampir semua pedagang makanan ringan di Pasar Kosambi mengalami kerugian.

"Itu pengalaman pahit bagi semua pedagang. Namun sekarang pedagang makanan ringan sudah normal lagi. Sebagian besar pembeli memborong makanan ringan ini, biasanya untuk persedian Lebaran. Atau ada juga yang dijadikan oleh-oleh saat mudik ke kampung halaman," tutur Haji Rosyid.

Tahun ini, ternyata ada juga masyarakat yang bisa menahan kebiasaan memborong makanan ringan. Tapi itu bukan berarti mereka tidak memiliki uang. Hal itu lebih dikarenakan dengan apa yang terjadi saat ini. Dimana masyarakat tidak boleh mudik. Akhirnya mereka yang biasa mudik, tidak belanja makanan ringan sebagai oleh-oleh untuk kampung halaman.

"Tahun ini sih belanja makanan ringan untuk keluarga saja. Tapi itu kan tidak seberapa. Artinya tidak perlu menyetok banyak. Buat Lebaran juga, kayaknya tidak juga. Soalnya masih musim physical distancing. Yang bertamu bakal sedikit," kata Ibu Melly Rosmala Dewi, warga perumahan Adipura Kota Bandung.

Ibu Melly biasanya mudik ke Bangkalan Madura. Tradisinya selalu memborong makanan ringan khas Bandung untuk oleh-oleh kerabatnya di kampung halaman. Dengan adanya larangan mudik, secara tidak langsung bisa menghemat pengeluaran belanja makanan ringan Ibu Melly.

Hal yang sama dilakukan Bapak Edy Roseno asli Gegesik Kabupaten Cirebon. Dia yang kini tinggal di perumahan Margahayu memutuskan tidak mudik dan berpengaruh terhadap kebiasaan belanja makanan ringan.

"Lumayan tahun ini bisa berhemat sedikit. Biasanya di awal-awal Ramadan istri sudah belanja kebutuhan oleh-oleh untuk kampung halaman. Kalau belanja mendekati Lebaran pasti ramai. Tapi sekarang mau di awal atau mendekati Lebaran tidak akan belanja makanan ringan. Uangnya bisa dipakai keperluan yang lain dulu," ucap Bapak Edy.(Anwar Effendi)***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun