Mohon tunggu...
Anwar Effendi
Anwar Effendi Mohon Tunggu... Jurnalis - Mencari ujung langit

Sepi bukan berarti mati

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Bala-Bala, Makanan Semua Lapisan Masyarakat

4 April 2020   09:20 Diperbarui: 4 April 2020   09:43 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Maka Atot seorang penjual bala-bala. | dokpri

Bukan orang Bandung kalau tidak mengenal kuliner bala-bala. Makanan berbentuk gorengan ini menyasar semua lapisan masyarakat. Baik sekelas tukang becak, kuli bangunan, pegawai negeri, sampai manajer bank, kalau tinggal di Bandung pasti tergoda dengan bala-bala.

Bala-bala cocok dikonsumsi di segala kondisi. Mau cuaca dingin atau sedang panas, makan bala-bala tetap enak. Mau disantap di pinggir jalan, dimakan sambil nongkrong di kafe, rapat di kantor atau meeting di hotel, hidangan bala-bala selalu menggoda.

Banyak juga masyarakat kelas bawah yang menjadikan bala-bala sebagai teman sarapan. Mereka merasa nikmat makan nasi dengan bala-bala sebagai lauknya. Apalagi untuk teman ngopi, bala-bala sangat cocok. Lihat saja bapak-bapak yang nongkrong di pos ronda, sambil main gaple malan hari, pasti ada suguhan bala-bala.

Sementara karyawan kantor, tidak jarang memesan bala-bala ke kantin sebagai cemilan di meja kerjanya. Ada juga yang sengaja pesan bala-bala dalam jumlah banyak untuk dimakan ramai-ramai. Makan bala-bala bisa membuat suasana bahagia, seakan bisa menghilangkan masalah.

Saking sudah memasyarakatnya bala-bala di Bandung, nanti jangan heran pula kalau gorengan itu menjadi makanan awal buka puasa di Bulan Ramadan. Pun demikian saat makan sahur, banyak ibu-ibu yang sengaja membuat bala-bala biar anak-anaknya semangat bangun dini hari.

Bala-bala lebih nikmat dimakan dalam kondisi hangat. | dokpri
Bala-bala lebih nikmat dimakan dalam kondisi hangat. | dokpri
Juru masak di rumah makan dan hotel juga harus memahami, jika banyak pengunjung yang menanyakan bala-bala. Di event-event tertentu, seperti buka bersama, pemesan tempat kadang request untuk dibuatkan bala-bala kepada pengelola rumah makan atau hotel.

Tapi kenapa kuliner jenis gorengan ini sampai bernama bala-bala. Kesannya seperti sampah berserakan, karena bala (yang dalam bahasa Sunda berarti kotor). Banyak yang bercerita, bala-bala memang awalnya tidak jauh dari sampah (bala).

Konon dulu ada pedagang sayuran di Pasar Sederhana. Dia menjual kubis (kol), wortel, bawang daun, bawang merah dan bawang putih. Tidak setiap barang dagangannya habis terjual. Selalu saja ada yang tersisa. Lantas busuk dan jadi sampah.

Agar tidak mubazir dan terbuang percuma, pedagang tersebut akhirnya mengeluarkan ide kreatif. Sayuran sisa itu, tidak langsung dibuang tapi dicacag-cacag (dipotong/diiris) hingga dalam bentuk kecil. Potongan kecil dari kol, wortel, dan bawang daun, dia manfaatkan untuk campuran tepung terigu dan dijadikan gorengan. Sebagai penyedap, dia tambahkan pula bawang putih, bawang merah, dan merica.

Dari sanalah muncul isttilah, ketimbang sayuran sisa jadi bala (kotor) lebih baik dimanfaatkan untuk bahan baku campuran tepung terigu dan jadilah gorengan. Ternyata makanan itu cocok jadi cemilian masyarakat sekitar pasar dan stasiun Bandung. Kemudian dengan cepat tersebar dan untuk memudahkan penyebutan gorengan itu, masyarakat memberi nama bala-bala.

Kini bala-bala tidak bisa terpisahkan dengan masyarakat Bandung. Di setiap sudut banyak pedagang gorengan bala-bala. Warung, kantin kantor, kantin sekolah, kafe, restoran, hingga hotel menyiapkan menu bala-bala.

Maka Atot seorang penjual bala-bala. | dokpri
Maka Atot seorang penjual bala-bala. | dokpri
"Iya makanan yang banyak terjual di sini, bala-bala. Tiap hari ada saja karyawan yang ingin dibuatkan bala-bala. Yang masuk pagi, minta bala-bala, demikian juga yang masuk malam suka dibuatkan bala-bala. Untungnya kecil, tapi kalau banyak yang pesan, jadi lumayan juga," ujar Ibu Iis pengelola sebuah kantor swasta.

Hal yang sama dikatakan Mak Atot. Selama ini dia jualan macam-macam gorengan. Tapi, bala-bala yang paling banyak dicari pembeli. Makanya dia memperbanyak adonan untuk pembuatan bala-bala.

"Saya sedia goreng tempe, goreng tahu (gehu), tapi yang paling cepat habis bala-bala. Pagi-pagi sudah banyak pesan. Kadang baru diangkat dari penggorengan sudah ada yang menunggu," tutur Mak Atot.

Sementara Ibu Sri, membuat bala-bala untuk dititipkan di sejumlah warung. Menurutnya, bala-bala yang ditipkan di warung tidak pernah bersisa. Selalu habis kadang pemilik warung minta dikirim tambahan. Cuma Ibu Sri kadang tidak bisa memenuhi permintaan pemilik warung karena keterbatasan tenaga.

"Repot juga kalau sudah banyak pesanan. Belum juga dititipkan ke warung, sudah banyak pembeli datang langsung ke sini. Pembeli yang datang langsung, biasanya beli bala-bala untuk menjamu tamu. Atau kedatangan saudara. Memang praktis kalau pesan bala-bala, dan banyak yang suka," ucap Ibu Sri.(Anwar Effendi)***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun