Menyebut nama angklung di Jawa Barat, orang pasti ingat akan Saung Angklung Mang Udjo yang ada di Padasuka, Bandung. Saung Angklung Mang Udjo memang sudah kesohor, tidak heran kalau wisatawan yang datang ke Bandung pasti menyempatkan diri untuk mampir.
Tapi baru sedikit saja orang yang hafal akan Sanggar Angklung Lumbu. Walau begitu, perajin angklung di Sanggar Angklung Lumbu, Kuningan, kini mulai menarik perhatian wisatawan. Banyak wisatawan yang datang ke Kuningan, penasaran terhadap sanggar angklung tersebut, terutama ingin melihat langsung proses pembuatan alat musik tradisional itu.
Perajin angklung di Sanggar Angklung Lumbu selama ini sangat menjunjung tinggi kearifan lokal. Jadi mereka tidak sekadar memproduksi angklung terus dijual dan selesai. Masih ada adat istiadat yang dipegang mereka, hingga turun temurun. Karena faktor itulah, perajin di sana mampu menjaga kualitas angklung dan kini makin dikenal.
Yang menjadi rahasia bagusnya kualitas suara angklung di sana, ternyata bahan baku bambunya hanya ada di Desa Lumbu Kecamatan Cigugur Kabupaten Kuningan. Mereka hanya memanfaatkan pohon bambu yagn ada di desanya, tidak pernah mendatangkan bambu dari daerah lain.
Rahasia lainnya, pengambilan bahan baku bambu tidak bisa dilakukan sembarang waktu. Para perajin meyakini apa yang diamanatkan para leluhurnya terdahulu, jika melanggar pantangan menebang bambu, maka produksinya tidak akan laku di pasaran. Produksi angklung tidak dilirik pembeli karena suaranya jelek.
Pendiri Sanggar Angklung Lumbu, Pendi membenarkan kalau selama ini para perajin sangat memperhatikan waktu yang pas untuk menebang bambu. Selama setahun, perajin hanya menebang bambu di desa setempat antara Bulan Februari hingga Juni. Di luar bulan itu, tidak akan menebang, walaupun banyak pesanan yang datang.
Jadi perajin tidak mengejar sisi bisnis saja. Kalau ada wisatawan yang datang dan berminat, paling ditawarkan pada stok yang dipajang saja. Soalnya kalau pada musim bukan menebang pohon bambu, produksi sangat terbatas. Selain membuat angklung, perajin juga memproduksi suling, calung, dan arumba. Semua bahan bakunya asli bambu Desa Lumbu.
Ada beberapa jenis bambu yang tumbuh di Desa Lumbu. Untuk pembuatan angklung bagian ruang yang menghasilkan bunyi, menggunakan bambu hitam. Sedangkan bambu surat yang tumbuh di sana, dipakai untuk bagian tangkal. Semua bambu ada fungsinya masing-masing.
Selain melayani sejumlah wisatawan yang membeli angklung untuk oleh-oleh, Sanggar Angklung Lumbu sebenarnya sering mendapat order dari sejumlah sekolah dan instansi pemerintah. Kalau kepada wisatawan dijual persatuan dengan harga antara Rp 40 ribu hingga Rp 75 ribu, untuk pesanan sekolah biasanya diorder per set. Satu set angklung dijual Rp 1.5 juta dan berisikan 31 angklung.
Terkait tidak beraninya perajin menebang pohon bambu di luar Bulan Februari hingga Juni, selain memegang amanat leluhur, juga ada alasan ilmiahnya. Ternyata pada bulan-bulan lainnya, bambu yang akan ditebang dipastikan mengandung hama. Dampaknya bambu cepat rusak dan tidak akan menghasilkan suara yang bagus.
Cara yang dilakukan para perajin di Desa Lumbu, pada musim panen yang dibolehkan menebang bambu, mereka melakukan stok yang banyak. Jumlahnya bisa mencapai ratusan. Kalau pesanan angklung normal, maka stok itu bisa digunakan sampai setahun. Kecuali pesanan membeludak dan kunjungan wisatawan meningkat, maka stok yang ada sudah habis sebelum setahun.
Para perajin aklung Desa Lumbu, sangat berterimakasih karena banyak wisatawan yang menceritakan keunggulan angklung produksi mereka. Cerita dari mulut ke mulut yang dilakukan wisatawan membuat angklung Desa Lumbu kini makin dikenal dimana-mana.(Anwar Effendi)***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H