Mohon tunggu...
Anwar Effendi
Anwar Effendi Mohon Tunggu... Jurnalis - Mencari ujung langit

Sepi bukan berarti mati

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Berpelukan Sepanjang Malam

15 Maret 2020   19:17 Diperbarui: 16 Maret 2020   10:15 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan deras. Berduaan di tenda sempit. Tidur di ketinggian 2.665 meter di atas permukaan laut (MDPL). Diselimuti cuaca dingin dengan suhu 12 derajat celcius. Kebayang nggak?

Tidak banyak yang bisa dilakukan. Kecuali berpelukan sepanjang malam. Saling menghangatkan. Sebelumnya, melengkapi diri dengan, kaos kaki tebal, sarung tangan, kupluk, jaket dan tentunya sleeping bag.

Itulah pengalaman mendaki Gunung Papandayan Garut. Cuaca tiba-tiba bisa berubah. Perjalanan awal yang cerah, jangan kaget jika mendadak turun hujan.

Siapkan saja jaket anti basah. Barang tersebut bisa jadi merupakan peralatan yang wajib dibawa. Memang banyak tempat (pos) untuk berteduh. Tapi tidak ada jaminan kita aman dari guyuran hujan.

Semula kami (saya dan Istri) tidak yakin, bisa mencapai base camp Ghober Hoet atau Pondok Saladah tempat pendaki menggelar tenda untuk bermalam. Apalagi ini pengalaman pertama istri mendaki gunung.

Area Hutan Mati-dokpri
Area Hutan Mati-dokpri
Makanya dari awal, targetnya tidak muluk-muluk. Tidak perlu bernafsu, harus sekian jam sampai di titik tertinggi pendakian.

Perjalanan menuju puncak untuk bermalam dilakukan sesantai-santainya. Kalau capek ya istirahat, sudah punya tenaga ya kembali melanjutkan perjalanan.

Tidak perlu malu-malu untuk berhenti setiap 10 menit sekali saat melangkah. Itu demi keamanan dan mengukur kemampuan diri sendiri.

Cara yang kami lakukan mungkin bisa ditiru bagi pendaki pemula. Jangan menggedekan nafsu untuk cepat-cepat sampai di puncak. Bila ada pendaki lain yang menyalip perjalanan kita, tidak masalah, biarakan saja.

Jalur pendakian sangat menyenangkan-dokpri
Jalur pendakian sangat menyenangkan-dokpri

Oh ya, pendakian di Gunung Papandayan tidak seseram yang dibayangkan. Jauhkan pikiran akan menemui jalur-jalur yang rumit. Semua jalur yang dilintasi sangat menyenangkan.

Bahkan, bagi mereka yang pemalas pun, banyak pilihan. Contoh, kalau mau cepat sampai di satu titik tujuan, bisa menggunakan motor sewaan. Banyak warga setempat yang menawarkan jasa ojek.

Harga yang ditawarkan pun relatif murah. Dari titik awal pendakian (pos camp david) ke pos kedua atau tukang ojek menyebut wilayah kawah, tarif yang dikenakan Rp 10.000,00. Tarif akan bertambah mahal, saat lokasi yang dituju semakin jauh.

Pilihan lain bagi pendaki yang malas, bisa memanfaatkan jasa angkut barang. Untuk mengangkut barang bawaan pendaki, warga setempat tetap menggunakan kendaraan motor.

Tidak sedikit pendaki yang menitipkan barang bawaan ke jasa tukang ojek. Untuk masalah ini, tukang untuk menawarkan tarif Rp 150.000,00. Barang akan dikirim sesuai permintaan, sementara pendaki bisa melakukan perjalanan tanpa membawa beban.

Pokoknya, para pendaki ke Gunung Papandayan, bisa sangat bermanja ria. semua kebutuhan para pendaki sudah tersedia, tinggal sediakan saja dana untuk penyewaaan.

Pendaki melintasi area Hutan Mati-dokpri
Pendaki melintasi area Hutan Mati-dokpri

Mulai dari peralatan berat semacam tenda, atau barang yang remeh temeh seperti senter, semua ada penyewaannya. Tinggal pilih dan ada daftar harganya yang relatif terjangkau.

Saya dan istri memutuskan untuk menggendong barang bawaan sendiri. Tidak terlalu berat. Masing-masing membawa satu ransel. Berisikan baju ganti dan perbekalan makanan minuman. Paling satu yang bikin ribet, bawa tenda kecil yang bisa untuk tidur berdua.

Selama perjalanan, rute yang dilintasi sebagian besar alam terbuka. Medannya merupakan batuan. Dari pos kedua sampai pos kelima, tercium bau belerang yang menyengat.

Di pos lima, para pendaki bisa istirahat lebih leluasa. Mereka yang ingin menjalankan ibadah shalat, tersedia mushola mini. Di tempat ini pula pendaki bisa mendapati pedagang yang menempati sejumlah warung.

Jadi, sebenarnya perbekalan yang dibawa pendaki tidak perlu banyak. Kebutuhan untuk mengisi perut, ternyata dengan mudah diperoleh selama perjalanan.

Pendaki bisa memilih jalur berupa tangga berundak-dokpri
Pendaki bisa memilih jalur berupa tangga berundak-dokpri

Dari pos inilah, para pendaki dihadapkan dua pilihan. Mau meneruskan perjalanan lewat jalur tangga berundak, atau memilih jalur tradisional.

Jika pilihan pertama yang akan dilalui, yakni Hutan Mati, Tanaman Edelwiss dan Pondok Saladah. Jika melalui jalur tradisional, pendaki akan melewati sungai, hutan lindung, diarahkan ke Bukit "U", tiba di base camp Ghober Hoet dan bisa melanjutkan ke Pondok Saladah.

Saya dan istri memilih jalur tradisional yang sedikit menantang dengan asumsi perjalanan pulang lewat tangga berundak. Dari Pos 5 terlihat celah bukit yang membentuk huruf U. Perjalanan ke sana sedikit menguras tenaga.

Sebelum sampai ke base camp Ghober Hoet, cuaca mulai kurang bersahabat. Kawasan Gunung Papandayan mulai diselimuti kabut. Air hujan sesekali turun. Tapi kami tetap tidak ingin buru-buru, apalagi medan yang dihadapi agak menyulitkan langkah.

Base camp Ghober Hoet-dokpri
Base camp Ghober Hoet-dokpri

Bersyukurlah, setelah mencapai base camp Ghober Hoet, hujan turun dengan deras. Di sana banyak tempat berteduh. Selain ada pos penjagaan, juga ada mushola dan sejumlah warung.

Setelah hujan agak reda, kami buru-buru pasang tenda. Kami memilih bermalam di Ghober Hoet, dengan pertimbangan  pagi bisa mendapatkan sun rise. Dari sejumlah pengalaman pendaki, lokasi base camp Ghober Hoet sangat indah kali matahari terbit.

Kami malam itu tidak buru-buru tidur dan memilih nongkrong di warung untuk mengisi perut. Ibu Siti pemilik warung sangat membantu keperluan kami yang mulai kelaparan. Di warung itu pula, kami menghangatkan badan dengan membakar sejumlah kayu.

Para pendaki mendirikan tenda-dokpri
Para pendaki mendirikan tenda-dokpri

Saat malam mulai larut dan kami diserang rasa kantuk, tidak ada pilihan lain untuk tidur di tenda. Karena ukurannya yang kecil dan kapasitas untuk dua orang, kami tidur berpelukan sepanjang malam. Nyenyak sekali, karena di luaran hujan cukup lebat.

Pagi harinya setelah melaksanakan shalat Shubuh, kami langsung berburu matahari terbit. Betul saja pemandangan yang disuguhkan sangat indah. Selain kami berdua, banyak pendaki lainnya memanfaatkan momen itu untuk foto-foto.

Para pendaki menunggu momen sun rise-dokpri
Para pendaki menunggu momen sun rise-dokpri

Ketika matahari semakin meninggi, kami langsung berkemas membongkar tenda. Perjalanan pulang kami tempuh dengan melewati Pondok Saladah, Hutan Edelwis, Hutan Mati dan menuruni tangga berundak.

Benar-benar pengalaman yang tak terlupakan.(Anwar Effendi)***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun