PEREMPUAN ditabalkan sebagai makhluk feminin dengan sifat lemah lembut bin gemulai. Kaum feminisme liberal berpikir bahwa selama ini perempuan menjadi kelompok tertindas sehingga muncul gerakan untuk menempatkan perempuan sebagai individu yang memiliki “kekuatan” dan “kekuasaan” seperti halnya lelaki. Kebebasan dan kekuasaan tersebut diukur dari kadar rasionalitas dan pemisahan ruang privat dan publik.
Disadari atau tidak, pementasan teater Ling-Lung oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Nol Universitas Syiah Kuala di gedung tertutup Taman Budaya Aceh, 27-28 Maret 2015, kemarin, adalah pertunjukan untuk mempertegas gerakan feminisme liberal. Pertunjukan yang digelar selama lebih kurang 90 menit itu mengusung kisah seorang perempuan bernama Hayati, pemulung yang ketahuan mencuri televisi. Secara tafsir bebas, berarti perempuan juga bisa mencuri, perempuan juga bisa menjadi pemulung, bahkan perempuan juga bisa melawan petugas keamanan yang notabene adalah laki-laki.
Sebagai tokoh yang jadi fokus cerita, Hayati binti Mudakir ditamsilkan sebagai satu di antara sekian perempuan di dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ia bersama para tetangganya tinggal di sebuah pemukiman kumuh. Setting panggung menunjukkan tempat mereka tinggal adalah komplek pemulung. Hal ini diperkuat dengan dialog para tokoh. “Saya ini hanya seorang pemulung. Keluarga kami sudah tujuh turunan hidup sebagai pemulung. Saya ini pemulung sejati…” petikan dialog Hayati saat diinterogasi petugas polisi.
Hayati, pemulung yang ketahuan mencuri televisi Madam Sulas mencoba membela diri. Pembelaan rasional dari seorang perempuan sekaligus rakyat kecil, disisipi beberapa dialog satir yang menyindir realita sosial masyarakat Aceh atau Indonesia umumnya. Kata Hayati, ia mencuri karena tidak ada uang, sedangkan ia ingin sekali punya televisi. Ia mencuri televisi bukan hanya untuk kepentingan pribadi, tapi juga untuk para tetangganya agar bisa menonton bareng semisal nonton bola, nonton berita, bahkan nonton sinetron.
Mencuri dan peduli sesama yang diperankan oleh Hayati merupakan citra perjuangan kaum feminisme. Sederhananya, perempuan juga bisa mencuri televisi, perempuan juga punya rasa simpati. Sisi lain perjuangan feminisme pada sosok Hayati tampak dalam kelihaian dan kepintarannya menyusun kalimat saat diinterogasi. Tentu saja hal itu tidak lazim didapati pada pemulung secara umum. Namun, itulah Hayati. Sosok ini hendak mengatakan bahwa perempuan berhak memiliki pengetahuan umum, politik, bahkan untuk membalikkan logika berpikir lelaki (polisi), meskipun secara sosial hidup di bawah garis kemiskinan. Walhasil, polisi “ling-lung” dibuat Hayati.
Realis dan Realita
Sebagai cerita yang mengangkat realita sosial, Ling-lung menyatir realisme sekeliling kita. Kehidupan ekonomi, politik, sosial dalam dunia nyata berhasil diangkat ke atas panggung menjadi kenyataan fiksional. Tentu saja diperlukan kepekaan teater, di samping kreativitas penalaran terhadap naskah, dalam mempertunjukan cerita realis murni di atas pangung. Teater Nol mengambil tantangan itu dengan sedikit memasukkan pengertian teater saat membuka cerita. Hal itu dilakukan oleh sejumlah tokoh dalam adegan latihan teater.
Harus diakui, Teater Nol lumayan berhasil memindakuasai realisme sosial ke atas realisme panggung. Semua properti, setting panggung, akting, dan dialog ditata realis, bukan sekadar pajangan. Koran tua, kain lusuh, botol bekas, semua dihadirkan apa adanya.
Secara rasional, karakter Hayati merupakan salah satu sosok perempuan masa kini di tengah kecamuk kemiskinan, kekacauan politik, dan perlawanan. Sikap yang sama ditunjukkan oleh para pemain lain yang sebagian besar perempuan. Solidaritas membela teman senasib sepenanggungan tampak jelas dalam cerita Ling-Lung.
Satir dan menyindir realita sosial semakin kuat saat alur menanjak klimaks, yakni ketika diketahui surat pengaduan di tangan polisi ternyata salah tik. Tanggal pengaduan lebih cepat daripada kejadian pencurian. Di sini hendak dipertunjukan bahwa para pemulung pun harus mengerti hukum, mesti paham aturan. Jangan lekas menyerah begitu dituduh bersalah oleh pihak keamanan.
Singkatnya, Ling-Lung oleh Teater Nol Unsyiah berhasil mengangkat realisme sosial dengan mengusung feminisme rasional, yakni perlawanan kaum perempuan yang dilandasi alasan-alasan menurut logika dan rasional. Semua dikemas dalam adegan yang sesekali kocak serta mengundang gelak tawa. Meski demikian, beberapa akting para tokoh masih tampak direkayasa. Untuk beberapa dialog masih ada yang kelihatan menghapal sehingga sempat terjadi perenggangan alur dan tumpang-tindih bicara. Namun, itu semua tertutupi dengan impropisasi lawan main lainnya.
Terlepas dari beberapa “kebocoran” kecil tersebut, pementasan tunggal oleh UKM Teater Nol Unisyiah ini pantas dijadikan sebagai catatan kebangkitan teater kampus di Aceh. Setidaknya, dengan bandrol tiket mencapai Rp15.000,- pementasan ini tetap dihadiri lebih dari 500 orang dalam semalam. Terbukti kursi yang tersedia di barisan penonton habis terisi. Oleh sebab itu, sepantasnya saya ucapkan: selamat Teater Nol, sebagai pembangkit semangat dunia teater kampus dari rumah jantong hate rakyat Aceh!
Herman RN, cerpenis dan pegiat kebudayaan di Banda Aceh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H