Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Salam Tempel Lebaran, Sebuah Keharusan?

9 Agustus 2012   19:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:01 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BANYAK orang selalu mempersiapkan pecahan dua ribuan, lima ribuan, hingga sepuluh ribuan rupiah menjelang lebaran tiba. Mereka sengaja mendatangi bank dan menukar mata uang pecahan kecil. “Untuk salam tempel,” katanya.



Di Aceh, kebiasaan ini juga mulai tampak beberapa tahun terakhir. Istilah “salam tempel” pun semakin akrab di telinga, di samping adanya THR atau Tunjangan Hari Raya.

Salam tempel, dalam kebiasaannya diperuntukkan buat kanak-kanak. Selesai salat ied, anak-anak akan mendatangi paman, bibi, makcik, pakcik, nenek, kakek, abang, kakak, dan lain-lain. Mereka akan menyalami semua orang yang lebih tua dari mereka. Saat itulah mereka akan mendapatkan selembar atau beberapa lembar uang kecil. Selepasnya, anak-anak itu akan lari bersorakan, riang gembira.

Menariknya, salam tempel bukan hanya diberikan kepada anak-anak yang ada hubungan pertalian keluarga. Setiap ada anak tetangga yang datang pun, tuan rumah akan memberikan uang kecil kepada anak tersebut. Kebiadaan ini sudah hidup sejak lama. Namun, di Aceh kala itu belum dikenal istilah “salam tempel”.

Tidak diketahui secara pasti kapan ungkapan “salam tempel” ini mulai menyebar di Tanah Serambi Mekkah. Beberapa tahun terakhir, istilah itu semakin kerap terdengar. Ada pula kesan, seolah belum sah salam maafan bagi anak-anak jika tidak ada “tempel” yang berupa uang.

Bagi anak-anak, nomimal bukanlah ukuran mesti. Berapa pun diberikan, mereka tetap menerimanya dengan senyum dan senang. Yang membuat mereka semakin senang adalah tatkala menerima uang kertas yang baru dikeluarkan oleh bank. Orang tua sengaja menukar uang dengan nominal kecil di bank, tetapi kertasnya yang masih keras atau baru.

Belakangan, salam tempel juga mulai merambah usia remaja. Seperti anak-anak, sejumlah remaja juga mulai gemar bertanya “salam tempelnya?” saat salaman dengan sanak-saudarnya yang lebih tua. karena salam tempat sudah mulai diminati pula oleh remaja, jumlah nominal mata uang kemudian mulai jadi ukuran. Kerap muncul keluhan tidak puas dari beberapa remaja jika salam tempel mereka hanya dihargai lima ribuan.

Tidak ada yang salah dengan kebiasaan yang ditradisikan ini. Namun, patut dipikirkan efeknya kemudian bagi anak-anak. Manakala sejak kecil mereka sudah diajari untuk menerima imbalan terhadap segala sesuatu yang mereka kerjakan, meskipun sekadar salaman, dapat dibayagkan bagaimana karakter mereka saat tumbuh remaja dan dewasa.

Mirisnya lagi, untuk ziarah kubur pun sudah mulai dilestarikan salam tempel. Tidak heran, jika banyak anak-anak yang suka ke makam saat ada tradisi ziarah atau khanduri kubur. Mereka sudah menantikan masa-masa usainya proses doa, karena mereka sadar akan mendapatkan salam tempel .

Anak-anak yang pola pikirnya masih labil tetap akan mengejar salam tempel, ke mana pun mereka harus pergi. Tidak terkecuali ke acara ziarah kubur. Apalagi, jika di antara anak-anak yang sengaja membuat kesepakatan mengumpulkan salam tempel sampai mencapai jumlah tertentu. Sebut saja, sampai Rp100 ribu.

Sudah tentu, rata rumah tetangga akan mereka datangi. Rata orang yang mereka rasa kenal akan disalami. Ujung-ujungnya, ada harapan akan memperoleh salam tempel. Jika tidak ada salam tempel, kekecewaan akan mewarnai hati mereka. Di sinilah kekeliruan lain membiarkan “salam tempel” mentradisi dalam kehidupan anak-anak. | herman rn

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun