Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Butuh Format Peradilan Adat

4 April 2011   07:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:08 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Hukôm léllah, sumpah bèk/ Hukôm adé, paké bèk/ Hukôm adat, ikat bèk/ Hukôm meujron meupoh bèk" (hadih maja).

MENCERMATI UUPA yang memberikan wewenang khusus bagi Aceh, kiranya pembahasan peradilan khusus bagi Aceh, umpamanya peradilan adat, akan menarik. Hal ini semakin penting manakala mengamati banyaknya kasus di Aceh yang menjadi dinamika dan polemik, baik yang selesai pada tingkat mukim atau gampông maupun yang sampai ke tingkat polisi dan mahkamah dengan alasan tidak selesai pada tingkat gampông.

Penyelesaian masalah di tingkat mukim dan gampông bisa pula disebut dengan penyelesaian secara adat sehingga istilah "peradilan adat" atau "pengadilan adat" menjadi akrab dalam kehidupan masyarakat. Patut diperhatian pula keberadaan lembaga adat di Aceh, di antaranya menyelenggarakan kehidupan adat; membentuk dan mengukuhkan lembaga adat (Qanun 3 Tahun 2004, pasal 3) sehingga peradilan adat-lagi-lagi-dirasakan penting.

Institusi Polisi, sebagai 'tangan hukum' di Indonesia juga memberikan keluasan bagi masyarakat untuk menyelenggarakan kehidupan adat. Apalagi, hal ini diperkuat dengan Qanun Aceh No.9 Tahun 2008. Pada pasal 13 ayat (1) termaktub beberapa persoalan dalam kehidupan masyarakat yang tidak serta merta jadi tugas polisi, melainkan dianggap sebagai masalah adat yang dapat diselesaikan secara hukum adat suatu komunitas. Permasalah tersebut antara lain perselisihan dalam rumah tangga, sengketa antara keluarga berkaitan dengan warisan (faraiz), perselisihan antarwarga, khalwat/meusum, perselisihan hak milik, pencurian ringan, dan sejenisnya.

Hal ini seperti diungkapkan oleh Kabid Hukum Polda Aceh, Kombes. Pol. Budiyono, S.H., M.H., dalam lokalatih "Peradilan Adat" yang diselenggarakan oleh Lembaga Prodeelat, 26 Februari 2011. Pada kegiatan di Hotel Lading tersebut sempat muncul berbagai polemik penyelesaikan sengketa di tingkat mukim dan gampông, yang diakui oleh segenap imum mukim dari Gandapura dan Abdya. Butuhnya peradilan adat juga karena ketakutan ekeskusi massa seperti paparan Imum Mukim Gandapura Timur dalam opininya di Harian Serambi (7 Maret 2011).

Butuh Format

Sejauh ini, banyak yang mengakui masih sulit menemukan format peradilan adat yang ideal bagi Aceh. Ada yang mengatakan sebuah masalah diakui sudah selesai pada tingkat gampông, tetapi masih tetap juga dilanjutkan ke tingkat lebih atas bahkan dilaporan kepada kepolisian. Saat-saat seperti ini keanehan kerap terjadi. Apa yang sudah diputuskan pada tingkat gampông kemungkinan bertolak belakang dengan keputusan hukum positif. Di sisi lain, melaporkan masalah yang sudah diselesaikan di tingkat gampông kepada pihak kepolisian sama saja menafikan keberadaan peradilan adat di tingkat gampông tersebut.

Jika kita mau membuka kembali Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), jelas bahwa keputusan kehakiman juga mesti berisi alasan dengan menyebut aturan UU dan aturan hukum adat (pasal 146 ayat 1). Saat-saat negara ini baru merdeka saja persoalan hukum adat atau penyelesaian masalah secara adat sudah dijunjung tinggi. Mengapa pula harus dinafikan untuk saat ini? Hal yang sama boleh dilihat pada pasal 104 ayat (1) Undang Undang Dasar Sementara (UUDS).

Runtuhnya keberadaan lembaga adat di Aceh yang berimbas hilangnya peradilan adat telah dimulai sejak 1979, dengan UU No. 5 yang dikeluarkan oleh rezim Soeharto. Oleh karena itu, sudah saatnya kini mencari kembali format peradilan adat sebagai penguatan pemerintahan adat di Aceh. Sistem pemerintahan yang dikembalikan kepada masyarakat adalah pemerintahan adat. Penyelesaian masalah secara adat tentunya memihak masayarakat. Soal sanksi dan hukum, Aceh juga menjunjung tinggi hal ini, seperti hadih maja "Meulangga hukôm raya akibat, meulangga adat malee bak donya."

Aspek Yuridis

Secara umum sudah ditegaskan bahwa acuan manajemen tata negara dan tata pemerintahan Aceh termaktub dalam adat bak Poteu Meureuhôm, hukôm bak Syiah Kuala, qanun bak Putro Phang, reusam bak Lakseumana. Sejarah telah membuktikan pula bahwa tata pemerintahan Aceh yang tercantum dalam Qanun Al Asyi menjadi acuan negara-negara Eropa seperti Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun