Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Celoteh Institut Kesenian Aceh

20 Februari 2011   14:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:26 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SIAPA yang tidak berbangga dengan pendidikan di daerahnya? Saya kira pertanyaan pembuka warkah ini retoris sekali. Apalagi, pendidikan yang dapat menjamin masa depan anak-anak daerah, mana ada yang tidak bangga, sekalipun ia bukan pejabat pemerintahan.

Demikianlah saya, turut berbangga dan berbesar hati ketika mendengar wacana akan dibangun sebuah perguruan tinggi seni di Aceh. Perguruan tinggi bernama Institut Kesenian Aceh (IKA) ini seakan angin segar bagi rakyat Aceh. Jika mimpi ini kesampaian, satu-satunya perguruan tinggi kejuruan seni yang pertama di Aceh. Selama ini, jurusan kesenian hanya numpang di FKIP.

Kebanggaan saya semakin tinggi ketika diundang terlibat dalam seminar sehari soal IKA yang dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh, 29 Januari 2011, kemarin. Kendati melihat peserta yang hadir di Hotel Madinah itu hanya segelintir orang sehingga membuka asumsi bagi saya agaknya seminar itu ditutup rapat, saya coba tetap berpikir positif. Namun, selaku penikmat seni dan sempat menempuh pendidikan pada Fakultas Keguruan hingga Magister Pendidikan, rasanya miris menyaksikan IKA yang terkesan jadi lahan proyek.

Seperti diketahui, wacana IKA sudah bergulir sejak beberapa tahun lalu. Kongres Kesenian Aceh telah merekomendasikan bahwa Aceh butuh perguruan tinggi seni. Perguruan tinggi tersebut kemudian dipilih dalam bentuk institut sehingga namanya menjadi IKA. Pemerintah Aceh selanjutnya memberikan mandat kepada Disbudpar menangani masalah ini. Tim panitia pembentukan IKA pun dibentuk dengan struktur tertinggi berada di tangan gubernur.

Berawal dari sini, hiruk pikuk para elit dimulai. SK kepanitiaan belum turun, sudah ada yang mengaku melakukan studi banding ke beberapa perguruan tinggi seni di Jawa dan Sumatera Barat. Anehnya, orang tersebut mendapatkan biaya ganti perjalanan yang dianggap sebagai bagian dari operasional.

Entah karena itu, akhirnya soal IKA ini sempat vakum hingga setahun. Padahal, dana untuk ini sudah dianggarkan hingga Rp4 miliar. Ironis, anggaran sebesar itu bulat. Padahal, ada beberapa tahap yang harus dilakukan untuk mendirikan sebuah perguruan tinggi sehingga dananya mesti ditegaskan berada dan kemana saja akan mengalir. Tahapan-tahapan itu sederhananya dimulai dari tahap perencanaan yang di dalamnya termasuk uji kelayakan semisal kelayakan lokasi dan kebutuhan; tahap proses yang di dalamnya tercakup soal kebutuhan pendirian bangunan; dan tahap persiapan yang dalamnya bicara soal kurikulum, pengelolaan, tenaga pengajar, serta calon mahasiswa.

Jika anggaran Rp4M itu tidak segera dipilah sesuai kebutuhan, peluang mark-up sangat terbuka luas sekaligus berpotensi gagalnya IKA. Ini pun bilamana benar bahwa dananya Rp4M, karena sampai saat ini tidak ada transparansi, baik dari Pemerintah Aceh maupun Disbudpar mengenai dana IKA. Beberapa sumber menyebutkan dana untuk IKA mencapai Rp5M. Simpang siur soal dana ini harusnya diluruskan oleh Pemerintah Aceh.

Saya kira kepanitiaan yang dibentuk ketika itu adalah orang-orang yang siap dan paham soal pendirian IKA, meskipun sudah menjadi rahasia umum 80 persen dari kepanitiaan tersebut sama sekali tidak berlatar belakang pendidikan seni maupun seniman profesional. Ternyata, begitu IKA ini ditenderkan kepada pihak luar, yaitu mereka dari Institut Teknologi Bandung (ITB), semua persoalan seolah menjadi tanggung jawab yang dari ITB.

Saya tidak menyangkal kemampuan ITB dalam mendirikan sebuah perguruan tinggi seni, karena mereka memiliki Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) sekaligus ahli teknologi bagunan. Akan tetapi, keinginan teman-teman seniman Aceh agar melibatkan yang memang benar-benar fokus terhadap kesenian semisal Institut Kesenian Jakarta (IKJ) kiranya perlu disahuti. Kecuali Pemerintah Aceh punya alibi kuat hanya memilih FSRD ITB.

Namun, disayangkan sampai saat ini belum tercerahkan mengenai pengelolaan, pimpinan, tenaga pengajar, mahasiswa, dan kurikulum untuk IKA. Seminar pemaparan uji kelayakan IKA oleh FSRD dan Disbudpar tempo hari sama sekali tidak membahas tentang ini. Seminar yang seharusnya dilaksanakan sehari itu, tetapi dijadikan 3 jam, tak lebih sekadar pemaksaan pelegalan. Yang didudukkan di depan hanya tim dari ITB, sedangkan kepanitiaan yang sudah dibentuk oleh Pemerintah Aceh tidak ada. Pihak Disbudbar sebagai penanggung jawab juga tidak berkenan berada di depan. Sekadar pertanyaan, untuk apa juga ada panitia IKA dari Pemerintah Aceh jika semuanya diserah-bulatkan kepada ITB? Bukankah ada kesan lempar batu belakang hari?

Soal Lokasi

Hasil pemaparan pihak FSRD ITB menyebutkan bahwa lokasi IKA yang direncanakan belum menjami sepenuhnya. Hal ini berkaitan dengan sumber listrik, ditambah lagi Gunung Burni Telong yang berada di belakang lokasi pendirian IKA, sedang aktif. Namun, pemaparan seminar kemarin mengesankan tempat tidak bisa dipikir-ulang kembali. Harus tetap disana!

Lucunya lagi, seminar kemarin tidak lebih dari pemaparan uji kelayakan yang seharusnya hal itu jadi pekerjaan kepanitiaan dari Pemerintah Aceh. Jika kepanitiaan dari pemerintah sudah menyerahkan keseluruhannya kepada pihak ITB, bukankah panitia pemerintah lebih baik dibubarkan saja. Hal ini menyangkut dana. Apalagi, kebutuhan anggaran pembangunan fisik IKA, menurut pihak ITB mencapai Rp82M lebih: tahap pertama Rp40,4M, tahap kedua Rp42,4M.

Mengamati fenomena ini, saran saya tidak perlu berceloteh hingga cet langet untuk IKA, jika semata jadi lahan proyek. Pendidikan tidak boleh dijadikan proyek. Jika dipaksa, tunggulah hasilnya yang tidak lebih dari sekadar mimpi.[Serambi Indonesia, 20 Februari 2011]

Penulis, alumni Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (MPBSI) Unsyiah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun