oleh Herman RN
GAYO adalah satu suku yang terdapat di Provinsi Aceh. Mulanya, suku ini dikenal dengan sebutan suku perbukitan, karena letak geografis masyarakat penutur bahasa Gayo berada di daerah dataran tinggi Ace Tengah dan Blang Kejeren.
Dalam situs acehbloger.com disebutkan bahwakata Gayo berasal dari kata pegayon, yaitu tempat mata air yang jernih, tempat ikan dan kepiting bermain. Suku yang mendiami wilayah ini sudah ada dan berkembang sejak pemerintahan Raja Linge I (sekitar abad X Masehi).
Dari sumber lisan ke lisan, ada pula yang menyebutkan kata “Gayo” dilabelkan oleh orang Aceh. Mulanya kata itu diucapkan kayoe, yang artinya (takut/sudah takut/ketakutan). Oleh karena konsonan [k] acap kali menjadi konsonan [g] dalam bahasa Aceh, semisal “kuda” menjadi ‘guda’, “kapal” menjadi ‘gapai’, lambat laun kata kayoe menjadi Gayo.
Susah memang menemukan data akurat tentang hal itu, selama tidak ada bukti tertulis atau dokumentasi yang diakui keabsahannya. Apalagi di zaman sekarang, banyak fakta sejarah yang dikarang-karang atau ‘dijungkirbalikkan’.Namun, mencoba memaparkan secuil sejarah adalah lebih baik daripada menyembunyikannya.
Seorang penyair dari dataran tinggi Gayo, L.K Ara, pada sebuah artikelnya menyebutkan bahwa suku Gayo datang dari suku Melayu Tua, yang masuk melalui pulau Sumatera. Pertama-tama suku ini tiba dan menetap di pantai timur Aceh. Pusat kemukimannya antara muara aliran sungai Jambo Aye, sungai Perlak, dan sungai Tamiang.
Masyarakat di sini kemudian menyebar mengikuti aliran sungai hingga sampai ke Kemukiman Serbajadi, Kemukiman Lingga, dan Gayo Lues. Hingga saat ini, suku Gayo mendiami wilayah Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Kutacane, dan sebagian di Lokop, Aceh Timur.
Menurut Russel Jones dan Hill, A.H, suku Gayo adalah penduduk asli negeri Pasai yang lari ke hulu sungai Peusangan karena tidak mau masuk agama Islam (Russel Jones, 1999; Hill, A.H 1960). Seperti dipaparkan M. Adli Abdullah pada artikelnya di Serambi (21 Februari 2010), kisah muasal bangsa Gayo bermula saat Syeikh Ismail dari Mekkah datang ke Samudra Pasai. Tujuan kedatangan Syeikh tersebut untuk mengislamkan Meurah Silu yang kemudian bergelar Malikussaleh. Kemudian Syeikh Ismail meminta Meurah Silu mengumpulkan semua hulubalang dan rakyat Samudra Pasai untuk memeluk agama Islam.
Selain Meurah Silu, yang memeluk Islam saat itu juga adalah Tun Seri Kaya yang bergelar Sayid Ali Ghiyatuddin dan Tun Baba Kaya bergelar Syeikh Semayamuddin. Sedangkan sebagian penduduk yang tidak mau masuk Islam mengungsi ke pedalaman hulu Peusangan, nama lain dari Negeri Gayo. Ini adalah catatan sejarah yang paling klasik, walaupun mengenai kesahihan cerita ini perlu kajian komprehensif (Abdullah, Serambi: 2010).
Ada pula beberapa catatan yang mengatakan bahwa sejarah Gayo mulanya ditandai oleh sejarah lisan yang tersimpan dalam dongeng. Hal ini dapat dilihat pada cerita rakyat semisal “Genali”. Pada cerita rakyat itu disebutkan bahwa Genali merupakan manusia Gayo yang pertama. Dikatakan bahwa Genali terdampar dari negeri Rum.
Sebelum masuk Islam ke Nusantara, penduduk Gayo masih animisme. Islam membuat perubahan sosial dalam amsyarakat Gayo, seperti pencampuran kepercayaan animisme dengan kepercayaan dalam Islam.
Kemajemukan
Sebagaimana suku lain, sejarah perang dan perjalan waktu telah membuat perubahan drastis jumlah penduduk Gayo. Masa Belanda, misalnya, jumlah penduduk Gayo per tahun 1905 sekitar 50.000 jiwa. Tahun 1930 meningkat menjadi 50.076 jiwa. Demikian halnya masa penjajahan Jepang, tahun 1942, penduduk Gayo diperkiarakan meningkat menjadi 72.500 jiwa, yang terdiri atas 29.000 jiwa penduduk sekitar Gayo Lut dan 23.000 jiwa penduduk Gayo Lues, serta 20.500 jiwa wilayah Alas (A.J. Piekar, 1949).
Baik Gayo Lues, Gayo Lut, maupun Gayo Alas, semuanya menggunakan bahasa Gayo sebagai bahasa tutur sehari-hari. Hanya saja, lumrahnya bahasa-bahasa di dunia, baha Gayo pun mengalami variasi. Sejauh ini ditemukan dua dialek bahasa Gayo, dialek Gayo Lut dan dialek Gayo Lues. Dialek-dialek ini pada kenyataannya juga melahirkan beberapa subdialek, misalnya subdialek bukit, subdialek deret, dan sebagainya.
Selain itu, di daerah Blangkejeren, sejumlah masyarakat Gayo menggunakan bahasa Alas sebagai bahasa sehari-hari. Dari sisi sejarah latar belakang agama, masyarakat Gayo ini juga sama-sama berlatar belakang Islam. Berbeda dialek dan hidup dalam berbagai suku-ras tidak membuat suku Gayo terpecah belah. Bahkan, pascatsunami etnis ini semakin menunjukkan kekerabatan satu sama lain. Hadirnya nama “poros loser”, even Gayo Art Summit, dan sejumlah kegiatan kesenian atas nama masyarakat Gayo, dapat dikatakan sebagai ajang pemersatu etnis ini. Hal tersebut menegaskan kepada publik bahwa persatuan dapat dilakukan melalui budaya, bukan perang senjata.
Barangkali dapat kita tanyakan sejumlah etnis lain di Aceh seperti Kluet, Aneuk Jamee, Melayu, dan lainnya yang selama terkesan ternegasi. Apa yang dilakukan oleh etnis Gayo dalam menyatukan masyarakatnya patut diapresiasi dan dicontoh oleh etnis lain. Ada banyak kebudayaan (kesenian) daerah di Aceh yang seharusnya jadi kebanggaan Aceh atas nama etnis tersebut. Nandong Simeulue sebagai contoh. Nandong asli dari Simeulue. Namun, jika tidak dilestariskan, nandong bisa saja hilang suatu saat. Padahal, dengan budaya suatu bangsa bernilai di mata bangsa lain. Persatuan bangsa dapat diwujudkan dengan budaya, bukan dengan senjata. Semoga ada even besar dari etnis lain di Aceh ke depan. Salam damai!
Herman RN, alumni Gemasastrin dan peminat masalah budaya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H