Sebelum malaikat benar-benar membawanya, kakek kembali berbisik, “Jangan berhenti sekolah. Lanjutkan sampai ke fakultas. Ambillah satu petak sawah yang di belakang rumah. Jual untuk biaya sekolahmu.”
Kali ini kupikir bukan nasihat, tapi amanat. Sedang aku mengingat-ingat antara kejelasan nasihat atau amanat, mataku kian rasa berat. Terkatup sesaat, lalu aku terlelap.
Apa boleh buat, selepas azan Asar, aku terbangun oleh suara tangis dan jerit yang menyengat. Di sudut barat rumah kami, wajah kakek tak lagi meringis. Kini sekujur tubuhnya sudah ditutupi kain panjang berlapis. Di sekelilingnya, orang-orang menangis. Orang-orang meringis.
Belasan tahun lalu itu bukanlah sekarang. Belasan tahun lalu itu adalah kenangan, sekarang adalah harapan, sedangkan di hadapan adalah impian. Harap berharap pada segala sempat dan ucap, kini telah kudapat dua buah kitab. Keduanya bertuliskan namaku pada halaman depan. Satu kitab tipis yang kudapat tiga tahun lalu tatkala menamatkan strata satu. Satu kitab lagi selesai baru saja. Kedua kitab bersampul biru dengan pita kuning di tengahnya itu adalah persembahanku kepada kakek, si tua yang terus mengirimkan doa padaku, yang kian memberiku harapan, yang nian memberiku impian.
Ah, tiba-tiba saja aku jadi ingat kakek marah pada paman, karena paman mengajakku ke sawah. Kakiku yang berdarah karena gigitan lintah, paman yang kena sumpah serapah. Masih melekat erat di benakku, ungkapan kakek pada paman yang menyebutkan kalau nasibku tak boleh henti di gagang cangkul. Aku tahu, saat itu kakek sedang berdoa, bukan sekadar memberikan pernyataan. Dan aku merasakan doa kakek hingga sekarang.
Kek, Idul Fitri tahun ini aku pulang kampung. Hendak sangat kubersihkan pusaramu dengan tanganku sendiri, sembari memperlihatkan kitab kedua ini. Lalu kuletakkan kitab ini sesaat di batu bagian kepalamu, sambil kukatakan, “Kek, cucumu sudah selesai sekolah di fakultas. Ini kitab bertuliskan namaku yang kupersembahkan untukmu. Seperti katamu, aku mulai menikmati menjadi seorang guru. Aku bukan jadi tentara.”
Kuletakkan kitab itu di kepala pusara kakek. Orang-orang menyebut kitab tersebut dengan tesis. Itulah kitab bertuliskan namaku, janji tertunai pada dia, si tua yang selalu memanjaiku.
Akhir Juni 2010
* Herman RN, alumnus magister pendidikan, sastra Indonesia FKIP Unsyiah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H