Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Don’t Leave Me!

17 Oktober 2010   03:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:22 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerpen Herman RN

Dia tersudut, mendekap tangan ke dada. Matanya menatapku sesaat, lalu menunduk. Aku masih berdiri di mulut pintu sambil terus menatapnya. Hatimu keras seperti batu, tapi itulah yang membuat aku tambah sayang padamu. Bathinku.

“Jadi, sunguh kau tak akan memberikan HP-ku?” kataku seraya mendekati wajahnya.

“Tak akan!”

“Kembalikan HP-ku atau kucium kau.”

“Coba kalau berani!”

Gadis itu menatapku tajam seperti singa hendak menerkam. Aku mundur selangkah. Dia memegang pergelangan tangan kanannya. Keningnya berkerut, matanya memicing menahan sakit. Tangan itu tadi kupicit karena hendak merebut HP-ku.

“Kau cowok yang kasar. Sakit tahu?!” ujarnya seraya menyentakkan pergelangan tangan kanannya.

“Makanya, kembalikan HP-ku?”

“Tidak mau!”

“Ada SMS yang tak seharusnya kau tahu di situ.”

“SMS apa?”

“SMS dengan seorang cewek. Kata-katanya sangat mesra.”

Gadis diam. Dia tidak lagi memandangku. Di tangannya tak ada lagi HP yang kucari-cari. Aku tahu, dia pasti sudah menyimpan dalam saku celanya.

“Ok. Aku kalah. Silakan baca saja SMS itu.”

Kudekati komputerku yang masih medendangkan ‘Yang terbaik untukmu’ milik Ungu. Suara Pasha begitu merdu, batinku.

Tiga belas menit kemudian aku kembali membuka suara. “Sudah kau baca?”

“Ini HP-mu,” katanya sambil meletakkan Nokia 3530 di hadapanku.

“Sudah kau baca SMS-nya?” tanyaku lagi.

“Tidak semua. Maaf, aku telah baca SMS-mu.”

“Apa tanggapanmu sekarang?”

Gadis hanya diam. Direbutnya mouse dari tanganku. Dia memilih lagu lain di layar komputer. Sekarang terdengar suara vokalis Ungu melantunkan Seperti yang Dulu. Suaranya lembut mendayu di antara napasku yang masih terengah karena kelelahan main kejar-kejaran dengan Gadis, sebelumnya.

“Bagaimana tanggapanmu sekarang?” tanyaku sekali lagi.

No komen.”

“Kau marah?”

No komen.”

“Gadis. Apakah kau marah padaku?” suaraku mulai meninggi.

No komen!”

“Gadis…”

“Aku tak marah. Maaf telah membaca SMS-mu.”

Sekarang giliranku yang diam. Mengapa dia tak marah? Mengapa dia tak cemburu? Apakah dia tidak mencintaiku (lagi)? Berarti aku salah selama ini karena telah mencintainya, orang yang sama sekali tidak mencintaiku.

Gadis meraih tas mungilnya. “Aku pulang ya. Maaf sudah membaca SMS-mu. Sebenarnya aku tak berhak merebut HP-mu. Aku bukan siapa-siapamu. Maaf ya?”

Gadis menghidupkan sepeda motornya. Dia berlalu dari halaman rumah kontrakanku tanpa menoleh sejenak pun, padahal aku sangat menginginkan dia menoleh saat itu, walaupun sesaat.

Suara motornya terdengar seperti guntur di langit. Kurasakan kepergiannya serupa kilat menyambar. Dia menghilang meninggalkan asap kenalpot di mukaku.

Aku masih berdiri di depan pintu, menatap ke arah hilangnya Gadis di persimpangan. Kukepal jemari tanganku seperti meregam puntung api. Di dadaku, degup jantung melebihi kecepatan orang yang berlari. Perlahan pandanganku samar-samar. Kepalaku seperti ditusuk jarum.

Remang-remang kudengar suara Ungu di komputerku yang masih menyala, lagu yang dipilih Gadis setelah merebut mouse dari tanganku tadi.

Tiada guna kau kembali, mengisi ruang hati ini/ Semuanya telah berlalu, bersama lukaku/Semuanya telah berakhir, antara hatiku dan hatimu/Takkan ada cinta. Seperti yang dulu/ Tiada guna kau berjanji untuk setia menemani/ Hatiku yang telah terluka karena dusta…mu//.

Hatiku semakin renyuh tatkala sampai pada bait /Semuanya telah berakhir, antara hatiku dan hatimu/ Takkan ada cinta, seperti yang dulu/ Semuanya telah berakhir, antara diriku dan dirimu/ Tak kan ada rindu seperti yang dulu.//

“Belum berakhir andai kau mengerti maksudku melarangmu membaca SMS itu. Belum berakhir andai kau memahami hatiku. Aku sengaja menyimpan SMS itu untukmu. Yang kuharapkan sebenarnya setelah kau baca SMS itu adalah kemarahanmu padaku, kecemburuanmu, bukan kepergianmu. Don’t leave me!” batinku.[Serambi Indonesia, 17 Oktober 2010]

Desember 2006 dalam kenangan.

Herman RN, menulis cerpen di media lokal dan nasional

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun