Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Luka Aceh Syariat

6 Oktober 2010   12:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:40 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KATA “syariat” sudah lama dipahami sebagai hukum Tuhan. Dalam perspektif Islam, kata tersebut menjadi padanan kata “hukum Allah swt.” sehingga tanpa embel-embel Islam di belakangnya, kata “syariat” sudah dimafhumi umat muslim sebagai peraturan sesuai hukum Islam. Di sisi lain, Aceh dan Islam bagai dua sisi mata uang, tamsil kulit dan ari, laksana tulang dan isi. Ironis tatkala Aceh harus luka karena syariat itu sendiri.

Konyolnya lagi, luka Aceh karena peraturan syariat bukan baru pertama terjadi dan bukan hanya sekali. Sejak wilayah paling ujung pulau Sumatera ini dikatakan akan dijadikan wilayah Syariat Islami, sewindu lalu, sebenarnya Aceh sudah dilukai. Lihat saja komentar Yusuf Kalla saat menjawab pertanyaan salah satu mahasiswa Sulawesi Selatan, semasa ia masih menjabat wapres. “Untuk apa kalian minta syariat Islam seperti Aceh, apa daerah kita belum Islam?” ujarnya, ketika sang mahasiswa meminta kampung kelahiran Kalla itu juga diterapkan juga syariat Islam.

Tiga tahun lalu, Presiden SBY juga pernah mengatakan bahwa ia menolak Syariat Islam (SI) padahal SI di Aceh adalah pemberian pusat. Ungkapan tegas SBY itu dapat dilihat dalam Risalah Mujahidin Edisi 6 Th. I Saffar 1428 H (Maret 2007 M), hal. 37-44. “Tidak benar saya bersetuju dengan Syari’at Islam dimasukkan dalam tata kehidupan kita, utamanya mengubah pembukaan Undang-undang Dasar 1945, seolah-olah seperti Piagam Jakarta, dan seolah-olah menggantikan hukum nasional yang berlaku.” Ungkapan SBY yang sok pluralis ini juga dapat dibaca pada blog http://c4kra.multiply.com/ links/item/137/.SBY_Saya_Seorang_Pluralis_Syariat_Islam_Bertentan
gan_Dengan_Pluralisme.

Namun demikian, Aceh yang sudah mendarahdaging nilai-nilai keislaman tetap terima dijadikan sebagai contoh wilayah penerapan syariat secara kaffah. Persoalannya, benarkah syariat yang diterapkan di Aceh ini kaffah?

Sanksi bagi si Lemah
Ungkapan “sanksi hanya bagi si lemah” selama usaha penerapan Syariat Islam di Aceh sudah sangat sering kita dengar. Hal ini jelas bukti lukanya Aceh karena syariat. Empat hari lalu, 1 Oktober 2010, hal serupa kembali terjadi. Dua perempuan yang mencoba mencari rezeki di bulan puasa mesti menerima delapan lecutan di punggung. Hanya karena alasan tertangkap basah berjualan nasi di siang hari Ramadan lalu, ia dicambuk. Padahal, beberapa orang lainnya, lelaki yang sedang makan di warung tersebut, tidak diapa-apakan.

Lagi-lagi, ini bukan luka pertama di Aceh. Bahwa hukum tidak menyentuh yang kuat, bahwa sanksi hanya bagi si lemah, bahkan jika mau ditelusuri lebih jauh, sanksi syariat selama ini lebih mudah jatuhnya kepada kaum perempuan, sehingga patut ditanyakan, sesungguhnya syariat di Aceh ini untuk siapa?

Kali ini, saya rasa tidak perlu lagi mendebatkan isi qanun SI yang antarpasalnya banyak kontradiktif. Hal itu sudah pernah saya tuliskan, juga sudah dipaparkan pula oleh sejumlah orang di berbagai media, termasuk oleh mantan Kadis Syariat Islam, Prof. Alyasa’ Abubakar. Kali ini, saya hanya mencoba kembali mengetuk pintu hati-semoga masih ada-para pemangku syariat di Aceh.

Sekadar mengingatkan, hukum Islam menganut konsep keadilan. Kata “adil” di sini bukan sama besar, sama kecil, sama berat, sama ringan, atau sama lainnya. Adil berarti memposisikan sesuatu sesuai tempatnya. Adanya surga dan neraka adalah di antara bukti keadilan Allah. Hukum Allah tidak pandang bulu, sanksi-Nya tidak membedakan kulit, jabatan, atau sejenisnya. Saya yakin, hal ini sudah diketahui oleh banyak orang, termasuk mereka yang mengaku sebagai pengawal dan pemangku syariat itu. Jika alasan menjatuhkan sanksi adalah “efek jera”, dapat pula ditanyakan mengapa efek tersebut hanya menyentuh masyarakat lemah? Jika sanksi yang dijatuhkan alasannya berdasarkan syariat yang sudah diqanunkan itu, pertanyaan serupa juga dapat berlaku.

Berapa banyak sudah ‘orang kuat’ dilindungi hukum? Kasus Aceh saja, bahkan pengawal syariat itu sendiri acap melakukan pelanggaran, tetapi hukum tidak menyentuhnya. Perilaku bejat anggota WH di Langsa awal tahun ini, misalnya, cukupkah sekadar sanksi pemecatan? Belum lagi perkara tertangkap meusum anggota WH di Ie Masen, 2007 lalu, yang sampai sekarang entah kemana berkasnya.

Sungguh aneh, manakala orang-orang ‘di atas’ yang kedapatan melanggar syariat, selalu dikedepankan dalih fitrahnya manusia, yang sering lupa, mudah dijebak, dan sebagainya. Namun, pernahkah alasan yang sama didugakan pada pihak yang lemah?

Baru-baru ini, sebagai contoh lain, anggota DPRK Aceh Selatan tertangkap basah menghisap sabu-sabu. Perkara ‘nyabu’ juga merupakan soal syariat, tetapi jangankan diberikan sanksi sesuai syariat, pemeriksaan sesuai UU negara ini saja belum dilakukan padahal sudah sebulan kasus itu berjalan. Alibinya, belum ada izin gubernur; karena yang tertangkap basah itu anggota dewan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun