Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Antara Adat dan Hukum

13 September 2010   03:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:17 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Refleksi Hari Adat se-Dunia)

Berbicara perkara adat dalam kehidupan kita bukanlah hal yang baru. Acapkali kita mendengar orang berujar, “Ini adat kami, hak kami atas hukum yang ada dalam adat di kampung kami.”

Nah, dari ujaran singkat itu saja, kita sudah diberikan dua hal, yaitu adat dan hukum. Maka, berbarengan dengan hari adat se-dunia, tak berlebihan kiranya tulisan ini saya paparkan sebagai refleksi bagi kita untuk memilah mana hukum dan mana adat. Namun, dalam warkah ini saya berbicara dalam skup yang lebih kecil, yakni Aceh. Hal ini dikarenakan, di samping kita berada di Aceh, juga karena kayanya peraturan-peraturan yang diterapkan di bumi Iskandar Muda ini, seperti qanun, hukum, resam, adat, ditambah lagi undang-undang.

Sejatinya, mestilah dibedakan yang mana hukum, yang mana resam, yang mana adat, yang mana qanun, dan yang mana undang-undang. Mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi III (2005), hukum dikatakan sebagai peraturan rersmi yang bersifat mengikat. Dalam konteks Islam, hukum tidak boleh bertentangan dengan alquran dan alhadis. Maka, syariat Islam yang diterapkan di Aceh merupakan tindakan dari hukum. Oleh karena itu, hendaknya mengacu kepada alquran dan hadis. Cambuk, rajam, potong tangan, bukan syariat (baca: hukum), tetapi ia adalah sanksi dari tindakan pelanggaran hukum. Berbeda dengan hukum, sanksi tersebut hanyalah berupa kesepakatan yang dibuat oleh manusia.

Artinya, apakah tidak ada sanksi dari si pembuat hukum (Allah awt)? Sanksi bagi pelanggar hukum sesuai firman Allah sudah jelas di neraka, dan itu adanya di hari akhir. Tetapi, sanksi yang diciptakan oleh manusia, seperti yang saya sebutkan di atas, diciptakan berdasarkan kesepakatan bersama. Jika demikian, berbicara masalah hukum tentu mempunyai kaitan dengan adat, karena adat juga merupakan sebuah peraturan, yang di dalamnya juga memiliki sanksi-sanksi, yaitu sanksi adat.

Dalam KBBI disebutkan bahwa adat adalah peraturan atau kebiasaan yang sudah diwariskan sejak zaman dahulu. Adat merupakan ketentuan yang disepakati dalam suatu komunitas dan menjadi warisan bagi penghuni berikutnya di komunitas tersebut.

Seperti hukum, adat pun memiliki sanksi kepada pelanggarnya. Namun, berbeda dengan hukum yang memiliki sanksi lebih besar, yaitu dari Allah, adat hanya berupa sanksi dari manusia berdasarkan kesepakatan yang sudah dimusyawarahkan. Artinya sanksi hukum lebih besar daripada sanksi adat. Oleh karena itu, di Aceh, hal tersebut dinukilkan menjadi sebuah hadih maja, “Meulangga hukôm raya akibat, meulangga adat malee bak donya” (Melanggar hukum besar akibat, melanggar adat malu di dunia).

Adat secara garis besar dibagi menjadi dua; adatullah dan adatunnah. Adatullah adalah adat yang bersumber kepada alquran adan hadis, serta ijma’, sedangkan adatunnah merupakan adat (peraturan) yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Adatunnah diciptakan oleh masyarakat. Ia berupa kebiasaan yang tumbuh dengan sendirinya. Kemudian, karena sudah menjadi kebiasaan dan diwariskan turun-temurun, dijadikanlah dia sebagai adat di komunitas tersebut. Adatunnah inilah yang sering menjadi perdebatan, karena ia berbeda antara satu daerah dengan daerah lain.

Kita misalkan saja pada mahar dalam sebuah prosesi perkawinan. Di daerah Aceh saja, mahar yang ada di Aceh Utara berbeda dengan mahar yang ditetapkan di Aceh Selatan dan di Aceh-Aceh lainnya. Namun, adatullahnya tetap sama, yaitu akad nikah (ijab-kabul), adanya pengantin perempuan dan lelaki, memberikan mahar, adanya saksi dan wali untuk ke-sah-an Ijab-kabul pernikahan. Semua itu merupakan hukum dalam Islam. Apabila tidak dilaksanakan tidak sah nikah seseorang. Oleh karena itu, hukum tidak boleh disamakan dengan adat. Hukum lebih tinggi derajatnya daripada adat.

Dengan demikian, adat dapat diubah, tetapi hukum tidak, karena ia berupa ketetapan Allah swt. Dalam kearifan lokal masyarakat Aceh dikatakan dengan “Adat meukoh reubông, hukôm meukoh purieh, adat jeut barangkahoe taköng, hukôm hanjeut barangkahoe takieh”. Sederhananya jika di-Indonesiakan, adat tamsil memotong rebung, hukum tamsil meraut lidi, adat boleh sembarang ditetapkan, hukum tidak boleh sembarang diubah.

Di samping kedua hal itu, dalam kehidupan manusia ada juga yang namanya resam, yaitu juga berupa kebiasaan dalam sebuah komunitas. Kendati sama-sama kebiasaan dalam kehidupan, resam berbeda dengan adat. Jika adat merupakan kebiasaan turun-temurun dan bagi pelanggarnya dikenakan sanksi, resam tidak memiliki sanksi atau hukuman bagi yang melanggarnya. Kalaupun ada yang merasa berkewajiban melakukan tindakan resam, itu hanyalan rasa yang timbul dari dalam hati yang diawali dengan “rasa tidak enak kalau tidak melakukan”.

Kembali saya memberikan contoh pada prosesi pernikahan, bukan berarti tidak ada contoh lain, tetapi hanya agar tidak terlalu lebar pembicaraan kita. Dalam kebiasaan ureueng Aceh, ada yang namanya meu-idang atau bu-idang (hidangan/ makanan kenduri. Di dalam acara pernikahan, bu-idang bukanlah hal yang wajib sehingga ada yang merasa kalau tidak ada talam, tidak lengkap adat perkawinan tersebut. Bu-idang hanya berupa kebiasaan dalam sebuah komunitas yang boleh dilaksanakan, boleh tidak. Seperti yang saya sebutkan di atas tadi, bagi yang tidak melaksanakannya hanya dilanda rasa “tidak enak” saja sehingga acara perkawinan mesti dilengkapi dengan kenduri me-idang.

Hal-hal inilah yang sering menjadi perdebatan di sejumlah orang. Kesimpangsiuran mendifinisikan peraturan atau kebiasaan dalam kehidupan acapkali terjadi sehingga pelaksanaannya pun dialih-gunakan.

Kembali lagi pada konteks ke-Acehan, masih ada peraturan-peraturan lain seperti qanun dan undang-undang yang mesti didiskusikan penerapannya dalam kehidupan masyarakat sehingga tidak terjadi kesimpangsiuran. Oleh karena itu, dalam menetapkan sebuah undang-undang mestilah melibatkan masyarakat secara partisipatif. Ketika sebuah ketetapan sudah dicapai, hasilnya mesti disosialisasikan secara menyeluruh dalam tatanan kehidupan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun