Yang lebih menyedihkan andai saja semua pejabat belum pikun dan semua rakyat mahfum bahwa sebanyak 67 izin yang dikeluarkan dari 105 IUP tadi kondisinya tumpang tindih dengan kawasan hutan lindung, yang semuanya diberikan izin eksplorasi.
Izin-izin tersebut, meskipun sesuai PP No.45 Tahun 2003, sebenarnya tidak akan berarti apa-apa bagi kampong ini jika saja sang pemimpin berkuasa tidak memberikan restu, sebab kampong ini sudah memiliki kewenangan dan peraturan tersendiri dengan nama UUPA yang belakangan jadi “kitab” alasan dalam mengambil berbagai kebijakan sehingga amat aneh lakon penguasa menafikan UUPA dalam hal menikmati kehancuran hutan.
IUP sebanyak 105 izin itu telah menggerayangi seluruh wilayah Aceh, mulai dari timur hingga ke barat dan utara hingga ke selatan, menyulap perbukitan jadi lembah, lembah jadi kawah, kawah jadi perkubangan raksasa.
Saat ini memang belum ada korban jiwa akibat pengerukan tanah secara membabi buta tersebut, tetapi kian lama akan kian akut musibah jiwa pasti saja menimpa warga, entah dua, tiga, atau sepuluh tahun nantinya, dan harus diakui dua tahun lagi kampong kita memang sudah berganti pemimpin sehingga apakah lantas musibah beberapa tahun ke depan bukan ulah dari kebijakan pemimpin sekarang?
Ambil amsal IUP yang dimiliki PT Lhoong Setia Mining (PT LSM) dengan komoditas bijih besinya di Aceh Besar, telah menguasai 500 hektar lahan izin operasi produksi dengan tanggal berlaku izin sejak 06 September 2007 s.d 6 September 2027, selain 2.811 hektar IUP eksplorasi dengan masa berlaku izin 26 November 2007 s.d 25 November 2010.
Ini baru satu contoh wilayah sehingga penting pula diamati wilayah lain kampong kita, termasuk yang belum sempat diangkat ke muka publik. Di Kabupaten Bireuen, misalnya, tercatat PT Aceh Mineral Gemilang membuka usaha tambang komuditas pasir besi di atas lahan 10.000 hektar dengan IUP eksplorasi tertanggal 12 Maret 2008 s.d 12 Maret 2011.
Mengamati semua ini, sadarlah kita bahwa kampong kita kaya mineral dan batubara, tetapi miskin keahlian dalam mengelola, akibtanya segampang mungkin beberapa kawasan diserahkan kepada awak asing sehingga penguasa zaman kini lupa bahwa sudah banyak para penguasa kampong ini turun dengan aib korupsi, tetapi memang belum ada yang diturunkan karena menjual hutan sendiri, mungkinkah kali ini akan terjadi?
Entah kalimat ini bermanfaat, saya hanya khawatir ketika seluruh rakyat Aceh terbangun dan menyadari diri bahwa dalam tubuh sesama rakyat mengalir darah yang sama, dari delapan penjuru mata angin mereka akan turun ke Banda, memperlihatkan jati diri keacehannya. Ah, semoga kesadaran serupa itu masih lama datangnya ke hati rakyat Aceh.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H