Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggugat “Cabul” dalam Sastra

1 Mei 2010   23:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:28 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal semacam ini bukan hanya berlaku dalam karya sastra yang fiksi. Akan tetapi, pada berita di surat kabar pun cenderung ditemui. Sebagai contoh kasus, saya pernah membaca sebuah berita di salah satu koran terbitan Banda Aceh yang bunyinya: "Tukang bangunan mengetam seorang janda di kilang kayunya. Belum sempat selesai pekerjaannya, masyarakat mendapati tukang dan janda tersebut. Keduanya lalu digiring ke kantor WH. Papan dan kain yang menjadi barang bukti dibawa serta. Tampak bekas ‘minyak ketam' masih lengket di kain yang digunakan si janda."

Mulanya, penulis berita itu barangkali berpikir akan menghaluskan bahasa beritanya karena berita tersebut merupakan berita meusum. Sayangnya, usaha hendak menghaluskan bahasa malah menjadikan penyampaian berita terkesan ‘dicabul-cabulkan'. Kata-kata yang digunakan oleh si penulis berita tersebut telah membawa imaji pembaca membayangkan situasi dan suasana tukang dan janda saat ditangkap. Pembaca juga telah diajak mengenal ‘minyak ketam' yang sebenarnya air seni yang melekat di kain barang bukti. Maka inilah sebenarnya bahasa cabul tersebut.

Memang sulit memberi penanda cabul atau tidaknya bahasa yang digunakan oleh penulis dalam karyanya. Akan tetapi, melihat siapa dan di mana karya tersebut diedarkan, akan dapat membantu kita menentukan batas kewajaran dan kecabulan dimaksud. Bahwa dalam tinjauan teks sastra berlaku pendekatan ekspresif yang membicarakan soal budaya dan latar belakang penulis tak dapat dinafikan. Karenanya, karya-karya yang dilahirkan oleh para sastrawan terkadang mencerminkan budaya lokal satu tempat. Maka, jika penulis itu adalah orang Aceh dan menerbitkan karyanya untuk dikonsumsi oleh orang Aceh, mau tak mau ia harus "taklid" pada budaya ketimuran masyarakat Aceh. Di sinilah baru dapat penikmat karya sastra menjatuhkan penilaian apakah karya yang dibacanya benar cabul atau tidak.

Terakhir yang mesti diketahui oleh para penulis adalah bahwa setiap karya yang sudah dilahirkan atau dipublikasi, itu bukan lagi mutlak milik penulis/pengkarya. Karya itu sudah jadi milik khalayak. Khalayaklah yang menentukan termasuk golongan mana. Seagai penulis, kalau tidak ingin menerima predikat cabul, ia mesti berhati-hati dalam pengungkapan cerita dalam karyanya. Wassalam!

Penulis adalah penyuka karya sastra

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun