Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pesan yang Tak Sempat Terkirimkan

19 April 2010   03:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:43 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

SUNGGUH sialan! Berbilang bulan berganti tahun hingga hitungan genap pada angka delapan, penantian hanya jadi sebuah kepura-puraan. Kali ini menimpa Buyung, seorang lajang dari Kampung Lamkutang yang memetik kecuraman dari Upik, dara yang tak pantas disebut jalang, yang berasal dari kampung sebelah kemukiman.

Selepas kepergian Upik ke perantauan demi cita-cita dan ilmu pengetahuan, Buyung bujang mencoba setia pada kebujangannya hingga masa sampai keharusan melepas lajang, ia tetap masih menjadi bujang. Tatkala kini usia Buyung sudah sangat matang untuk tidak lagi setia pada status lajang, bergudang cara dan aral melintang ia lewati demi mencari jalan agar dapat bertemu pandang dengan si Upik yang dikiranya juga masih lajang.

Penantian yang lewat kepalang! Tatkala Buyung menghempas hasrat pada gundah yang lama ia sekap hingga suatu ketika diucapkan pada Upik melalui surat yang tak panjang agar tidak berbelit-belit seperti orang lari dari utang.

Sayangnya, kenyataan di luar dari impian. "Lupakanlah aku," sahut Upik yang juga tak mau berbelit dan tak mau berpanjang dalam surat balasan.

Pada malam lain, antara Upik dan Buyung yang sudah saling berbagi user untuk chating berkesempatan saling tegur sapa yang diawali dengan saling mengucap salam. Selepas ditanyakan Buyung tentang penantian, Upik masih berkesimpulan pada suratnya sebulan silam, "Lupakan aku!"

"Semudah itukah?" balas Buyung, yang kemudian bertanya kembali atas alasan Upik terhadap jawabannya. Sayang, Upik tidak memberikan alasan seperti harapan Buyung. Ia hanya berujar, "Ada hal yang lebih penting yang harus kita lakukan sekarang."

Buyung terhenyak. Dalam benak, ia coba mengingat-ingat sangat apa yang telah dijalaninya selama sekurun. Apakah penantiannya selama ini bukan hal penting? Apakah kejujurannya selama ini bukan hal penting? Apakah kesetiannya selama ini bukan hal penting? Apakah..apakah.. bergundal pertanyaan di kepala Buyung.

"Bagiku kau juga bagian yang terpenting, melebihi yang penting?" hampir saja Buyug berucap serupa itu. Ia cepat-cepat kuasai emosi agar tak lepas silap pada ucap yang belum tentu memiliki arti.

"Lupakanlah aku, lupakanlah semua tentang kita!"

Ucapan Upik tersebut seperti gelegar petir di telinga Buyung. Ia serupa baru kena samun. Jauh terhenyak dalam lamun, pada masa-masa lalu berbilang tahun. "Maksudmu, Upik," kata Buyung berpura tak paham, hingga kembali Upik harus menegaskan, "Lupakan saja tentang kita yang pernah besama. Kalau Tuhan berkehendak, kita akan bersua. Kini aku jauh di rantau orang demi cita-cita."

Ada nada pemaksaan ditangkap Buyung dari ucap Upik barusan, paksaan agar Buyung segera dapat melupakan pada setiap kenangan dan keriangan masa silam, saat-saat mereka masih tanggung dikatakan dara dan bujang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun